Massa Perancis Masih Berunjuk Rasa, Kepopuleran Macron Terus Menurun
Presiden Perancis Emmanuel Macron semakin tidak populer karena bersikukuh mengesahkan kenaikan usia pensiunwalau rakyat menolak.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
PARIS, MINGGU – Kepopuleran Presiden Perancis Emmanuel Macron menurun drastis dibandingkan dengan tahun lalu. Polemik pengesahan Undang-Undang Reformasi Usia Pensiun mengakibatkan unjuk rasa besar-besaran di seantero negeri yang beberapa di antaranya berujung kepada bentrok antara massa dengan aparat penegak hukum. Para pakar politik mengkhawatirkan ini menjadi pintu masuk bagi agenda politik ekstrem kiri maupun kanan mengambil hati masyarakat Perancis yang selama ini berada di tengah.
Berdasarkan jajak pendapat oleh Ifop per Akhir Maret 2023, popularitas Macron kini tinggal 28 persen. Ini turun drastis dibandingkan dengan tahun 2022 yang masih menempatkan kepopuleran presiden termuda dalam sejarah Perancis itu di angka 42 persen.
Berdasarkan keterangan Kementerian Dalam Negeri Perancis, ada satu juta warga yang turun ke jalan-jalan melakukan unjuk rasa. Sebanyak 119.000 di antaranya berada di Paris. Di beberapa wilayah, unjuk rasa berujung kepada kerusuhan akibat bentrok antara masa dengan aparat. BBC melaporkan, di kota Bordeaux, sebagian dari kantor wali kota dibakar oleh pengunjuk rasa yang marah.
Selama dua pekan lebih mereka memprotes Macron yang mendorong pengesahan UU Pensiun. Apabila benar disahkan, usia pensiun di Perancis akan naik dari 62 tahun menjadi 64 tahun. Serikat pekerja memprotes bahwa aturan baru ini tidak adil kepada para pekerja kerah biru yang akan dieksploitasi secara fisik hingga usia lanjut.
“Namun, unjuk rasa ini sudah meluas menjadi kekecewaan terhadap pemerintahan Macron yang oleh rakyat dianggap otoriter,” kata pengamat politik independen Perancis Philippe Moreau Chevrolet kepada Yahoo News, Minggu (2/4/2023).
Penyebabnya adalah keputusan Macron menggunakan hak istimewanya sebagai presiden untuk mengegolkan UU. Hak ini diatur di dalam Undang-Undang Dasar Perancis pasal 49.3. Sejatinya, jajak pendapat Institut Kajian Luar Negeri (FPRI) melalui Inisiatif Keamanan Eropa mengungkapkan bahwa 70 persen masyarakat Perancis tidak menyetujui UU Pensiun. Macron kemudian menggunakan pasal 49.3 UUD untuk mengesahkan UU Pensiun dan membawanya ke Mahkamah Konstitusi untuk dikaji.
“Rakyat marah karena Macron menyalahgunakan kewenangannya sebagai presiden. Eksekutif menggerus legislatif dan menjadi terlalu dominan di pemerintahan. Ini mengancam demokrasi,” tutur Moreau Chevrolet.
Menurut dia, harapan kini bergantung kepada Mahkamah Konstitusi Perancis. Apabila mahkamah membatalkan UU Pensiun, demokrasi Perancis bangkit kembali dengan sendirinya. Apabila UU itu disahkan, masyarakat akan semakin marah. Kemungkinan besar, unjuk rasa tidak akan berhenti dan justru semakin membesar.
Dari sisi persaingan politik, keputusan Macron yang tidak populer itu menjadi angin segar bagi politikus sayap kiri Jean-Luc Melenchon dan politikus sayap kanan Marine Le Pen. Jajak pendapat Ifop mengungkapkan, Le Pen dan Melenchon masing-masing memproleh 26 persen suara responden. Adapun Macron memproleh 22 persen.
Pemilihan umum presiden Perancis berikutnya adalah di tahun 2027. Akan tetapi, para pakar politik menyakini rakyat tidak akan melupakan perbuatan Macron ini, terlepas disahkannya UU Pensiun oleh Mahkamah Konstitusi ataupun tidak. Kewibawaan Macron sudah dianggap jatuh oleh rakyat dan ini berisiko gerakan politik arus tengah juga ikut terjerembab karena dinilai elitis.
Macron sendiri dalam berbagai wawancara dan jumpa pers mengatakan bahwa unjuk rasa tersebut tidak akan bisa membenahi sistem pensiun negara dan ancaman defisit dalam selupuh tahun. Menurut perhitungan pemerintah, Perancis akan defisit 150 miliar euro dalam satu dekade mendatang karena jumlah penduduk pensiun meningkat, melebihi jumlah penduduk yang bekerja dan membayar pajak. Oleh sebab itu, ia memutuskan menaikkan umur pensiun.
Namun, pada September 2022, Dewan Penasihat Dana Pensiun Perancis mengeluarkan laporan. Pada tahun 2021 justru anggaran pensiun pemerintah surplus 900 juta euro dan di tahun 2022 surplus 3,2 miliar euro. Memang, dewan turut memperkirakan adanya defisit dalam sepuluh tahun ke depan, tetapi krisisnya tidak segawat yang dikatakan eksekutif. Rata-rata anggaran pensiun Perancis adalah 14 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB).
“Penurunan signifikan pemasukan anggaran pensiun terjadi pada periode 2023-2027 yang jumlahnya mencapai 0,4 persen dari PDB atau setara dengan 10 miliar euro per tahun sampai dengan tahun 2032. Meskipun begitu, perkiraannya, sejak medio 2030, jumlah pemasukan anggaran akan naik perlahan dan kembali stabil. Per 2032, anggaran pensiun adalah 14,7 persen dari PDB yang berarti stabil,” demikian kutipan laporan tersebut.
Ekonom dari Universitas Paris Michael Zemmour menjelaskan kepada France24 bahwa pemerintah bereaksi berlebihan terkait perkiraan defisit anggaran. Pada saat yang sama, Macron mengajukan perubahan peraturan pajak Perancis kepada Uni Eropa.
“Pemerintah ingin memberi pemotongan pajak besar-besaran kepada perusahaan-perusahaan besar. Lubang dari kehilangan pendapatan pajak itu hendak ditutupi dengan memakai keringat rakyat,” ujarnya.
Menurut Zemmour, pemerintah bisa menyuntikkan tambahan anggaran pensiun atau jika memang harus, adalah dengan mengurangi nominal tunjangan pensiun per bulan. Pilihan ini lebih masuk akal dibandingkan dengan menaikkan usia pensiun, sebuah keputusan yang bahkan tidak dirapatkan oleh pemerintah dengan serikat pekerja.
Ke China
Di tengah unjuk rasa, pekan depan Macron akan melawat ke China bersama Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen. Mereka akan bertemu dengan Presiden China Xi Jinping guna membahas keterlibatan China dalam pengupayaan perdamaian antara Rusia dengan Ukraina yang sedang berperang. Kedua pemimpin Eropa itu ingin memastikan bahwa China tidak mengirim bantuan persenjataan ke Rusia.
“Macron membutuhkan hal-hal yang bisa mengangkat namanya dan diplomasi luar negeri adalah salah satunya karena menunjukkan Perancis sebagai salah satu pemimpin Eropa,” kata Direktur Pusat Kajian Eropa Universitas Renmin, China, Wang Yiwei.
Macron pekan lalu terpaksa membatalkan kunjungan perdana Raja Charles III dari Inggris karena suasana Perancis belum kondusif untuk menerima tamu kenegaraan. Berbagai pihak juga meragukan kewibawaan Macron bisa membawa Perancis menjadi tuan rumah yang baik bagi Olimpiade 2024. (Reuters)