Perdana Menteri Kamboja Hun Sen mengisyaratkan dirinya akan mundur dari jabatannya pada Juli 2023. Dia mendukung anaknya, Hun Manet, petinggi angkatan darat Kamboja, menjadi penggantinya.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
AFP/TANG CHHIN SOTHY
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen (kiri) tiba di gedung parlemen Kamboja, Rabu (5/9/2018). Parlemen Kamboja hasil pemilu 2018 memulai sidang perdana. Seluruh 125 kursi parlemen dimenangi partai pimpinan Hun Sen, Partai Rakyat Kamboja (CPP).
PHNOM PENH, RABU — Sempat berniat untuk mengakhiri jabatannya pada tahun 2028, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, Selasa (14/3/2023), mengisyaratkan dirinya berniat mundur dari jabatannya pada Juli 2023 seusai pemerintahan baru terbentuk. Ia telah menjabat nyaris empat dekade. Hun Sen menjagokan putranya, Hun Manet (45), yang kini menjabat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Kamboja untuk meneruskan jabatannya memimpin Kamboja.
Niat itu diutarakan Hun Sen saat mengunjungi proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga air di sebuah desa di Provinsi Pursat, Selasa. Dia mengatakan, sudah waktunya bagi generasi baru untuk mengambil alih kepemimpinan politik di Kamboja karena dirinya telah terlalu lama berkuasa. Apabila masa jabatannya sebagai menteri luar negeri dan wakil perdana menteri masuk dalam kalkulasi masa jabatan, total dia telah berkuasa nyaris 45 tahun.
”Sekarang kita sudah menemukan generasi muda yang akan datang menggantikan kita. Sebaiknya kita serahkan kepada mereka dan tinggal di belakang mereka saja,” ujarnya.
Dia tidak menjelaskan lebih jauh pernyataannya soal generasi muda yang akan menggantikannya. Akan tetapi, sejak beberapa tahun terakhir, Hun Sen telah berulang kali mengemukakan keinginannya mendorong Hun Manet untuk menggantikannya atau mengangkatnya ke posisi penting dalam pemerintahan.
Akan tetapi, niatnya yang paling jelas diutarakannya pada Desember 20221. Saat itu dia dengan jelas menyatakan dukungan pada putranya untuk mengambil alih jabatan yang telah dipegangnya selama 38 tahun. Namun, pengambilalihan itu tidak semata melalui penunjukan, melainkan melalui proses pemilihan.
AFP PHOTO / TANG CHHIN SOTHY
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen (tengah) berfoto bersama dengan warga ketika dia menghadiri peluncuran kapal angkutan umum di Phnom Penh, Rabu (1/8/2018). Hun Sen kembali memenangi pemilihan umum Kamboja.
Manet, lulusan akademi militer top West Point di Amerika Serikat, belum secara tegas menyetujui keinginan sang ayah. Akan tetapi, selain telah memiliki karier di militer dengan pangkat brigadir jenderal, dia juga telah merintis karier di politik. Pada 2018 dia diangkat sebagai anggota Komite Tetap Partai Rakyat Kamboja yang terdiri atas 37 orang dari sebelumnya duduk di komite pusat partai. Posisi ini menjadikan Manet sebagai bagian dari lingkaran inti kelompok politik ayahnya.
Meski sudah mundur dari jabatannya, Hun Sen menyatakan, dirinya nanti tetap akan berdiri di belakang perdana menteri yang baru dan mendukungnya. Dia menyatakan, kabinet baru akan kuat apabila didukung politisi pensiunan seperti dirinya.
Rekam jejak
Hun Sen lahir dari keluarga petani pada 1952. Ia mengenyam pendidikan dasar dari para biksu Buddha di Phnom Penh. Di kota inilah dia memulai karier politiknya setelah bergabung dengan Partai Komunis tahun 1960. Saat rezim Khmer Merah berkuasa di Kamboja tahun 1977, Hun Sen melarikan diri ke Vietnam dan melancarkan perlawanan dari sana. Kemudian, saat perlawanan terhadap Khmer Merah berhasil, dia didapuk menjadi menteri luar negeri Kamboja tahun 1979. Enam tahun kemudian dia diangkat menjadi perdana menteri ketika usianya baru 33 tahun.
Kelihaian Hun Sen dalam politik membuat dia bisa mengubah hasil pemilu tahun 1993. Sempat dinyatakan kalah dalam pemilu itu, sebagaimana dikutip kantor berita BBC, dia memaksa pesaingnya untuk bernegosiasi dan berhasil menduduki jabatan sebagai perdana menteri kedua bersama Pangeran Norodom Ranaridh dari Partai Funcinpec.
REUTERS/SAMRANG PRING
Raja Kamboja Norodom Sihamoni disambut Perdana Menteri Hun Sen (kanan) saat perayaan kemerdekaan ke-64 di Phnom Penh, Kamboja, 9 November 2017.
Sejumlah media Barat menggambarkan sosok Hun Sen sebagai politisi yang licik dan kejam, menggunakan berbagai cara untuk mempertahankan kekuasaannya. Pada 1997, Hun Sen memimpin kudeta berdarah dan berhasil memaksa Pangeran Ranaridh meninggalkan negara tersebut serta menyerahkan kekuasaan kepadanya. Setelah itu, nyaris tidak ada lawan politik yang mampu mengimbanginya.
Partai berkuasa, Partai Rakyat Kamboja (CCP) pimpinan Hun Sen, dipastikan akan menduduki posisi teratas dalam pemilihan umum. CCP memenangi semua kursi Majelis Nasional dalam pemilu 2018, setelah pengadilan memerintahkan agar satu-satunya kelompok oposisi yang kredibel, Partai Penyelamatan Nasional Kamboja, dibubarkan karena diduga merencanakan penggulingan pemerintah secara ilegal.
Selain itu, dengan kekuasaan yang dimilikinya, Hun Sen juga mengamendemen konstitusi agar para pesaingnya tidak memiliki peluang untuk mengambil alih kekuasaan. Di bawah Hun Sen, tiga pilar demokrasi, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, telah menjadi alat bagi untuk melanggengkan kekuasaan.
REUTERS / ATHIT PERAWONGMETHA
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen menghadiri Upacara Pembukaan KTT ASEAN Ke-35 di Bangkok, Thailand, 3 November 2019.
Dia juga secara teratur memperingatkan warga Kamboja bahwa jika dia digulingkan dari kekuasaan, negara itu akan kembali ke keadaan perang. Pada awal Maret, pengadilan Phnom Penh menjatuhkan putusan 27 tahun penjara bagi pemimpin oposisi Kamboja, Kem Sokha. Hun Sen menuduh Sokha bekerja sama dengan entitas asing melancarkan kudeta, revolusi warna. Sokha, yang berusia 69 tahun, diyakini akan mendekam di penjara atau setidaknya tahanan rumah selama 30 tahun ke depan.
Charles Dunst, peneliti nonresiden di CSIS Washington, dikutip dari laman CSIS, mengatakan, Manet tidak memiliki kharisma dan legitimasi politik sang ayah. Jika Manet meneruskan kekuasaan sang ayah ”melalui proses demokrasi”, Dunst menyatakan, dia kemungkinan akan memfokuskan pemerintahannya pada isu-isu ekonomi, ketersediaan barang-barang publik, dan isu-isu populer lainnya.
”Dengan demikian, ada kemungkinan Manet dapat mengubah kebijakan luar negeri Kamboja ke arah yang lebih mirip dengan Malaysia atau Thailand jika dia berkuasa dengan cara yang relatif tidak berdarah. Di satu sisi, negara menghargai dan menyambut minat investasi negara-negara Barat, dan di sisi lain tetap menjalin hubungan yang akrab dan hangat dengan mitra dekatnya, China,” tulis Dunst. (AP/MHD)