Negara maju berdebat, menambah jam kerja atau menguranginya? Permasalahannya, sudah sehatkah budaya kerjanya? perusahaan yang sehat ialah yang mendengar aspirasi pekerjanya dan memberi ruang untuk tumbuh kembang.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·6 menit baca
AFP/LUDOVIC MARIN
Seorang perempuan berjalan di samping tumpukan kantong berisi sampah yang dibiarkan teronggok di pinggir jalan setelah para pekerja sampah berunjuk rasa menentang kebijakan pensiun Pemerintah Perancis, Senin (20/3/2023).
Perdebatan mengenai lama jam kerja menjadi pembicaraan di sejumlah negara maju. Ada yang ingin menambah, dan ada pula yang ingin mengurangi. Semua demi meningkatkan produktivitas tenaga kerja yang berujung kepada kesejahteraan bersama. Akan tetapi, ternyata persoalannya tidak sekadar waktu kerja, melainkan mutu dari jam kerja itu sendiri.
Selama dua pekan terakhir, pemerintahan Presiden Perancis Emmanuel Macron selamat dari goyangan dua mosi tidak percaya di parlemen. Macron berusaha mengesahkan Rancangan Undang-Undang Reformasi Pensiun yang sekarang ada di tahap pengkajian oleh Mahkamah Konstitusi sebelum sah menjadi peraturan. Macron menargetkan UU itu bisa diberlakukan pada akhir tahun 2023.
Serikat pekerja Perancis menolak dan 3,5 juta orang turun berunjuk rasa di jalan-jalan. Mereka tidak mau usia pensiun dinaikkan dari 62 tahun ke 64 tahun. Para pekerja kerah biru yang paling keras menolak karena jika UU itu berlaku, mereka harus bekerja yang menguras fisik hingga di usia tua.
Macron beralasan, dengan meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia, negara dalam sepuluh tahun tidak akan mampu memberi tunjangan pensiun. Kas negara akan defisit 150 miliar euro. Lama waktu kerja ditambah dengan harapan semakin lama penduduk produktif, pajak yang masuk ke negara akan bertambah.
AFP/LOIC VENANCE
Para pekerja dan anggota serikat pekerja TotalEnergie memblokir jalan masuk menuju kilang Donges dalam aksi unjuk rasa menentang kebijakan pensiun Pemerintah Perancis, Jumat (24/3/2023).
Di Asia, Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol pekan lalu mengumumkan rencana menaikkan jam kerja dari 52 jam per pekan menjadi 69 jam per pekan. Pemerintah mengusulkan agar setiap perusahaan menghitung lembur secara bulanan, bahkan tahunan dengan harapan para pekerja bisa mengatur jadwal lembur masing-masing. Pemerintah mengira, metode ini memungkinkan pekerja bisa memiliki lebih banyak waktu untuk kehidupan pribadi, pergi berlibur, dan mengasuh keluarga.
Namun, reaksi masyarakat Korsel justru sebaliknya. Generasi Milenial dan Generasi Z yang merupakan sepertiga dari penduduk Korsel menolak. Mereka beralasan, jam kerja seperti itu yang membuat hidup tidak berkualitas. Ini pula yang menjadi alasan semakin banyak anak muda tidak berminat memasuki bursa tenaga kerja formal.
Sementara itu, di Inggris dan Amerika Serikat, diskursusnya malah mengenai pengurangan jam kerja. Sejumlah politikus dari Faksi Demokrat di DPR AS mengajukan rancangan undang-undang pengurangan hari kerja dari lima hari setiap pekan menjadi empat hari. Berdasarkan data pemerintah, di AS, ada 35 juta orang yang bekerja lebih dari 40 jam per pekan dan ada 9 juta pekerja yang membanting tulang lebih dari 60 jam per pekan.
Dampak beban kerja
Pada tahun 2021, Forum Ekonomi Dunia (WEF), Organisasi Tenaga Kerja Dunia (ILO), dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan laporan bersama. Pada tahun 2016, ada 398.000 orang yang meninggal akibat strok dan 347.000 meninggal akibat sakit jantung yang terkait dengan stres di dunia kerja. Sebanyak 72 persen dari kejadian ini terjadi di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara.
AFP/ANTHONY WALLACE
Seorang warga tengah menikmati makan malam di warung pinggir jalan, saat seorang pekerja tengah membawa barang dalam bungkusan plastik melintas di belakangnya di Pasar Namdaemun, Seoul pada Senin (13/3/2023).
Universitas Nasional Australia (ANU) melakukan kajian melalui Fakultas Kesehatan Masyarakat pada tahun 2017. Hasil kajian Huang Dinh dkk ini diterbitkan di jurnal Ilmu Sosial dan Kedokteran (SSM) menjelaskan bahwa jamkerja yang sehat adalah 39 jam per pekan. Ini setelah menghitung bahwa di Australia, warga bekerja rata-rata 48 jam per pekan. Setelah itu, mereka tetap harus melakukan tugas-tugas domestik, terutama bagi perempuan. Oleh sebab itu, 39 jam per pekan dinilai sebagai waktu yang ideal setelah menghitung beban individu di luar kantor.
“Pandemi Covid-19 ini membuat masyarakat menyadari mereka tak mau lagi bekerja demi keuntungan perusahaan. Mereka menginginkan pekerjaan yang mampu mewujudkan aktualisasi diri dan pengembangan kompetensi. Sudah waktunya pemerintah menanggapi fenomena ini,” kata Pramila Jayapal, salah satu legislator Partai Demokrat yang dikutip oleh harian USA Today edisi 16 Maret 2023.
Inggris malah lebih awal. Sejak Juni 2022, sebanyak 70 perusahaan di Inggris terlibat di dalam proyek rintisan empat hari bekerja dalam sepekan. Berdasarkan data yang diterbitkan di laman 4 Day Week Global September 2022, sebanyak 46 persen responden mengatakan produktivitas tetap sama. Adapun 34 persen perusahaan mengatakan produktivitas naik sedikit, dan 15 persen mengatakan produktivitas pekerja mereka naik secara signifikan.
Kompas
Para pekerja dari Eropa Timur mengepak asparagus di Perkebunan Cobrey di Ross-on-Wye, Inggris, 11 Maret 2019. Pemerintah Inggris, Rabu (19/2/2020), mengumumkan kebijakan imigrasi baru per 1 Januari 2021 guna menghentikan ketergantungan pada tenaga kerja murah dari negara-negara Eropa lainnya.
Per Desember 2022, sebanyak 88 persen responden mengatakan hendak melanjutkan program bekerja empat hari dalam sepekan ini. Apalagi, bonus libur pada hari Jumat ini masih dibayar oleh kantor. Perusahaan-perusahaan ini melaporkan bahwa para pekerja lebih banyak beristirahat sehingga lebih bahagia. Hal ini kemudian berpengaruh kepada persepsi mereka yang semakin positif terhadap kantor dan berujung kepada peningkatan produktivitas kerja.
Pandangan yang kritis mengenai pengurangan waktu kerja ini juga ada. Beberapa bidang pekerjaan seperti di agrikultur, konstruksi, dan manufaktur tidak akan bisa menerapkan empat hari kerja ini karena akan menurunkan produksi. Akibatnya, harga komoditas akan melejit.
Budaya kantor
Lebih penting lagi, para pakar ketenagakerjaan mengatakan, kunci dari produktivitas kerja adalah budaya perkantoran yang sehat. Bruno Palier, Direktur Sciences Po Paris menjelaskan kepada Washington Post bahwa alasan pekerja kerah putih sekalipun menolak peningkatan usia pensiun di Perancis ialah karena budaya kerja yang sangat feodal sehingga karyawan tidak didengar aspirasinya. Bahkan, sudah rahasia umum di Perancis para petinggi perusahaan bisa membuat aturan yang mengeksploitasi pekerjanya sehingga tingkat kelelahan psikis dan fisik sangat tinggi.
AP PHOTO/AHN YOUNG-JOON
Seorang pialang tengah menyerahkan sejumlah dokumen kepada rekannya yang tengah bekerja tak jauh dari papan elektronik yang memperlihatkan pergerakan indeks harga saham dan nilai tukar won atas dollar AS di Korea Composite Stock Price Index (KOSPI), Kamis (9/3/2023).
Hal serupa juga dikatakan oleh pengajar Fakultas Hukum Universitas Hongik, Korsel, Cho Hee-kyung kepada NBC. “Korsel masih terperangkap mental masa lalu ketika negara masih miskin dan warga bekerja membanting tulang tanpa henti. Generasi tua tidak menyadari mereka membangun budaya kerja yang predatorial,” tuturnya.
Ia menjelaskan, di Korsel, karyawan tidak boleh pulang sebelum atasan meninggalkan kantor, meskipun tugas dan jam kerja mereka telah selesai. Lembur oleh atasan dianggapsebagai keharusan yang dilakukan oleh karyawan, sehingga apabila karyawan menolak, kariernya bisa terhambat. Setelah jam kerja yang panjang, karyawan masih diharuskan pergi minum-minum dengan atasan hingga larut malam.
Generasi muda melihat ini pola hidup yang tidak sehat. Pilihannya hingga saat ini adalah bekerja atau berkeluarga. Apabila berkeluarga, kesempatan berkarier hampir bisa dipastikan berhenti. Perempuan harus menjadi ibu rumah tangga dan laki-laki harus lembur lebih banyak.
“Tidak ada anak muda yang mau kehidupan seperti ini. Mereka menyadari bahwa sebagai manusia, harus ada keseimbangan antara karier dan kehidupan pribadi,” kata Cho.
Desakan masyarakat tampaknya berhasil karena Presiden Korsel Yoon Suk-yeol di awal pekan ini berbicara di hadapan DPR. Ia mengatakan, bekerja di atas 60 jam per pekan tidak menyehatkan.
AFP/ANTHONY WALLACE
Seorang pekerja berjalan menuju sebuah kapal feri yang berlabuh di Incheon tak lama setelah kembali dari Pulau Baekryeong, Korea Selatan, Sabtu (29/10/2022).
Dokter Institute Kedokteran Fungsional, AS, Aarti Soorya, menerangkan di majalah Forbes edisi Rabu (22/3/2023) bahwa pandemi membuat banyak perusahaan mengira harus “menebus” kehilangan jam kerja tatap muka dengan menambah jam kerja. Padahal, ini justru membuat setiap pekerja semakin terisolasi.
Ia menjelaskan, manusia adalah makhluk sosial. Budaya kantor yang tidak sehat membuat pekerja merasa terisolasi, apalagi ditambah pandemi Covid-19 yang memaksa seluruh dunia melakukan karantina dan isolasi fisik. Naluri manusia adalah bertarung atau kabur (fight or flight).
Akan tetapi, dua hal ini pada keadaan tertentu menjadi keistimewaan karena tidak semua pekerja bisa memperjuangkan haknya dan mengubah sistem di perusahaan tempat dia bekerja. Tidak semua orang pula memiliki pilihan untuk keluar dari pekerjaan sekarang dan pindah ke tempat lain, atau malah beralih profesi.
“Bagi pekerja yang tidak memiliki pilihan fight or flight ini, pekerjaan menjadi perangkap. Mereka tidak akan merasa aman, apalagi bahagia di kantor sehingga jangan harap ada produktivitas, apalagi kreativitas dan inovasi,” ujar Soorya.
Menurut dia, perusahaan yang sehat ialah yang mendengar aspirasi pekerjanya dan memberi ruang untuk tumbuh kembang. Kantor menghargai perbedaan gagasan di antara pekerjanya sehingga ini memicu persaingan yang sehat dan pengembangan kreativitas. Komunikasi juga harus dijaga agar terbuka dan timbal balik, bukan satu arah berupa perintah dari atasan.