Korea Utara Biayai Program Nuklir dari Peretasan Aset Kripto
PBB mengeluarkan laporan mengenai Korea Utara yang membiayai program nuklir dengan cara meretas aset kripto. Ini dilakukan selama pandemi Covid-19 dan di tengah berbagai sanksi ekonomi ke negara itu.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
NEW YORK, MINGGU — Pengembangan program misil dan nuklir Korea Utara dalam beberapa tahun terakhir didanai dari uang hasil peretasan aset kripto. Selama periode 2020 hingga pertengahan 2021, uang hasil peretasan mencapai 50 juta dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 719 miliar.
Demikian laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diperoleh Reuters di New York, Amerika Serikat (AS), Sabtu (5/2/2022) waktu setempat atau Minggu (6/2/2022) waktu Indonesia. Dalam laporan yang bersifat rahasia itu, Korea Utara dilaporkan telah meretas aset kripto. Para peretas yang bekerja di bawah Pemerintah Korea Utara mencuri dari berbagai firma pengelolaan aset kripto maupun proses pertukaran mata uang kripto di berbagai belahan dunia.
”Pada periode tahun 2020 hingga pertengahan 2021, Korea Utara mencuri aset kripto sebesar 50 juta dollar Amerika Serikat melalui peretasan berbagai transaksi di Amerika Utara, Eropa, dan Asia,” kata laporan PBB itu.
Sementara dari laporan firma keamanan siber Chainalysis, Korea Utara, pada 2019 berhasil mengumpulkan 2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 28,76 triliun dari berbagai serangan siber. Pada 2021, negara ini meretas berbagai transaksi kripto dan memperoleh pendapatan sebesar 400 juta dollar AS atau sekitar 5,75 triliun.
Korea Utara terus mengembangkan penelitian dan kapasitas produksi nuklir sekalipun Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak 2006 telah menjatuhkan sanksi kepada negara itu. Beberapa kali uji coba rudal balistik digelar pada 2021. Memasuki 2022, Korea Utara langsung melanjutkan kembali sejumlah uji coba rudal balistik mereka.
Salah satunya adalah uji coba rudal balistik jarak menengah yang kemampuannya bisa mencapai Guam, sebuah pulau yang merupakan wilayah protektorat AS per 30 Januari lalu. Atas hal ini, Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan pernyataan. ”Ini benar-benar pelanggaran kesepakatan nuklir yang ditandatangani oleh Korea Utara sendiri,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Pada Januari 2022, Korea Utara sudah tujuh kali melakukan uji coba rudal. Sementara pada 2021, merujuk laporan PBB yang sama, Korea Utara tidak menggelar uji coba rudal yang bisa melampaui jarak antarbenua. Akan tetapi, penelitian serta pengayaan kapasitas nuklir negara itu terus meningkat, terutama pengembangan materi yang bisa menghasilkan fisi nuklir.
Terkait laporan dan uji coba rudal balistik tersebut, Duta Besar China untuk PBB Zhang Jun mengatakan, saat ini semua tergantung langkah dari AS. Sebanyak delapan negara anggota DK PBB, yaitu AS, Inggris, Albania, Brasil, Perancis, Irlandia, Norwegia, Uni Emirat Arab, dan Inggris, menandatangani surat pengecaman uji rudal Korea Utara Januari 2022. Sebaliknya, China, Rusia, India, Kenya, Meksiko, Ghana, dan Gabon tidak turut membubuhkan tanda tangan.
”Harus ada cara yang lebih elegan dan fleksibel selain memberikan sanksi. Kalau setiap pendekatan yang diambil adalah pemblokiran, pikirkan dampaknya bagi masyarakat sipil,” tutur Zhang. Negara-negara anggota DK PBB memblokir ekspor batubara, besi, tekstil, dan hasil laut dari Korea Utara. Mereka juga memblokir negara tersebut mengimpor minyak beserta produk turunannya.
Menurut Zhang, AS semasa pemerintahan Presiden Donald Trump setidaknya telah mengupayakan dialog dengan Korea Utara. Trump bertemu dengan Kom Jong-un di Singapura dan di Hanoi, Vietnam. Kedua pertemuan tidak bisa membujuk Korea Utara menghentikan program pengembangan nuklir mereka. Akan tetapi, minimal telah membuat Korea Utara mengurangi uji coba rudal.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken akan berada di Hawaii pada 12 Februari. Ia akan bertemu dengan rekan-rekannya dari Korea Selatan dan Jepang untuk membicarakan situasi di Korea Utara. (AP/AFP/REUTERS)