Setahun Perang Ukraina Makin Perdalam Permusuhan, Pertempuran Bakal Panjang
Hingga saat ini, pendekatan militer diyakini satu-satunya jalan penyelesaian dalam konflik Ukraina-Rusia. ”Saat ini bukan waktunya untuk berdialog dengan Rusia,” kata Presiden Perancis Emmanuel Macron.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·3 menit baca
MUENCHEN, MINGGU — Menjelang satu tahun perang Ukraina, yang diawali invasi Rusia pada 24 Februari 2022, api permusuhan di antara pihak yang berkonflik semakin berkobar. Hal ini tak hanya terlihat di medan pertempuran, tetapi juga di kalangan para pemimpin penentu kebijakan negara masing-masing.
”Saat ini bukan waktunya untuk berdialog dengan Rusia,” kata Presiden Perancis Emmanuel Macron pada Konferensi Keamanan Muenchen, Jerman, Jumat (17/2/2023).
Jumat (24/2/2023) mendatang, tepat setahun perang di Ukraina berkecamuk. Dengan perkiraan angka sebenarnya jauh lebih tinggi, Kantor Komisioner Tinggi PBB untuk HAM mencatat 7.199 warga sipil di Ukraina tewas dan 11.756 orang luka-luka. Jumlah itu di luar korban militer di pihak Ukraina dan Rusia yang ditaksir bisa mencapai puluhan ribu jiwa.
”(Perang) Ini jadi perang atrisi, pertarungan di mana jika ada kemenangan di pihak mana pun harus dibayar dengan kerugian besar,” tulis Barry R Posen, profesor ilmu politik pada Massachusetts Institute of Technology, AS, dalam Foreign Affairs (4 Januari 2023). ”Tak ada negara yang terlihat siap bernegosiasi,” ujar Posen.
Konflik lebih lama
Hingga saat ini, pendekatan militer diyakini satu-satunya jalan penyelesaian. Hal ini antara lain disampaikan Macron. ”Kami siap hari ini mengintensifkan (upaya kami) dan siap menghadapi konflik lebih lama. Ini satu-satunya cara memaksa Rusia kembali ke meja perundingan dan membangun perdamaian abadi,” katanya.
Pada KTT G20 di Bali, pertengahan November 2022, melalui telekonferensi, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menawarkan 10 formula damai. Formula itu meliputi isu keamanan nuklir, keamanan pangan, keamanan energi, pembebasan tawanan, pemulihan teritorial Ukraina, penarikan mundur pasukan Rusia, pengadilan kejahatan perang, pencegahan ekosida, pencegahan eskalasi konflik, dan kesepakatan penghentian perang.
Proposal itu ditolak Rusia. Moskwa menegaskan tak akan mundur sejengkal pun dari teritorial yang direbutnya dengan kekuatan. Luasnya diprediksi seperlima dari wilayah Ukraina. Selain menguasai Crimea pada 2014, Presiden Rusia Vladimir Putin pada akhir November 2022 juga mengumumkan aneksasi Donetsk, Luhansk, Kherson, dan Zaporizhzhia sebagai bagian dari Rusia.
Tawaran perundingan oleh pihak ketiga pun kandas. Dalam Konferensi Keamanan Muenchen, Sabtu (1/2), mantan Menlu China yang kini Direktur Kantor Komisi Urusan Luar Negeri Partai Komunis China, Wang Yi, menyerukan dialog guna penghentian perang. Seperti AS, China dinilai berkapasitas memengaruhi Moskwa.
”(Tetapi) Sejumlah kekuatan terlihat tak ingin negosiasi berhasil atau tak ingin perang segera berakhir,” ujar Wang.
Meski demikian, lontaran itu dipandang Barat dengan penuh kecurigaan. Hal ini terkait langkah Beijing menjalin kemitraan ”tanpa batas” dengan Moskwa.
Titik balik sejarah
Perang di Ukraina telah menata ulang aliansi-aliansi global, menebalkan lagi kecemasan-kecemasan baru, serta memaksa banyak negara merevisi kebijakan di bidang keamanan, energi, ekonomi, dan geopolitik. Kanselir Jerman Olaf Scholz menyebut era ini sebagai titik balik (zeitenwende).
”Kekuatan-kekuatan baru telah muncul atau muncul lagi, termasuk China yang kuat secara ekonomi dan asertif secara politik,” tulis Scholz dalam artikelnya di Foreign Affairs (edisi Januari/Februari 2023). ”Dalam dunia multipolar baru, negara-negara dan banyak model pemerintahan bersaing berebut kekuasaan dan pengaruh.”
Invasi Rusia ke Ukraina memaksa Berlin menaikkan anggaran pertahanan menjadi 2 persen dari produk domestik bruto. Di belahan Eropa lain, Finlandia dan Swedia mengakhiri posisi netralnya untuk bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Di Asia, perang di Ukraina menyalakan alarm baru soal bara di Taiwan. Wilayah ini memerintah secara mandiri, tetapi Beijing menganggap pulau itu bagian dari China, yang akan disatukan suatu waktu—jika perlu dengan kekuatan.
”Jika kita membiarkan perubahan status quo secara unilateral dengan kekuatan tanpa dilawan, hal sama bisa terjadi di tempat lain, termasuk Asia,” kata Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida dalam ceramah di Johns Hopkins University, AS, bulan lalu.
Jepang, salah satu sekutu AS di Asia, tahun ini menjadi Ketua G7. Lewat serangkaian pertemuan tahun ini, Tokyo berupaya menyatukan negara-negara seirama dengan mereka.
Namun, situasi setahun terakhir memperlihatkan dinamika geopolitik yang berbeda. Di belahan bumi selatan tampil negara-negara demokrasi besar yang tidak pro-Barat atau pro-Rusia, seperti India, Indonesia, dan Afrika Selatan. Dengan menambahkan Argentina, Brasil, dan China, ahli ekonomi asal AS, Jeffrey Sachs, menyebut kelompok itu sebagai ”negara-negara netral” (The Economist, 18 Januari 2023).
Negara-negara itu, kata Sachs, ”sering menyerukan negosiasi guna mengakhiri konflik (Ukraina versus Rusia). Mereka bisa membantu dijalankannya kesepakatan yang dicapai”. (AP/AFP/REUTERS)