Teokrasi Iran dan Dimensi Politik Hijab
Revolusi Islam Iran 1979 membawa ekspektasi tinggi pada rakyat akan masa depan kehidupan sosial-politik yang lebih baik di bawah rezim teokrasi. Sayangnya ekspektasi itu berubah menjadi kekecewaan luas.
Hari-hari ini rezim teokrasi Iran kembali menghadapi ujian berat menyusul demonstrasi rakyat Iran di sejumlah kota. Kematian Mahsa Amini (22) di tangan polisi moral Iran karena alasan sepele tak dapat diterima rakyat.
Amini ditahan Gasht-e Irsyad (polisi moral) di Teheran, 13 September 2022, karena tak mengenakan hijab secara sempurna. Tiga hari kemudian ia tewas. Gasht-e Irsyad menyatakan, Amini terkena serangan jantung. Presiden Iran Ebrahim Raisi mendesak otoritas hukum melakukan investigasi menyeluruh atas insiden itu.
Namun, demonstrasi terus bereskalasi. Semakin banyak korban tewas. Para wanita membuat api unggun di jalanan, melepaskan hijab mereka, lalu membakarnya. Aksi mereka ini bukan sekadar pembangkangan terhadap kewajiban hijab, melainkan juga harus ditempatkan pada spektrum permasalahan Iran yang lebih luas.
Revolusi Islam Iran 1979 membawa ekspektasi tinggi pada rakyat akan masa depan kehidupan sosial-politik yang lebih baik di bawah rezim teokrasi. Dulu, kehidupan ala Barat di kota-kota besar Iran dengan para perempuan kosmopolitan melepaskan hijab merupakan pemandangan sehari-hari.
Sering dalam merayakan ulang tahun Dinasti Pahlevi, pemerintah mengundang musisi-musisi AS untuk berpentas di Teheran. Minuman keras disajikan dalam pesta dansa semalam suntuk.
Pada hari libur, para perempuan yang tak melancong ke Eropa atau AS menghabiskan waktu di pantai-pantai wisata dengan hanya berbikini, meresahkan masyarakat tradisional yang umumnya konservatif dalam beragama.
Aksi mereka ini bukan sekadar pembangkangan terhadap kewajiban hijab, melainkan juga harus ditempatkan pada spektrum permasalahan Iran yang lebih luas.
Simbol perlawanan
Dinasti Pahlevi memang hendak meniru modernisasi dan sekularisasi ekstrem ala Turki modern yang diinisiasi oleh Mustafa Kemal Attaturk. Di era Syah Reza Khan, ayah Mohammad Reza Pahlevi, rezim mengadopsi kebijakan antihijab, di mana polisi mencambuki perempuan yang kedapatan memakainya di ruang publik. Kebijakan ini menghadapi oposisi keras dari ulama.
Dus, revolusi merupakan pembalikan dari kondisi sosial-budaya yang sedang dibangun monarki. Kalau Dinasti Pahlevi hendak mentransformasi masyarakat konservatif menjadi masyarakat modern yang sekuler secara ekstrem, revolusi Islam Iran justru hendak mengembalikan masyarakat ke tatanan sosial-budaya lama secara ekstrem pula.
Maka, bagi teokrasi Syiah, kewajiban memakai jilbab bagi semua perempuan Iran sejak masuk usia balig—tidak peduli agama apa yang dipeluk, bahkan bagi orang asing non-Muslim yang berkunjung ke Iran—menjadi inti dari amanat revolusi. Hijab tiba-tiba menjadi simbol perlawanan peradaban Islam terhadap peradaban Barat meskipun kewajiban memakai hijab masih menjadi isu kontroversial di kalangan ulama.
Intelektual Muslim Nurcholish Madjid dan ahli tafsir Quraisy Shihab, misalnya, menganggap hijab tak wajib. Berbeda dengan di Indonesia, di mana pemakaian hijab adalah simbol yang netral atau tak menunjukkan ideologi atau preferensi politik seseorang, di Iran umumnya perempuan berhijab dan tak berhijab menunjukkan perbedaan ideologi mereka.
Di masa lalu, perempuan tak berhijab merupakan pendukung modernisasi Syah. Tak mengherankan, banyak dari mereka kemudian meninggalkan Iran menuju negara-negara Barat pascarevolusi. Mereka yang bertahan di Iran, yang tak mendukung revolusi, ditandai dengan busana mereka yang trendi dan modern serta rambut warna-warni yang menyembul dari balik hijab.
Yang mengenakan busana longgar (abaya) warna hitam, yang menutup seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan, menunjukkan mereka berasal dari masyarakat tradisional. Dengan demikian, membebaskan perempuan mengenakan busana sesuai kehendak mereka sendiri dipandang berbahaya oleh rezim.
Semakin banyak perempuan tak berhijab bisa berarti semakin banyak yang menentang revolusi. Dan, di saat keresahan sosial di Iran meningkat akibat lilitan ekonomi dan pembatasan politik, sangat mungkin perempuan yang tak berhijab bertambah banyak.
Sebagian tidak untuk melawan ajaran Islam, tetapi sekadar dijadikan simbol perlawanan terhadap rezim. Ini tentu saja kenyataan politik yang tak ingin dilihat rezim karena akan dapat mengungkap legitimasinya. Semakin besar perempuan yang membuang hijab, semakin berkurang pula legitimasi rezim.
Baca juga : Amini dan Kejenuhan Terhadap Negara Yang Jadi Polisi Moral
Baca juga : AS-Barat Jatuhkan Sanksi kepada Iran Terkait Demo Kasus Kematian Amini
Mungkin tidak menjadi masalah manakala rezim bisa menghadirkan kemajuan sosial-politik dan kemakmuran rakyat pascarevolusi. Sayangnya, 43 tahun setelah revolusi, ekspektasi itu berubah menjadi kekecewaan luas.
Pasalnya, kehidupan ekonomi, khususnya, lebih buruk dibandingkan dengan pada era Dinasti Pahlevi. Secara sosial, ruang gerak rakyat terbatas, terutama bagi kaum perempuan. Dari sisi politik, rezim juga membatasi kebebasan berpendapat serta ketiadaan media massa yang independen dan partai politik. Sektor ekonomi juga sangat memprihatinkan.
Tekanan Barat
Kendati Iran adalah salah satu negara produsen minyak dan gas terbesar di dunia, rakyatnya jauh dari sejahtera.
Keterpurukan di bidang ekonomi disebabkan paling tidak oleh empat variabel. Pertama, sejak 1979, Amerika Serikat bersama sekutu Barat menjatuhkan embargo ekonomi atas Iran, menyusul perangai Teheran yang tidak bisa diterima.
Misalnya, pendudukan Kedutaan Besar AS di Teheran yang diikuti penyanderaan 52 diplomatnya selama 444 hari oleh mahasiswa militan yang didukung Khomeini. Juga kebijakan ekspor revolusi ke dunia Islam.
Kedua, korupsi merajalela dan Korps Garda Revolusi Iran dan pemimpin tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei menguasai ekonomi negara.
Ketiga, populasi meningkat hampir tiga kali lipat dalam 43 tahun terakhir di saat pendapatan luar negeri anjlok akibat keterbatasannya menjual migas ke pasar global. Hal ini menyulitkan Pemerintah Iran memberdayakan rakyatnya, menyediakan lapangan kerja, dan meningkatkan layanan publik. Sebanyak 80 persen devisa Iran berasal dari ekspor energi.
Keempat, dalam kondisi rakyat yang kesulitan, rezim menghabiskan 6 miliar dollar AS per tahun untuk membiayai milisi bersenjata di Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman. Pada 2015, menyusul tercapainya kesepakatan nuklir, yakni Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), antara Iran dan lima anggota Dewan Keamanan PBB plus Jerman, sanksi ekonomi atas Iran dicabut.
JCPOA mensyaratkan Iran membatasi program nuklirnya sebagai imbalan kebebasannya menjual minyak dan gasnya ke pasar global. Namun, pada 2018, di bawah pemerintahan Donald Trump, AS mundur dari JCPOA yang diikuti penerapan kembali sanksi ekonomi yang lebih ketat guna memaksa Iran merundingkan kembali JCPOA.
Trump ingin Iran menghentikan program rudal balistiknya dan mundur dari campur tangan dalam urusan internal negara-negara Arab karena menciptakan instabilitas kawasan dan mengancam kepentingan AS dan sekutunya.
JCPOA dipandang Trump terlalu menguntungkan Iran karena membuat Iran leluasa menjalankan politik regionalnya yang agresif dan ekspansif. Kebijakan Trump didukung Israel, Arab Saudi, dan UEA. Akibat kebijakan tekanan maksimum Trump, ekonomi Iran nyaris lumpuh. Harga barang melambung tinggi, inflasi melejit, nilai mata uang terdepresiasi signifikan, dan kemiskinan meluas. Rakyat turun ke jalan.
Memang kemudian demonstrasi bisa diredakan dengan penegakan hukum yang keras dan pemberian bantuan sosial kepada rakyat miskin. Namun, keresahan menetap sebagai bahaya laten.
Maka, Iran menyambut tawaran pemerintahan Presiden AS Joe Biden untuk memulihkan JCPOA sehingga memungkinkannya membangun ekonomi. Perundingan untuk memulihkan JCPOA di Vienna telah berlangsung sejak April 2021, tetapi belum berbuah hasil karena oposisi Israel, lobi Yahudi, dan kaum hawkish anti-Iran di AS menjelang pemilu sela AS pada awal November.
Sayangnya, 43 tahun setelah revolusi, ekspektasi itu berubah menjadi kekecewaan luas.
Juga karena Iran menuntut penyelidikan pengawas nuklir PBB (IAEA) terkait jejak uranium di situs-situs nuklir Iran yang tak dideklarasikan di masa lalu dihentikan.
Dalam kebuntuan ini, Amini meninggal secara tragis. Bisa jadi demonstrasi di Iran meluas dengan korban lebih besar. Apalagi kematian gadis muda itu mendapat simpati komunitas internasional. AS sendiri memanfaatkannya dengan menjatuhkan sanksi pada beberapa pejabat polisi moral dan melonggarkan akses internet bagi rakyat Iran—saat rezim Iran membatasinya—guna menekan rezim garis keras itu dan agar suara demonstran didengar dunia. Juga untuk memenangkan hati rakyat Iran.
Namun, kebijakan itu bisa mendorong aparat Iran menerapkan penegakan hukum yang lebih keras lagi dan menyulitkan upaya pemulihan JCPOA yang sebenarnya merupakan kepentingan AS juga. Di pihak Iran, rezim memobilisasi rakyat di sejumlah kota untuk melakukan demonstrasi tandingan dengan menyulut emosi rakyat bahwa demonstran antihijab menodai Al Quran.
Seperti biasa, rezim menuduh asing berada di balik demonstrasi. Dulu, Syah juga suka melemparkan kesalahan kepada pihak asing setiap kali menghadapi kemarahan rakyat.
(Smith Alhadar Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES))