200 Tentara AS Berada di Taiwan untuk Pelatihan Militer
Tentara AS disebar ke berbagai pangkalan militer dan barak pelatihan di seantero Taiwan. Mereka akan mengevaluasi kondisi militer dan infrastruktur pertahanan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
AP PHOTO/CHIANG YING-YING
Tentara Taiwan berlatih di Hsinchu, 19 Januari 2021. Mereka mempraktikkan skenario perang kota apabila China menginvasi Taiwan.
TAIPEI, RABU — Laporan dari media Taiwan mengungkapkan bahwa di wilayah kepulauan itu ada 200 tentara Amerika Serikat yang melatih kesiapan prajurit Taiwan apabila terjadi konflik terbuka antara Taiwan dan China. Pada saat yang sama, sejumlah warga sipil juga turut mempersiapkan diri melalui latihan penanganan kedaruratan.
Berita mengenai pengiriman tentara AS ke Taiwan itu pertama kali dilaporkan oleh surat kabar Wall Street Journal pada Februari 2023. Ketika itu, perkiraannya ada 100 hingga 200 prajurit yang akan dikirim. Pada Minggu (16/4/2023), media Taiwan, Up Media, menerbitkan berita yang mengutip sumber dari Kementerian Pertahanan Taiwan.
Disebutkan, ada 200 personel militer AS yang 80 persen di antaranya berasal dari Angkatan Darat. Sisanya dari Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Sebanyak 40 orang adalah instruktur militer, sementara 160 orang sisanya adalah prajurit tanpa jabatan dengan pengalaman tempur.
”Fokus dari pelatihan ini adalah memperkuat pertahanan dan penyerangan taktis militer oleh Taiwan karena jika bertempur langsung berhadapan dengan Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA), Taiwan tidak akan menang,” kata sumber tersebut.
Tentara AS itu disebar ke berbagai pangkalan militer dan barak pelatihan di seantero Taiwan. Mereka akan mengkaji kurikulum pelatihan militer serta kesiapan sarana dan prasarana yang dimiliki Taiwan apabila terjadi konflik terbuka. Pelatihan ini tidak hanya untuk tentara Taiwan aktif, tetapi juga untuk pasukan cadangan dan para pemuda yang mengikuti wajib militer.
AP PHOTO/CHIANG YING-YING
Arsip foto pada 25 Mei 2017 menunjukkan barisan tank M60A3 milik AS menembak target saat latihan tahunan Han Kuang di tepian Pulau Penghu, Taiwan. Sebanyak 200 prajurit AS tengah berada di Taiwan mulai 16 April 2022 untuk melatih tentara Taiwan.
Per tahun 2024, wajib militer Taiwan kembali ke kurun satu tahun setelah lima tahun terakhir dipersingkat menjadi empat bulan. Oleh sebab itu, untuk enam bulan pertama, para pelatih dari AS itu bertugas untuk mengevaluasi situasi di Taiwan yang akan diterbitkan di dalam laporan. Enam bulan berikutnya, Kementerian Pertahanan Taiwan melakukan pembenahan berdasarkan laporan tersebut sehingga memasuki tahun 2024, kurikulum dan infrastruktur pelatihan militer sudah sesuai dengan usulan AS.
Taiwan dan AS memiliki kerja sama pertahanan yang erat meskipun keduanya tidak memiliki hubungan diplomatik. AS terikat pada perjanjian tahun 1979 yang menyebutkan, biarpun mereka menjalin hubungan diplomatik dengan China, Washington akan membantu Taiwan selama wilayah itu berada di bawah ancaman.
China sejak tahun 2022 melakukan semakin banyak intrusi ke perairan dan wilayah identifikasi pertahanan udara Taiwan. Itu terjadi terutama sejak Presiden Xi Jinping mengumumkan cita-cita untuk menyatukan kembali wilayah otonomi Taiwan dengan China. Mereka menuduh Taiwan membangkang, apalagi ketika Ketua DPR AS 2019-2023, Nancy Pelosi, datang ke Taipei pada Agustus 2022 dan ketika Presiden Taiwan Tsai Ing-wen bertemu dengan Ketua DPR AS sekarang, Kevin McCarthy, di AS dua pekan lalu.
PLA menggelar latihan militer besar-besaran. Khusus latihan militer pada awal April yang berlangsung selama tiga hari, PLA mengatakan bahwa mereka mempraktikkan skema pengepungan. Ini adalah strategi untuk mengungkung Taiwan sehingga tidak ada yang bisa keluar ataupun masuk ke wilayah tersebut.
Warga lokal New Taipei City, Taiwan, mengikuti pelatihan militer privat di Linkou, 18 Juni 2022.
Warga sipil
Tidak hanya militer yang sibuk berlatih, sejumlah warga sipil Taiwan juga mulai belajar untuk menghadapi situasi darurat. Mereka mengikuti kursus penanganan kedaruratan di masa perang yang dikelola oleh Kuma Academy. Organisasi bersimbol beruang hitam ini didirikan oleh pengusaha semikonduktor, Robert Tsao, bersama mitranya, yakni pegiat politik He Chenghui, dan dosen kriminologi Universitas Nasional Taiwan, Shen Boyang.
”Pelatihan ini bertujuan agar setiap orang mengerti cara bertindak menjelang, di tengah, dan sesudah konflik. Setidaknya, mereka bisa mempersiapkan diri dan keluarga. Setelah itu, bisa menjadi bala bantuan sipil untuk mengevakuasi wilayah, mengobati yang terluka, membuat dapur umum, dan lain-lain,” kata Shen selaku Kepala Kuma Academy di laman resmi mereka.
Sejak Januari 2022, lembaga ini telah melatih 10.000 orang. Biaya kursusnya sebesar 1.000 dollar Taiwan (Rp 487.000) dan lama pelatihannya satu hari penuh. Selain memberi kursus kebencanaan, Kuma Academy juga mendidik para peserta untuk bisa menyaring informasi. Tujuannya agar masyarakat mampu membedakan antara kebenaran dan hoaks serta mencegah kepanikan massal.
Pecahnya perang Rusia-Ukraina membuat sejumlah masyarakat Taiwan khawatir nasib serupa akan menimpa mereka. Meskipun demikian, mayoritas warga Taiwan cenderung tidak menanggapi berbagai intrusi PLA ini secara serius. Alasannya, China selalu melakukan intrusi, terutama ketika sudah dekat tahun politik. Tahun depan, Taiwan menggelar pemilihan umum presiden.
Selain itu, jajak pendapat tahunan yang dilakukan oleh Universitas Nasional Cheng Chi menunjukkan, mayoritas warga Taiwan tidak menganut paham bahwa Taiwan harus merdeka dan melepaskan diri dari China. Mereka memilih penerapan status quo, yaitu membiarkan baik China maupun Taiwan tumbuh masing-masing dan bisa hidup berdampingan.