Amini dan Kejenuhan Terhadap Negara Yang Jadi Polisi Moral
Kasus kematian Amini di Iran dan gelombang unjuk rasa yang mengikutinya bukan semata urusan cara berpakaian. Fenomena itu menunjukkan kejenuhan masyarakat terhadap negara yang jadi polisi moral.
Unjuk rasa selama dua pekan terakhir di Iran bukan hanya soal Mahsa Amini (22), apalagi penolakan pada kewajiban berkerudung bagi perempuan Muslim. Unjuk rasa itu adalah protes atas pengendalian moral dan kekerasan atas nama agama selama 39 tahun terakhir.
Hingga Sabtu (1/10/2022), protes yang dipicu kematian Amini terus terjadi di berbagai penjuru Iran. Bukan hanya di Kurdistan yang merupakan kampung halaman Amini, protes juga merebak hingga ke provinsi lain dan hingga ke Teheran.
”Pembunuhan Mahsa Amini menjadi pemicu dorongan perubahan karena wajib kerudung di Iran bukan sekadar sepotong kain penutup kepala. Kerudung di Iran seperti Tembok Berlin. Jika perempuan Iran merobohkannya, Republik Islam tidak ada,” kata penggiat hak perempuan Iran yang kini tinggal di Amerika Serikat, Masih Alinejad.
Baca juga Demo di Iran Masuki Pekan Ketiga, Garda Revolusi Kehilangan Dua Pejabat Senior
Pada 2014, Alinejad menggemparkan Iran karena membuat laman Facebook berisi foto-foto perempuan tanpa kerudung. Laman bernama ”My Stealthy Freedom” itu memuat foto ratusan perempuan di berbagai penjuru Iran.
Wajib kerudung di Iran secara resmi dimulai pada 1983. Kala itu, parlemen Iran mengesahkan hukum cambuk hingga 74 kali bagi perempuan yang tidak memakai kerudung di luar rumah. Pada 1995, sanksinya ditambah dengan kurungan hingga dua bulan.
”Wajib kerudung adalah salah satu fondasi upaya pembentukan masyarakat anti-Barat di Iran,” kata pakar gerakan politik perempuan Iran, Hamideh Sedghi.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ali Munhanif, mengatakan, protes beberapa hari terakhir adalah efek jangka panjang sisi buruk pengaturan moral oleh negara. Di Iran atau negara lain, atas nama pengendalian moral, pemerintah membuat aturan dan lembaga penegak aturan itu menjadi hakim atas nama penegakan ajaran agama.
Iran salah satu negara yang mengawali pelembagaan tersebut. Sejumlah negara lain mencoba meniru dan sejauh ini gagal. Eksperimen Taliban di Afghanistan, Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), hingga Ikhwanul Muslimin di Mesir adalah rangkaian kegagalan itu.
Salah satu penyebab kegagalan tersebut adalah penegakan aturan yang kerap berujung pada kekerasan. Kasus Amini merupakan salah satu bukti kekerasan atas nama pengaturan moral itu.
Baca juga Internet Diblokir, Keran Informasi Mampet
Pada 13 September 2022, Amini melakukan perjalanan dari Saqqez di Provinsi Kurdistan ke Teheran. Di ibu kota Iran itu, dia ditahan oleh polisi moral atau Gasht-e Irsyad karena dinilai melanggar aturan mengenakan kerudung.
Sempat menjalani bimbingan di sebuah pusat bimbingan di Teheran, untuk dididik tentang tata cara berpakaian sesuai dengan aturan negara, Amini meninggal pada Jumat (16/9). Keluarga berkeras bahwa kematian Amini karena dipukuli polisi moral Iran. Menurut keluarga, cedera serius di kepala Amini menjadi penyebab kematian.
Sementara pemerintah berubah-ubah keteranganya. Awalnya, Amini dinyatakan meninggal karena gagal jantung. Belakangan, setelah unjuk rasa meluas, pemerintah menyebut penyebab kematian Amini masih perlu diselidiki.
Jurnalis senior Arab Saudi, Abdulrahman al-Rashed, mengatakan, Iran tidak pernah berhenti diguncang rangkaian unjuk rasa luas sejak 2009. Terjadi di setidaknya 300 kota, protes terkait Amini adalah lanjutan dari rangkaian unjuk rasa tersebut.
”Akar masalah ini adalah ketidakmampuan pemimpin Iran menghadapi perubahan di kalangan penduduk muda. Alih-alih menyelesaikan masalah itu, para pemimpin Iran terus menyalahkan faktor eksternal dan pandangan konspiratif,” tulisnya di media Arab Saudi, Asharq al-Aawsat.
Baca juga Iran Belum Temukan Bukti Kekerasan terhadap Amini
Ali mengatakan, mungkin saja ada pengaruh faktor eksternal dalam rangkaian protes di Iran. Namun, seperti disampaikan Al-Rashed, Ali lebih melihat perubahan demografi dan kondisi sosial ekonomi sebagai penyebab rangkaian protes di Iran.
Dalam protes terkait Amini, penggerak utama adalah pelajar dan pekerja kelas menengah. Mereka bergerak dalam kelompok kecil dari berbagai titik, lalu bertemu di suatu lokasi menjadi massa besar.
Kehendak bebas
Protes terkait Amini, bagi Ali, adalah wujud kehendak kelas menengah Iran atas kebebasan lebih luas. ”Ada kejenuhan atas semakin berkuasanya polisi moral dalam mengatur masyarakat dengan dalih agama. Polisi moral menjadi lembaga otoritas dan brutal atas nama agama,” ujar Ali.
Kejenuhan atas kekerasan itu, juga kegagalan pelembagaan pengaturan moral, mendorong tuntutan perombakan. Gelombang protes terkait Amini adalah bukti mutakhir bahwa tuntutan itu sulit dibendung.
Ada kejenuhan atas semakin berkuasanya polisi moral dalam mengatur masyarakat dengan dalih agama.
Menurut Ali, sulit bagi Iran atau negara lain yang mempunyai kebijakan mirip untuk mengabaikan fenomena itu. Pemerintah Iran perlu mengakomodasi tuntutan itu dan melakukan serangkaian perubahan. Publik perlu lebih dilibatkan dalam pembuatan kebijakan terkait kehidupan mereka sehari-hari.
Perubahan lain adalah soal metode penafsiran dan pengajaran agama. Ke depan, penafsiran dan pengajaran perlu lebih diarahkan pada upaya membangun peradaban, alih-alih sekadar mengatur cara berpakaian.
Meski rangkaian unjuk rasa terkait Amini belum jelas kapan akan berakhir, Ali tak yakin proses itu akan berujung pada perubahan struktur politik Iran. Setidaknya hingga beberapa waktu mendatang, para ulama Iran dengan dukungan Garda Revolusi Iran masih bisa mencengkeram negara itu. ”Masih terlalu kuat,” kata Ali.
Etnis-kelas sosial
Pengamat politik dari Lebanon, Mostafa Fahs, mengatakan bahwa protes beberapa waktu terakhir tidak punya dua unsur untuk mendorong perubahan. Unsur itu adalah etnis dan kelas sosial.
Sejauh ini, walau terjadi di ratusan kota, unjuk rasa belum melibatkan secara masif suku Persia dan Azeri yang merupakan kelompok etnis terbesar Iran. Orang-orang dari kedua suku itu mengendalikan mayoritas lembaga negara dan struktur sosial ekonomi Iran.
”Tanpa keterlibatan masif mereka, sulit menjamin protes apa pun berujung pada perubahan kekuasaan,” katanya.
Iran perlu mengakomodasi tuntutan perubahan. Jika tidak, tuntutan akan meluas lebih dari sekadar protes kewajiban berkerudung.
Sejauh ini, orang Kurdi menjadi motor utama unjuk rasa terkait Amini. Di Iran, orang-orang di luar Kurdi berhati-hati pada setiap gerakan politik dan sosial suku itu. Sebab, selama puluhan tahun, suku Kurdi ingin membuat negara terpisah dari Iran, Irak, Suriah, dan Turki.
Protes terkait Amini, Fahs menambahkan, juga belum banyak melibatkan penduduk kalangan bawah. Protes masih dilakukan oleh mahasiswa, dosen, dan profesional kelas menengah. ”Tanpa dukungan kelas bawah, protes ini bisa diisolasi,” katanya.
Meski demikian, Al-Rashed mengingatkan, pemerintah dan pemimpin Iran perlu mengakomodasi tuntutan perubahan. Jika tidak, tuntutan akan meluas lebih dari sekadar protes kewajiban berkerudung. (AFP/REUTERS)