Perempuan Arab Saudi dan Iran, Peta Sejarah yang Berlawanan
Bak sebuah roda, kadang di atas, kadang pula di bawah. Perjalanan perempuan Arab Saudi dan Iran dalam bentang sejarah hingga saat ini memperlihatkan bak peta yang bergerak menuju arah berlawanan.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·3 menit baca
Pengamat asal Arab Saudi, Mirza al-Khuwaildi, dalam artikelnya di harian Asharq al-Awsatedisi 26 Oktober 2022 menulis tentang perbandingan nasib kaum perempuan di Iran dan Arab Saudi saat ini. Ia menyebut, nasib kaum perempuan di Iran dan Arab Saudi ibarat perjalanan peta sejarah yang berlawanan.
Dulu, kaum perempuan di Arab Saudi dikenal terkungkung, tetapi kini mereka menikmati kebebasan seperti kaum perempuan di belahan bumi lainnya. Sebaliknya, dulu kaum perempuan di Iran menikmati kebebasan, tetapi kini mereka harus berjuang dengan turun ke jalan selama berbulan-bulan untuk meraih kebebasan lebih besar lagi.
Kini, kaum perempuan di kota Riyadh, ibu kota Arab Saudi, bisa bebas menikmati dan melakukan berbagai aktivitas di pusat kota seperti halnya kaum laki-laki. Bahkan, sering terdengar aktivitas kaum perempuan lebih menonjol daripada kaum laki-laki di kota Riyadh dan kota-kota lainnya di Arab Saudi. Sebaliknya kini terus mengalir berita bahwa hampir tiap hari ada perempuan ditangkap di kota Teheran dan kota-kota lain di Iran.
Kini, kaum perempuan di Arab Saudi harus bersyukur karena telah meraih kebebasan lewat gerakan bersifat top down yang digalang oleh Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (MBS). Hal ini menunjukkan, para pemimpin Arab Saudi, khususnya MBS, sangat bijak dan arif melihat perubahan dan tuntutan zaman.
Sebaliknya kaum perempuan Iran sudah putus asa mendapatkan kebebasan lewat gerakan top down. Maka, kini mereka terpaksa menggerakkan perjuangan lewat jalanan meskipun sangat berat dan belum tentu mendapatkan hasil sesuai harapan mereka.
Namun, meski jalan terjal, kaum perempuan Iran dalam catatan sejarah penuh mewarnai gerakan perjuangan meraih kebebasan mereka. Kaum perempuan Iran selalu hadir dan berperan dalam momen-momen sejarah besar di Iran.
Kaum perempuan Iran selalu hadir dan berperan dalam momen-momen sejarah besar di Iran.
Kaum perempuan Iran berandil besar dalam revolusi konstitusi pada tahun 1905-1911 yang menuntut pembatasan kekuasaan Dinasti Qajar di Iran dengan cara menyusun konstitusi negara dan dewan perwakilan rakyat, serta pemisahan agama dan negara. Revolusi konstitusi sukses besar dengan lahirnya konstitusi negara dan pembentukan dewan perwakilan rakyat. Kaum perempuan Iran berperan besar dalam revolusi tersebut.
Kaum perempuan Iran kembali menggerakkan aksi unjuk rasa melawan peraturan Shah Iran pada 8 Januari 1936 yang mewajibkan kaum perempuan Iran melepas jilbabnya. Shah Iran saat itu terinspirasi oleh gerakan Mustafa Kemal Ataturk di Turki yang menerapkan sistem sekuler dan melarang kaum perempuan Turki mengenakan jilbab. Shah Iran menginginkan Iran bisa mengikuti jejak Turki dengan menerapkan sistem sekuler, juga untuk meraih kemajuan seperti negara-negara Eropa.
Namun, lain Turki, lain pula Iran. Di Iran, kaum perempuan langsung turun ke jalan menolak peraturan 8 Januari 1936 itu. Shah Iran akhirnya memenuhi tuntutan kaum perempuan dengan membatalkan peraturan 8 Januari 1936 yang mewajibkan kaum perempuan melepas jilbab.
Pada tahun 1944, Shah Iran Reza Pahlevi mengeluarkan dekrit raja yang membatalkan secara resmi peraturan 8 Januari 1936. Kaum perempuan Iran setelah itu bebas mengenakan atau melepas jilbab. Kebebasan ini yang menjadi tuntutan dan aspirasi kaum perempuan Iran dalam sepanjang sejarahnya.
Pada era sebelum revolusi 1979, jilbab menjadi simbol perlawanan politik terhadap rezim Shah Iran. Sebaliknya pasca-revolusi 1979, kaum perempuan Iran harus mengenakan jilbab. Pemerintah baru Iran pasca-revolusi 1979 melarang kaum perempuan yang tidak mengenakan jilbab masuk ke kantor-kantor pemerintah.
Kini, perempuan Iran melepas jilbab sebagai simbol perlawanan terhadap rezim para Mullah. Ini kebalikan dari era Shah Iran yang mengenakan jilbab sebagai simbol perlawanan terhadap rezim Shah Iran.
Bagi kaum perempuan Iran, bukan soal isu mengenakan atau tidak mengenakan jilbab, melainkan masalah kebebasan. Biarkan kaum perempuan bebas mengenakan atau tidak mengenakan jilbab. Ini inti tuntutan kaum perempuan Iran.
Peristiwa kematian Mahsa Amini pada pertengahan September 2022 menjadi momentum bagi kaum perempuan Iran untuk mengumandangkan tuntutan meraih kebebasan tersebut.
Kaum perempuan Iran kini menggunakan taktik pukul lari dalam perjuangan mereka, dengan menggelar unjuk rasa secara spontanitas di suatu tempat, kemudian segera membubarkan diri menghindari bentrok dengan aparat keamanan. Hal ini untuk menunjukkan kepada masyarakat luas di Iran bahwa perjuangan mereka tidak akan pernah berhenti sebelum tujuan mereka tercapai.
Sebaliknya kaum perempuan di Arab Saudi kini menikmati semacam euforia kebebasan. Media Arab Saudi sering menampilkan gambar kaum perempuan sedang menyetir mobil atau sedang menonton konser dan pertandingan olahraga secara bebas. Sering pula media Arab Saudi menampilkan gambar seorang perempuan berbelanja sendirian di sebuah mal di kota Riyadh tanpa didampingi mahram laki-laki.
Lain Arab Saudi, lain pula Iran. Di Iran, kaum perempuan dalam sejarahnya terbiasa meraih kebebasan dengan perjuangan yang sering berdarah sejak era Dinasti Qajar, Shah Iran, hingga era pasca-revolusi Iran tahun 1979. Sebaliknya, di Arab Saudi, kaum perempuan hampir tidak mengenal gerakan memperjuangkan hak mereka, tetapi kini mereka meraih kebebasan berkat inisiatif penuh pemegang pucuk kekuasaan.