Iran dikejutkan dengan serangkaian serangan peracunan terhadap siswi-siswi. Diyakini, ada kelompok ekstrem baru yang menjadi dalang.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
TEHERAN, SELASA – Pemerintah Iran menduga ada serangan terencana terhadap anak-anak perempuan di negara tersebut oleh kelompok ekstremis baru. Modusnya ialah dengan meracuni murid-murid di sekolah putri. Dampaknya, para orangtua menarik anak-anak mereka agar tidak kembali bersekolah.
Kesimpulan itu diumumkan melalui kantor berita nasional Iran, IRNA pada Selasa (28/2/2023). “Kami mendata, kejadian ini telah berlangsung sejak bulan November 2022. Sudah ada ratusan anak perempuan jatuh sakit akibat keracunan,” kata Wakil Menteri Kesehatan Iran Younes Panahi.
Meskipun demikian, Panahi menekankan bahwa racun yang dipakai oleh para pelaku bukan racun dari senjata biokimia. Murid-murid yang terkena racun tidak memerlukan perawatan yang serius. Umumnya, mereka mengalami sakit kepala, mual, muntah, dan mata berair.
Menurut data Pemerintah Iran, kejadian pertama terjadi di sekolah putri di Kota Qom. Ketika itu, para siswi yang sedang belajar di kelas mengaku mencium bau seperti cairan pembersih. Setelah itu, belasan siswi muntah-muntah sehingga pelajaran dihentikan. Sejumlah siswi dibawa ke rumah sakit dan diizinkan pulang pada hari yang sama.
Awalnya, pemerintah setempat menyangka ada kebocoran gas dari sistem pemanas yang dipakai selama musim dingin. Akan tetapi, pada Desember 2022, kejadian serupa terjadi di sekolah yang berbeda di Qom. Setelah itu, muncul kejadian-kejadian sporadis di berbagai kota, termasuk Teheran dan Bouroujerd. Tercatat, ada 14 sekolah putri dan satu sekolah putra mengalami keracunan ini.
Stasiun televisi Iran International dan surat kabar Ettelaat mengatakan, setidaknya ada 400 murid sekolah dirujuk ke rumah sakit karena keracunan. Hampir semuanya adalah perempuan. “Kami menemukan bahwa ada kelompok yang menginginkan semua sekolah, terutama sekolah putri ditutup,” kata Panahi.
Parlemen Iran telah mengeluarkan pernyataan agar kepolisian mengusut tuntas kasus ini. Mereka mengatakan, penghalangan pendidikan tidak bisa dibiarkan, apalagi jika didalangi oleh kelompok subversif kanan. Jaksa Agung Mohamed Jafar Montazeri menuturkan, pihaknya telah menggelar penyelidikan.
Iran adalah negara yang berlandaskan hukum Islam setelah pemerintahan republik menumbangkan kerajaan melalui revolusi tahun 1979. Walaupun Iran memiliki sejumlah peraturan yang mengatur tata cara perempuan tampil di depan umum, sejak revolusi tahun 1979, perempuan sama sekali tidak pernah dilarang bersekolah, berkuliah, dan berkarier.
Kasus kematian Mahsa Amini (22) pada September 2022 akibat dugaan penganiayaan oleh polisi moral karena Amini tidak berjilbab sesuai aturan ditanggapi dengan unjuk rasa besar-besaran yang melibatkan siswa sekolah dan mahasiswa. Setelah unjuk rasa selama tiga bulan lebih itu, aturan berbusana bagi perempuan Iran lebih longgar. Bahkan, kerap dijumpai perempuan yang tidak lagi berkerudung. (Kompas, 26 Februari 2023)
Di Qom, ratusan orangtua murid berkumpul di depan kantor wali kota guna meminta pemerintah setempat segera menyelidiki kasus ini. Sementara waktu ini, para orangtua menarik putri-putri mereka dari sekolah karena takut ada serangan peracunan baru.
Klaim
Pemerintah belum mengumumkan tersangka pelaku peracunan. Akan tetapi, surat kabar Israel Jerusalem Post mengutip akun media sosial Telegram milik media Iran Moalleman News menyebutkan, dalam akun medsos itu diunggah pernyataan dalam bahasa farsi dari kelompok Fidayeen Velayaat (Para Pemuja yang Tertinggi). Mereka mengatakan bahwa pendidikan modern adalah racun bagi kaum perempuan. Oleh karena itu, anak-anak perempuan tidak boleh bersekolah.
“Kami akan terus meracuni murid-murid sampai semua sekolah putri ditutup,” kata pernyataan Fidayeen Velayaat itu.
Belum ada kejelasan mengenai kelompok ini. Sejauh yang diketahui oleh media maupun publik Iran, belum pernah terdengar kelompok ekstremis bernama Fidayeen Velayaat. Oleh sebab itu, tidak diketahui afiliasi mereka kepada kelompok yang lebih besar.
“Menghalangi pendidikan kaum perempuan adalah perbuatan setan. Ini adalah perbuatan yang membahayakan masyarakat dan harus diberantas,” kata Ali Reza Monadi, anggota Komite Pendidikan di Parlemen Iran.
Sejumlah pegiat politik menghubungkan peracunan para siswi ini dengan serangkaian kejahatan penyiraman air keras kepada perempuan di Kota Isfahan pada tahun 2014. Banyak pihak mengatakan bahwa penyerangan itu adalah tindakan terencana. Akan tetapi, pemerintah kala itu tidak menggubris dan mengatakan bahwa itu kejahatan yang sporadis.
“Kalau pemerintah serius memburu para pelaku di tahun 2014, mereka tidak akan kembali dan sekarang meneror anak-anak perempuan kita,” ujar Azar Mansouri, pegiat reformasi politik. (AP)