Lawatan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen ke Myanmar dinilai melemahkan upaya ASEAN menekan pemimpin junta, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·5 menit baca
NAYPYIDAW, JUMAT — Lawatan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen ke Myanmar, negara yang dilanda krisis politik akibat kudeta militer, dinilai melemahkan upaya ASEAN menekan pemimpin junta, Jenderal Min Aung Hlaing. Orang-orang sinis terhadap posisi Hun Sen sebagai ”perantara yang jujur” karena dia memiliki rekam jejak yang buruk terhadap para lawan politik di negerinya.
Media South China Morning Post, Jumat (7/1/2022), melaporkan, Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR), yakni jaringan regional anggota dan mantan anggota parlemen, menentang kunjungan Hun Sen ke Myanmar. APHR sehari sebelumnya mengunggah foto Hun Sen di pesawat dengan tagar #HunSenStayHome dan bertuliskan kata-kata ”Tak Ada Diplomasi Koboi”.
Ketua APHR Charles Santiago mengatakan, Hun Sen telah terang-terangan bertindak menentang ASEAN dengan ”secara sepihak” mengunjungi Myanmar. Kunjungan Hun Sen dapat ditafsir sebagai bentuk legitimasi terhadap pemerintahan junta karena dilakukan setelah junta Myanmar meningkatkan kekerasan terhadap warga sipil di negara berpenduduk 54 juta jiwa itu.
Hun Sen dalam kunjungannya didampingi Wakil Perdana Menteri Prak Sokhonn, yang juga Utusan Khusus ASEAN saat ini, dan para pejabat tinggi Kamboja. Kunjungan itu terjadi setelah pasukan junta membunuh sekitar 1.443 warga sipil—terhitung sejak kudeta dilakukan pada Februari 2020—menurut penghitungan rinci oleh Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.
Menurut Santiago, sebaiknya Hun Sen menahan diri hingga junta Myanmar mau mewujudkan komitmennya kepada ASEAN. ”Seharusnya tidak ada yang tertipu oleh apa yang disebut sebagai rencana junta untuk kembali ke demokrasi. Situasi mengerikan ini tidak baik untuk kawasan atau dunia,” kata Santiago, anggota parlemen Malaysia dari Klang, Selangor.
Pada Oktober 2021, ASEAN mengambil langkah yang sangat tidak biasa terhadap pemimpin junta Myanmar. Para menteri luar negeri ASEAN tidak mengundang Hlaing pada KTT ASEAN, 26-28 Oktober, sebagai tanggapan atas penolakan Myanmar memberi izin utusan khusus ASEAN untuk bertemu Aung San Suu Kyi. Langkah ini merupakan sikap tegas pertama ASEAN sejak krisis Myanmar per 1 Februari 2021.
Sebelumnya, April 2021, para pemimpin ASEAN telah sepakat dengan Hlaing tentang peta jalan yang tertuang dalam lima poin konsensus ASEAN untuk menuju penyelesaian damai. Hal itu mencakup diakhirinya kekerasan dan dimulainya dialog politik di antara semua pemangku kepentingan. Namun, hingga kini tidak dijalankan Hlaing. Santiago mengatakan, kunjungan Hun Sen merusak reputasi ASEAN.
Kantor berita AFP dan AP melaporkan, Hun Sen sendiri adalah seorang pemimpin otoriter yang telah memegang kekuasaan selama 36 tahun dan mengontrol ketat aktivitas politik di Kamboja. Dia terkenal kejam terhadap semua lawan politik, aktivis, dan pekerja media. Kali ini dia ke Myanmar dalam upaya menghidupkan kembali inisiatif diplomatik untuk memulihkan perdamaian.
Dalam perannya sebagai Ketua ASEAN 2022, Jenderal Senior Hun Sen, mantan tokoh Khmer Merah itu, datang ke Naypyidaw ASEAN untuk membantu Myanmar keluar dari krisis. Dia bertemu Hlaing, jenderal senior yang memimpin kudeta militer Myanmar untuk menggulingkan pemerintahan sipil dan demokratis di negara itu.
Hun Sen, Rabu (5/1/2022), di Phnom Penh, mengatakan bahwa dia tidak menetapkan prasyarat apa pun menjelang kunjungannya ke Myanmar. Misinya adalah untuk menegakkan lima poin konsensus ASEAN. ”Yang ingin saya sampaikan dalam pembicaraan itu tidak lain adalah lima poin konsensus yang telah disepakati semua negara anggota ASEAN,” katanya tentang lawatan tersebut.
Video yang diunggah di halaman Facebook resmi Hun Sen menunjukkan dia disambut oleh pejabat senior Myanmar setelah kedatangannya di ibu kota Naypyidaw, Jumat pagi. Media Pemerintah Myanmar juga menyiarkan kedatangannya. Dia adalah kepala negara pertama yang mengunjungi Myanmar sejak junta militer merebut kekuasaan pada 1 Februari 2021.
Kamboja mengatakan ingin memulihkan krisis di Myanmar. Pada awal pekan ini, Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhonn mengatakan, kunjungan Hun Sen bertujuan untuk menciptakan ruang dialog yang inklusif dan kepercayaan politik di antara semua pihak di Myanmar.
Kementerian Luar Negeri Kamboja mengatakan bahwa Hun Sen akan membahas dan bertukar pandangan dengan Min Aung Hlaing tentang kerja sama bilateral dan multilateral dan perkembangan terakhir di ASEAN. Hun Sen berharap kunjungan dua harinya ke Myanmar membuahkan hasil.
Namun, ketika tiba di Naypyidaw, Hun Sen disambut unjuk rasa penolakan terhadap kunjungannya. Hun Sen juga dikecam kelompok HAM dan kelompok anggota parlemen terguling yang dikenal sebagai Komite Mewakili Pyidaungsu Hluttaw (CRPH). CRPH menyebutkan lawatan Hun Sen ”tidak bermanfaat” dan rakyat Myanmar ”marah” atas sikapnya terhadap junta militer.
Hunter Marston, pengamat ASEAN dan peneliti di lembaga kajian Forum Pasifik, mengatakan, Hun Sen dapat mengurangi kritik terhadap lawatannya jika bertemu dengan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), yang terdiri dari anggota parlemen terpilih yang digulingkan. Namun, tampaknya itu mustahil dilakukan karena junta sudah menetapkan mereka sebagai ”kelompok teroris”.
”Min Aung Hlaing akan mendengarkannya (Hun Sen) sejauh dia menemukan mitra yang berguna untuk agenda politiknya,” kata Marston, seraya menambahkan bahwa meskipun Hun Sen mungkin mendesak pihak militer Myanmar untuk menahan diri, hal itu ”tidak mungkin menjadi prioritasnya atau demi kepentingan bersama mereka”, seperti dikutip South China Morning Post.
Pada Kamis (6/1/2022), Amnesty International meminta Hun Sen membatalkan perjalanan dan memprioritaskan tindakan hak asasi manusia daripada ”bualan kosong”. Wakil Direktur Regional Amnesty Internasional untuk Penelitian, Emerlynne Gil mengatakan, ”diplomasi jahat Hun Sen” mungkin berakhir dengan ”mengirim pesan yang beragam” kepada pemimpin junta Myanmar.
Amnesty International mengatakan, kunjungan Hun Sen mungkin lebih banyak membawa bahaya ketimbang kebaikan. ”Jika Hun Sen benar-benar ingin membantu, dia seharusnya membatalkan lawatannya dan memimpin ASEAN dengan tindakan tegas, yakni mengatasi situasi HAM yang mengerikan di negara itu daripada menuruti isyarat kosong,” kata Gil. (AFP/REUTERS/AP)