Hak perempuan terpatri di dalam prinsip demokrasi. Menafikannya akan menjadi bom waktu.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
Unjuk rasa di Iran, yang dipicu kematian seorang perempuan berumur 22 tahun, Mahsa Amini, tak kunjung reda. Bahkan, kini menjadi fenomena global. Di Iran, unjuk rasa itu, jauh lebih besar daripada unjuk rasa tahun 2009 atau Revolusi Hijau Iran yang mempertanyakan keabsahan hasil pemilihan umum. Protes juga lebih besar ketimbang unjuk rasa antikorupsi tahun 2018 yang oleh kantor berita IRNA dikabarkan diikuti 42.000 orang.
Mahsa Amini tewas pada 16 September lalu. Kematian Amini diduga akibat penganiayaan saat ia berada dalam penahanan polisi moral Iran. Ia ditahan karena dituduh tidak berjilbab sesuai dengan aturan negara.
Berbeda dari unjuk rasa lain di Iran, kali ini, aksi protes akibat kematian Amini terjadi di 86 kota, bahkan menyebar hingga ke berbagai negara, termasuk Indonesia dan Jerman. Radio nasional RBB menyiarkan, unjuk rasa pada Sabtu (22/10/2022) di Berlin, Jerman, diikuti kurang lebih dari 80.000 orang. Di Washington dan Los Angeles, tidak hanya diaspora Iran yang berdemo, warga Amerika Serikat pun turut memberi dukungan mereka kepada demokrasi, dan penghentian masuknya negara ke dalam tubuh perempuan.
Iran mengatakan bahwa unjuk rasa itu dibesar-besarkan oleh pihak asing. Pada Minggu (23/10), CNN melaporkan, Pemerintah Iran melayangkan gugatan kepada AS atas tuduhan terlibat langsung mengompori unjuk rasa. Inggris dan Arab Saudi juga diberi peringatan keras agar tidak macam-macam. Mereka melalui pemberitaan di media massa dituduh Iran memprovokasi rakyat.
”Unjuk rasa ini adalah perbuatan pihak asing untuk mendiskreditkan Republik Islam Iran yang lahir dari perjuangan rakyat pada 1979,” kata Duta Besar Iran untuk Indonesia Mohammad Azad, ketika menjadi narasumber dalam acara diskusi di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Kamis (20/10). Ucapan serupa diutarakan oleh Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian yang mengatakan, AS adalah dalang di belakang unjuk rasa dari kerusuhan di Iran.
Demokrasi
Sejatinya, pemicu peristiwa di Iran ini mirip dengan unjuk rasa besar-besaran di AS, yaitu masuknya kewenangan negara ke dalam tubuh perempuan. Di AS, mahkamah agung menghapus aturan yang melindungi hak perempuan memperoleh akses ke aborsi aman. Akibatnya, berbahaya karena kehamilan tidak diinginkan akibat kekerasan seksual masih marak terjadi. Tanpa akses ke fasilitas kesehatan, perempuan terpaksa pergi ke tempat-tempat yang diragukan keprofesionalannya dan akan dipersekusi secara hukum.
Mungkin perbandingan ini tampak ekstrem, yang satu negara liberal dan yang lain konservatif. Akan tetapi, intinya sama. Perempuan tidak memiliki kemerdekaan atas dirinya sendiri. Di Iran, aturan mengenai pakaian yang bisa atau tidak bisa dikenakan perempuan telah berlangsung lama.
Organisasi Human Rights Watch mencatat, pada 1936, Raja Iran Shah Reza Pahlevi melarang pemakaian jilbab. Ia memerintahkan aparat penegak hukum melucuti perempuan yang memakai kerudung di tempat-tempat umum. Pada 1979, ketika kerajaan jatuh dan Republik Islam Iran berdiri, perempuan diwajibkan berjilbab. Sistem pemerintahan berganti dan perempuan Iran tetap tidak memiliki kedaulatan atas tubuhnya.
Pada prinsip demokrasi, hak perempuan adalah kesatuan yang tidak terpisahkan. Setiap warga negara adalah setara di depan negara, terlepas dari jenis kelamin, identitas jender, suku bangsa, dan agama maupun kepercayaannya. Kini di Iran, unjuk rasa yang berawal dari protes atas aturan berbusana kaum perempuan, berubah menjadi unjuk rasa menuntut pergantian pemerintah. Meminta agar demokrasi datang kembali ke bumi Iran.
Pakar isu perempuan untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Valentine Moghadam, pada Agustus 2008 menulis di Sada, media analisis Timur Tengah di bawah Carnegie Endowment for International Peace. Ia menjelaskan, fenomena Musim Semi Arab datang dengan hak-hak kebebasan perempuan. Demokrasi bukan berlandaskan sistem patriarkal.