Beban Geopolitik dan Perang Saudara di Asia Tenggara
Pada isu Laut China Selatan, tidak semua anggota ASEAN berkomitmen menyelesaikan. Sementara soal Myanmar, ada perbedaan pandangan soal sikap keras ASEAN terhadap junta.
Indonesia menjadi ketua dua organisasi lintas negara dalam periode yang sulit. Tantangan dari dalam dan luar kawasan tempat tinggal menggelorakan hasrat Indonesia menyukseskan keketuaannya. Dampak pandemi Covid-19, tekanan geopolitik dan geoekonomi, serta perang di Myanmar masih terus menjadi beban.
Aneka beban itu perlu dijawab dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-42 ASEAN. Berpusat di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, pada 9-11 Mei 2023, rangkaian KTT Ke-42 ASEAN dianggap sebagai kesempatan bagi kawasan memikirkan dan mencari solusi atas masalah kawasan.
”Tantangannya adalah perkembangan geopolitik, termasuk ketegangan militer di kawasan yang berdampak pada kestabilan dan keamanan kawasan. Karena itu, KTT mendatang diharapkan (diisi) saling tukar pendapat di antara pemimpin ASEAN soal situasi di Laut China Selatan, ketegangan di Selat Taiwan dan Semenanjung Korea, serta peningkatan rivalitas Amerika Serikat dan China yang dapat membatasi pilihan ASEAN dan memaksa kawasan berpihak,” kata koordinator bersama sekaligus peneliti utama bidang keamanan dan politik pada Pusat Kajian ASEAN di ISEAS Yusof Ishak Institute, Joanne Lin.
Baca juga: Singapura Desak ASEAN dan China Tuntaskan CoC
Presiden Joko Widodo telah memperingatkan agar ASEAN tidak dijadikan kaki tangan kepentingan pihak lain. Jokowi juga menolak membiarkan dinamika geopolitik di kawasan menjadi perang dingin baru di kawasan. ”KTT diharapkan membahas cara memperkuat kapasitas dan keefektifan kelembagaan ASEAN dalam menghadapi perkembangan tantangan global serta menempatkan ASEAN sebagai pemimpin di kawasan,” katanya.
Analis program Kajian Keamanan dan Kebijakan Luar Negeri pada Institute of Strategic and International Studies (ISIS), Izzah Khairina Ibrahim, menyebut geopolitik sebagai tantangan utama ASEAN. “Ketidakpastian karena perubahan geopolitik besar di kawasan, yakni persaingan Amerika Serikat dan China, belum menunjukkan tanda-tanda mereda dan Asia Tenggara telah menjadi salah satu tempat utama persaingan,” ujarnya, Jumat (5/5/2023) dari Kuala Lumpur, Malaysia.
Meski bukan situasi yang benar-benar baru, kondisi itu memaksa kawasan dalam dilema untuk menemukan cara terbaik menanggapinya. Sebagian besar pengamat dari luar kawasan mengharap Asia Tenggara memilih salah satu pihak. Kini, ada negara yang jelas menunjukkan kecenderungan mereka, ada pula yang mencoba menyeimbangan interaksi untuk memaksimalkan kepentingan nasional. ”Apa pun pilihannya, hal itu terbukti berdampak negatif bagi ASEAN. Sebab, hal itu semakin memecah kerapatan yang sudah lama terbatas di ASEAN,” ujarnya.
Ia mengingatkan, sebagian anggota ASEAN sibuk pada kepentingan nasional masing-masing dibandingkan mengupayakan kepentingan bersama di kawasan. Perbedaan kondisi sosial, budaya, dan politik anggota ASEAN semakin menyulitkan kerja sama di kawasan. Asia Tenggara terdiri dari negara berpendapat rendah dan menengah yang amat bergantung pada perdagangan, bantuan pembangunan, dan investasi infrastruktur. Dengan mempertimbangan pemulihan selepas pandemi dan keterikatan rendah pada ASEAN, sulit berharap anggota ASEAN bertindak untuk hal-hal yang dianggap berseberangan dengan kepentingan mereka.
Ketegangan di Asia Tenggara, menurut Sekretaris Eksekutif Pusat Studi ASEAN FISIP Universitas Indonesia Shofwan Al Banna Choiruzzad, tidak terlepas dari ketegangan di Indo-Pasifik. Asia Tenggara ada di persilangan utama kawasan yang membentang di dua samudra itu.
Myanmar dan keamanan
Izzah menyebut, ada tantangan keamanan yang berlarut-larut. Tantangan itu tidak ditangani secara memadai dan malah cenderung diabaikan. Bentuknya, antara lain, sengketa wilayah dan perbatasan, migrasi ilegal, dan kejahatan lintas negara. Semua tantangan itu berdampak ke dalam dan ke luar kawasan. ”Jika dibiarkan semakin memburuk, hal itu dapat memperburuk kekhawatiran terhadap kualitas tata kelola dan administrasi negara,” ujarnya.
Baca juga: Semua Mata Tertuju ke Labuan Bajo
Ia juga menyoroti perpecahan di antara anggota ASEAN. Perpecahan, antara lain, terlihat soal Laut China Selatan dan Myanmar. Pada isu Laut China Selatan, tidak semua anggota ASEAN berkomitmen menyelesaikan. Sementara soal Myanmar, ada perbedaan pandangan soal sikap keras ASEAN terhadap junta.
Lin menyebut, Myanmar akan tetap menjadi krisis kunci di ASEAN. Setelah dua tahun berlalu sejak kudeta, nyaris tidak ada perbaikan di Myanmar. Bukan hanya tidak ada penghentian kekerasan, kekejaman semakin memburuk antara lain dalam bentuk serangan udara oleh junta di kawasan Sagaing pada 11 April 2023. Serangan itu menewaskan lebih dari 100 warga sipil. Setelah melakukan berbagai hal, ASEAN tetap tidak bisa mengatasi krisis yang terus disoroti internasional itu.
Karena itu, ada keraguan atas kredibilitas dan reputasi ASEAN sebagai organisasi untuk menyelesaikan masalah kawasan, khusus apabila terkait anggotanya. Lebih jauh lagi, kesatuan ASEAN diuji karena keragaman pandangan soal bagaimana ASEAN menangani masalah tersebut. Ada perbedaan soal apakah ASEAN perlu berhubungan dengan pemerintahan bentukan oposisi, yang oleh junta disebut sebagai kelompok teror.
”Dengan demikian, harapan akan tertuju pada Indonesia sebagai Ketua ASEAN untuk menghasilkan beberapa bentuk rencana implementasi yang mencakup indikator yang konkret, praktis, dan terukur dengan garis waktu tertentu untuk bergerak maju dengan 5 Poin Konsensus,” ujarnya.
Lin mengatakan, KTT Ke-42 ASEAN diharapkan membahas tantangan ekonomi. Diharapkan keketuaan Indonesia bisa mendorong inisiatif yang selaras dengan prioritas program nyata ekonomi untuk mendorong ASEAN sebagai pusat pertumbuhan. ”Pemimpin ASEAN diharapkan mengadopsi deklarasi terkait pengembangan ekosistem wahana listrik di kawasan untuk mempercepat transisi energi dan dekarbonisasi sektor transportasi,” ujarnya.
Kapasitas kelembagaan
Izzah menyebut, ASEAN terutama berfungsi sebagai lembaga yang menyediakan pelantar di antara bangsa-bangsa Asia Tenggara. Anggota ASEAN juga menunjukkan komitmen untuk memperkuat demokrasi dan tata kelola, walau belum semua anggota melakukan itu. Kondisi itu diperburuk dengan kurangnya lembaga pengawasan yang dapat memintai pertanggungjawaban anggota.
Ada keprihatinan pula pada nilai dan prinsip ASEAN, seperti tidak saling mencampuri urusan dalam negeri serta menghormati kedaulatan anggota, justru menjadi perintang. Nilai dan prinsip itu dipakai membenarkan tidak ada tindakan atas berbagai dinamika ASEAN. Kondisi itu melemahkan keampuhan kemampuan menanggapi secara kelembagaan oleh ASEAN. Berulang kali ada kritik terhadap cara ASEAN, khususnya dalam situasi krisis.
Baca juga: Rivalitas Negara Besar di Kawasan Jadi Fokus ASEAN
Jaminan kelembagaan untuk penegakan keputusan ASEAN amat kurang. Ada kebutuhan memperkuat proses pengambilan keputusan dan kebijakan ASEAN, yang selama ini sudah kesulitan karena keterbatasan pendanaan, kekuatan, dan pengawasan. Selain itu, kewenangan juga berdasarkan keketuaan yang digilirkan sehingga sulit menegakkan keputusan dan kebijakan ASEAN. Tampilan sentralitas ASEAN malah menunjukkan ketiadaan kemauan politik.
Prinsip tidak ikut campur urusan dalam negeri anggota diperkuat dengan kebiasaan proses pengambil keputusan serius melalui konsensus dan konsultasi. Meski sudah mengikuti prinsip itu pun, belum tentu pula keputusan ASEAN akan dipatuhi dan dijalankan anggotanya.
Izzah memandang, pemimpin ASEAN tidak punya kemauan politik untuk membantu memperkuat ASEAN dan menyelesaikan tantangannya. Mereka lebih sibuk dengan urusan dalam negeri dan kerap pula kepentingan pribadi.