“Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah”, Jalan Memanusiakan Perempuan
Buku Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah mencoba menjadi jawaban kegalauan sebagian pihak saat mengekspresikan diri. Kehadirannya buku dengan perspektif mubādalah ini diharapkan jadi salah satu jalan memanusiakan perempuan.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Faqihuddin Abdul Kodir, aktivis jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia, saat menjelaskan tentang buku terbarunya "Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah" di Cirebon, Jawa Barat, Senin (20/9/2021).
Perempuan masih kerap dituding sebagai sumber fitnah jika mengekspresikan potensi dirinya, termasuk bekerja. Padahal, perempuan juga bisa jadi anugerah bagi kemaslahatan. Sumber fitnah pun bisa berasal dari laki-laki, harta, hingga kekuasaan.
Melalui buku Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah yang terbit Agustus 2021, Dr Faqihuddin Abdul Kodir mencoba mencerahkan pandangan terkait perempuan. Aktivis jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia itu membahas 25 hadis yang kerap ditafsirkan “merendahkan” perempuan.
Sebagian besar hadis itu berangkat dari pengajian Faqih, sapaannya, di 50 daerah di Indonesia beberapa tahun terakhir. Dari kunjungannya itu muncul berbagai pertanyaan tentang relasi perempuan dan laki-laki. Mulai dari boleh tidaknya perempuan berparfum hingga bekerja.
Para pegiat hak-hak perempuan mengikuti aksi 500 Langkah Awal Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (25/11/2020). Aksi tersebut merupakan bagian dari Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan untuk mendorong upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.
Tidak hanya menjawab, ia juga menuliskannya di Mubadalah.id, portal buatannya yang mempromosikan keadilan jender. Oleh "afkaruna", kumpulan jawaban tersebut diterbitkan dalam buku setebal 236 halaman itu. Sekitar 1.500 eksemplar buku itu sudah ludes terjual.
Saat peluncuran buku secara daring Rabu (1/9/2021), lebih dari 800 peserta turut serta. Bahkan, bedah buku sudah dilakukan setidaknya delapan kali. Delapan komunitas dari berbagai daerah juga membahas hadis dalam buku itu setiap sepekan sekali di acara tadarus subuh.
Sebelum itu, karyanya “Qirā’ah Mubādalah, Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam” terbitan IRCiSoD pada 2019 juga habis 5.000 eksemplar. Buku setebal 616 halaman itu memaparkan konsep mubādalah, yakni relasi dua pihak berbasis kesetaraan, kesalingan, dan kerja sama.
Bagi Faqih, antusiasme terhadap dua buku itu, terlebih Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah, menunjukkan pandangan agama tetap jadi salah satu pijakan menjalani hidup. Buku itu juga dinilai narasi tandingan atas wacana yang kini berkembang, yakni "merumahkan" perempuan.
Orang-orang yang merasa nyaman bekerja, berkarier, lagi dipertanyakan ke-Islamannya dan merasa dipersalahkan. Jadi, mereka galau. Barangkali, (buku) ini jawabannya (Faqihuddin Abdul Kodir)
“Orang-orang yang merasa nyaman bekerja, berkarier, lagi dipertanyakan ke-Islamannya dan merasa dipersalahkan. Jadi, mereka galau. Barangkali, (buku) ini jawabannya,” ungkap Faqih saat ditemui, di Desa Klayan, Kecamatan Gunung Jati, Cirebon, Senin (20/9).
Fenomena domestikasi perempuan tidak terlepas dari pandangan keagamaan bahwa perempuan sumber fitnah jika keluar rumah. Fitnah di sini berarti pesona atau potensi seseorang yang menggiurkan dan menggoda orang lain.
Secara literal, hadis dari Usamah bin Zaid r.a dari Nabi Muhammad SAW itu menyebutkan, “Tidak aku tinggalkan setelahku suatu fitnah (ujian) yang paling berat bagi laki-laki kecuali (ujian mengenai pesona) perempuan”.
Mubādalah
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Faqihuddin Abdul Kodir, aktivis jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia, saat menjelaskan tentang buku terbarunya "Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah" di Cirebon, Jawa Barat, Senin (20/9/2021).
Sepintas, teks itu menunjuk perempuan sebagai sumber masalah sedangkan laki-laki menjadi korban. Hadis itu eksplisit menyasar laki-laki agar tidak terjerumus pada pesona wanita. Seolah-olah perempuan yang bekerja, misalnya, dituduh penyebab keretakan rumah tangga atau tidak mengurus keluarga dengan baik.
Padahal, kata dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini, pesona atau fitnah perempuan dalam hadis itu hanya satu contoh saja. Laki-laki juga bisa jadi sumber fitnah. Bahkan, laki-laki bisa lebih terpesona dengan godaan kekuasaan, harta, dan lainnya.
Melalui tafsir mubādalah, Faqih menilai hadis itu mengajarkan bahwa kehidupan adalah ujian dan pesona (fitnah), baik bagi laki-laki dan perempuan untuk meningkatkan kebaikan serta menjaga diri dari keburukan. Hal ini tercantum dalam Al Quran Surah al-Mulk (67) ayat 1-2.
“Hadis harus dipahami dengan hadis atau ayat lain. Jadi, kita bisa memahami konteksnya dan bingkai yang lebih besar,” kata pengajar di Ma’had Aly Kebon Jambu Cirebon ini menjelaskan cara pandang mubādalah.
Konsep ini, lanjutnya, harus dinarasikan dengan fondasi moral, bukan menyerang atau mempersalahkan pandangan lainnya. “Misalnya, kalau Anda cinta Islam, maka berbuat baiklah. Kalau Anda cinta Nabi, jangan sakiti istri, karena Nabi tidak pernah menyakiti istri,” katanya.
Peneliti dari Rumah Kita Bersama, Lies Marcoes mengatakan, tanpa perspektif mubādalah, sejumlah hadis akan dilihat sebagai misoginis. “Betapa beratnya mencintai melalui hadis yang misoginis,” ujarnya saat peluncuran buku Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah.
Dr Nur Rofiah, Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran, Jakarta, mengatakan, cara pandang perempuan sebagai sumber fitnah merupakan akar dari ketidakadilan. “Sehingga, semua masalah itu dari perempuan. Sampai jadi korban pemerkosaan pun, yang disalahkan perempuannya,” katanya.
Padahal, katanya, laki-laki dan perempuan merupakan manusia yang wajib mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kemungkaran. “Perempuan dan laki-laki bisa jadi sumber fitnah. Tapi, yang penting bagaimana keduanya bisa jadi anugerah sehingga keduanya harus bekerja sama,” paparnya.
Pembicara lainnya, Ulil Abshar-Abdalla, cendekiawan Muslim, mengatakan, tantangan menghapus stigma perempuan sumber fitnah kini lebih berat di kalangan muslim perkotaan. Di desa yang berkultur Nadhlatul Ulama, misalnya, pandangan itu perlahan terkikis. Perempuan dari pesantren di desa juga telah aktif di ruang publik.
“Tetapi, pandangan muslim kota justru bergerak sebaliknya. Mereka mengenalkan lagi perempuan sumber fitnah. Ini penting karena mereka aktif di komunikasi publik. Pendapat mereka berpotensi menyebar,” ujar Ulil.
Kompas/Yuniadhi Agung
Aktivis memegang poster saat hadir dalam aksi menyambut hari perempuan sedunia di kawasan sekitar Bundaran Bank Indonesia, Jakarta, Senin (8/3/2021). Mereka menyuarakan berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan di Indonesia, antara lain masih terjadinya kekerasan terhadap perempuan serta kesetaraan dalam berbagai hal.
Padahal, faktanya, perempuan berperan menyejahterakaan masyarakat. Survei Smeru Research Institute dan Prospera, Oktober-November 2020 tentang dampak sosial ekonomi Covid-19 pada rumah tangga Indonesia menyebut, separuh dari perempuan bekerja demi mendukung keluarga.
Hasil survei pada 12.216 rumah tangga yang diwawancarai BPS sebagai sampel Survei Sosial Ekonomi Nasional dan diluncurkan 4 Maret 2021 memperlihatkan, para ibu tiga kali lebih sering mengasuh anak dibandingkan para ayah. Dengan demikian, beban ibu yang bekerja tentu lebih berat dibanding suami (Kompas, 1/4/2021).
Itu sebabnya, narasi perempuan sumber fitnah perlu dilawan. Kehadiran buku Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah dengan perspektif mubādalah diharapkan jadi salah satu jalan memanusiakan perempuan.
KH Husein Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Cirebon, mengatakan, mubādalah merupakan the golden rule (aturan emas) yang menuntun siapa pun menjalani hidup, terutama dalam relasi antarmanusia. “Pada akhirnya, golden rule itu engkau adalah aku yang lain,” ucapnya.