Dari Iran Bermandi Cinta
Orang-orang di negeri ini seolah seperti berlomba-lomba untuk berbaik hati kepada orang asing, turis semacam kami. Mereka juga kerap bertanya, ”Iran, good?”
Pukul 01.30 pesawat Iran Air mendarat mulus di Bandara Mehrabad, Teheran. Penerbangan dari kota Shiraz di selatan Iran itu hanya makan waktu 1,5 jam. Perlahan terdengar suara musik instrumental di kabin pesawat. Hampir tak percaya pada telinga ini. Alunan lembut lagu ”Shape of My Heart” dari Sting seketika sublim, membekukan momen liris pada dini hari itu.
Ini adalah maskapai nasional Iran. Musik yang diputar di kabin pesawat ini adalah salah satu lagu Sting, sang musisi Inggris, negeri dari dunia Barat yang bertahun-tahun turut mengisolasi dan menjatuhkan sanksi kepada Iran. Petikan gitar instrumental dari Dominic Miller, gitaris untuk Sting itu, merayap mengembusi sukma.
Ah, adakah musik bisa menunda permusuhan?
Narasi besar di panggung global yang gegap gempita terkadang berujung pada serakan potret kecil sederhana yang paradoksal dalam kehidupan sehari-hari. Menerbitkan senyum pemakluman, merebakkan rasa hangat di hati. Rasa yang terakumulasi begitu saja selama perjalanan di negeri ini.
Lihat juga foto-foto: Warga Iran Rayakan Tahun Baru Nowruz
Teheran menjadi kota terakhir yang memungkasi perjalanan sepekan lebih di negeri Persia ini. Waktu yang singkat tetapi sarat dengan pengalaman mengesankan dalam perjalanan darat membelah empat provinsi dari utara hingga selatan. Mulai dari Provinsi Teheran, Isfahan, Yazd, hingga Fars, lalu kembali ke Teheran dengan pesawat Iran Air tadi.
Berbagai lanskap menakjubkan tersinggahi. Mulai dari kawasan pegunungan bersalju hingga gurun pasir. Mulai dari desa tradisional hingga kota besar modern serupa di negara maju. Mulai dari situs peninggalan peradaban kuno berusia ribuan tahun hingga bangunan berarsitektur modern yang megah.
Dalam satu musim yang sama, termasuk musim panas, pengalaman wisata yang kontras bisa dijalani wisatawan sekaligus. Kita bisa menjajal bermain ski di pegunungan salju di Tochal misalnya, kemudian keesokannya mengarungi gurun pasir Khara untuk menikmati senja. Kadang turis bisa sekalian kemping di tengah gurun yang magis itu.
Baca juga: Di Iran, Jangan Asal Unggah Foto Perempuan
Iran hari ini masih menampilkan wajah anggun kebesaran Persia, sejak jauh sebelum era dominasi Islam yang dibawa bangsa Arab. Bahkan, situs-situs peninggalan peradaban Zoroastrian, agama lawas bangsa Persia yang pemeluknya kini menjadi minoritas, masih terawat cukup baik. Setiap situs dilengkapi keterangan dalam bahasa Farsi dan Inggris.
Museum, galeri seni, hingga gereja katedral tua pun menarik untuk dikunjungi. Tehran Museum of Contemporary Art, misalnya, menyimpan 3.000-an koleksi permanen karya seni, termasuk lukisan karya maestro dunia dari dunia Barat. Mulai dari karya Renoir, Andy Warhol, Claude Monet, Vincent van Gogh, Pablo Picasso, Jackson Pollock, Rene Magritte, hingga Francis Bacon, dan masih banyak lagi.
The Guardian pernah menulis tahun 2007 bahwa seluruh koleksi tersebut diperkirakan senilai 2,5 miliar poundsterling. Pertengahan tahun 2022, sebagian dari koleksi yang selama puluhan tahun ”tersembunyi” itu dipamerkan.
Baca juga: Soleimani, Iran, dan Syiah
Kota-kota besar seperti Teheran, Isfahan, dan Shiraz tak ubahnya seperti kota-kota di negara maju dalam hal infrastruktur. Jalanan serba mulus. Sistem transportasi massal, seperti mass rapid transit (MRT), di Teheran rupanya terbesar di Timur Tengah. Hotel dan restoran mewah, taman-taman kota yang indah, hingga air keran yang bisa langsung diminum.
Oh ya, jika keberadaan mal adalah ukuran peradaban modern, Iran Mall di Teheran sejauh ini menyandang sebagai mal terluas di dunia, yakni 1,95 juta meter persegi.
Kemacetan di jalan raya kota besar juga tampaknya lumrah, padat oleh mobil pribadi. Bensin jauh lebih murah daripada harga sebotol air minum kemasan. Hanya 1.500 rial per liter atau 0,035 dollar AS atau Rp 500-an saja.
Jalanan dipenuhi mobil bermerek asal Perancis. Di sana Peugeot, di sini Peugeot. Konon, pasar Peugeot terbesar kedua setelah Perancis adalah Iran.
Aman
”Liburan ke Iran? Enggak takut? Aman?”
Pertanyaan-pertanyaan itu yang amat lazim diterima oleh siapa pun yang memutuskan akan melancong ke Iran. Seolah negeri ini tak layak untuk destinasi berlibur. Memang, selama empat-lima bulan terakhir gejolak sosial-politik mewarnai pemberitaan tentang Iran. Gejolak yang dipicu peristiwa tewasnya Mahsa Amini, gadis belia yang dianggap polisi moral setempat menyalahi aturan berhijab.
Baca juga: Iran, Perlawanan Kultural Perempuan Iran
Belum lagi ancaman serangan negara-negara musuh akibat program nuklir Iran yang masih berlangsung. Empat hari sebelum kami tiba, misalnya, serangan pesawat nirawak (drone) Israel sempat menyasar fasilitas militer di Isfahan, kota indah yang juga kami inapi dalam perjalanan ini.
Ketegangan tersebut memang fakta dari narasi besar tadi, yang mudah tertancap di benak awam. Namun, selama perjalanan di Iran ini, kehidupan seperti berlangsung normal. Restoran hingga kedai burger dan piza tetap ramai hingga larut malam meski suhu dingin menusuk tulang, tempat wisata semarak oleh turis domestik, pasar dan mal pun tetap bergairah. Sekalipun nilai tukar rial/toman terpuruk terhadap dollar Amerika Serikat.
Baca juga: Sanksi Ekonomi AS Akan Tetap Jadi Ganjalan Negosiasi Nuklir Iran
Bersiaplah ketika memesan burger di Iran, ukurannya jumbo dengan patty amat tebal. Sulit menghabiskannya dalam sekali waktu makan. Yang menarik, walau tiada McDonald’s di sini, minuman soda asal AS, Coca Cola, teramat mudah dijumpai di mana-mana. Selain tulisan Coca Cola, tertulis pula versi dalam tulisan Farsi.
Konon, minuman soda tersebut sebenarnya produksi lokal Iran dengan racikan sendiri yang tetap menggunakan jenama Coca Cola, seperti sebelum era Revolusi Islam 1979. Kala itu, hubungan diplomatik dan dagang Iran-AS masih baik dan kerja sama bisnis dengan perusahaan AS sepertiCoca Cola sempat terjalin.
Di berbagai kota tampak orang-orang pun beraktivitas selazimnya. Anak dan remaja berkarya wisata penuh keceriaan, musisi jalanan bernyanyi merdu di trotoar, bapak tua melantunkan puisi indah di jembatan tua, pasangan kekasih berjalan-jalan santai sembari bergandengan, anak-anak bermain sepatu roda di ujung sore, makam penyair pujaan ramai diziarahi hingga malam, dan perempuan-perempuan berjalan-jalan santai dengan pakaian modis berpadu kerudung ala kadarnya yang seringkali turun menjadi sekadar syal leher.
”Anda tak perlu memakainya, santai saja,” ujar seorang bapak sepuh pegawai restoran di kota Kashan ketika melihat saya berkali-kali membetulkan kerudung yang turun.
Zandi (42), warga lokal yang mendampingi perjalanan ini, pun mengamini. Ia menuturkan, selama empat bulan terakhir ini, otoritas cenderung sudah membiarkan warga perempuan yang berbusana lebih bebas.
Modis
Meski begitu, sudah sejak lama sebenarnya gaya berkerudung perempuan di Iran tampak moderat meskipun sebagian memilih gaya konservatif. Gaya moderat itu yakni berpakaian modern pada umumnya, bukan yang berbalut chador atau jubah panjang, berpadu kerudung yang menampakkan rambut di kepala bagian depan.
Baca juga: Teokrasi Iran dan Dimensi Politik Hijab
Selama sepekan lebih di Iran, saya lebih mudah menjumpai perempuan berhijab modis, kadang dengan tas bermerek butik papan atas, ketimbang yang berbusana konservatif. Yang tak berkerudung juga mudah tampak di mana-mana. Kerudungnya hanya jadi syal leher atau bahkan tak nampak sama sekali. Mereka pun tak menolak ketika difoto.
Beberapa kali bahkan saya menjumpai versi penampakan perempuan Iran yang lebih bebas, mulai dari yang berbalut ripped jeans (robek-robek) berpadu kerudung longgar hingga celana legging yang ketat.
Di Isfahan dan Shiraz, beberapa kali melihat perempuan yang asyik merokok sembari nongkrong di kafe atau merokok sambil menyetir mobil dengan jendela mobil diturunkan setengah. Gestur mereka pun tampak santai, biasa saja, tak sembunyi-sembunyi. Orang-orang di sekitar pun tak ada yang merespons negatif.
Baca juga: Perempuan Arab Saudi dan Iran, Peta Sejarah yang Berlawanan
Soal hijab hanya di tempat-tempat tertentu imbauan berkerudung lebih serius diberlakukan, seperti di masjid dan bandara. Poster peringatan soal itu juga masih terpasang. Beberapa hari terakhir di Iran, saya bahkan lebih sering tak berkerudung dan tak seorang pun yang menatap aneh. Polisi yang sedang berpatroli pun membiarkan.
Tatapan yang lebih sering saya terima justru tatapan ramah dan ajakan berfoto terus-menerus di mana pun dari warga setempat, baik di kota besar maupun kecil. Rombongan kami yang berwajah Asia Tenggara atau Asia Timur ini bagaikan menjadi selebritas dadakan selama di Iran. Mulai dari anak kecil, remaja, dewasa, hingga warga lansia selalu saja menyapa hangat penuh sopan santun, mengajak berkenalan dan berfoto bersama, bahkan meminta akun Instagram, yang saat ini bisa diakses dengan VPN.
Mereka mengenal cukup baik Indonesia. Kendala bahasa teretas mulus hanya lewat senyuman, tawa, dan gestur bersahabat yang hangat dari mereka.
Menolak dibayar
Malam terakhir di Teheran, sopir taksi yang mengantar saya pulang ke hotel di tengah perjalanan mengajak saya mampir ke toko kuenya. Saya dihadiahi aneka keik cokelat, keik wortel, dan stoples cokelat praline. Padahal, kami sebelumnya mengobrol hanya dengan bermodal Google Translate (English-Farsi). Sampai di tujuan, ketika saya hendak membayar ongkos taksinya, ia ngotot menolak mentah-mentah dibayar sepeser pun.
”Saya bahagia kalau kamu merasa senang selama di Iran,” ujarnya ramah dan sopan lewat Google Translate.
Kesan yang saya tangkap, orang-orang di negeri ini seolah seperti berlomba-lomba untuk berbaik hati kepada orang asing, turis semacam kami. Mereka juga kerap bertanya, ”Iran, good?”
Naik taksi untuk turis perempuan juga terasa bukan sesuatu yang berisiko di sini. Mendiang kolumnis Samuel Mulia, yang juga pernah berlibur ke Iran, pernah bercerita pengalaman serupa. Ia diantar taksi ke luar kota, ditunggui oleh sopir taksi tersebut, lalu diantar pulang ke hotel. ”Dan dia enggak mau dibayar sama sekali!” ujar Samuel.
Taksi yang saya tumpangi tadi pun adalah taksi yang dipesan oleh bapak penjual burger di kawasan dekat Azadi Tower di Teheran. Ia menawarkan diri memesankan taksi lewat aplikasi digital di ponselnya setelah mengetahui saya tengah mencari-cari taksi. Ia bahkan beberapa kali keluar dari kedai burgernya ke pinggir jalan demi mengecek apakah taksi untuk saya sudah tiba.
Lihat juga foto-foto: Peringatan 43 tahun Revolusi Islam 1979 di Iran
Ketika berjalan-jalan di sekitar Azadi Tower, seorang ibu ber-chador (jubah hitam panjang) di trotoar melambaikan tangannya mengajak saya agar mendekat. Ia lalu menyodorkan segelas teh panas dan eclair bersalut cokelat dengan isian krim vanila yang lembut.
Sebelumnya ia mungkin sempat memperhatikan saya yang berjalan sendirian sembari menggigil kedinginan dihajar suhu di bawah titik beku. Kepadanya, saya mengucapkan merci, terima kasih dalam bahasa Farsi.
Di trotoar itu, ia bersama ibu-ibu lainnya tengah menyiapkan dekorasi perayaan 44 tahun revolusi yang puncaknya berlangsung keesokan harinya, bersamaan dengan jadwal penerbangan saya pulang ke Tanah Air. Galon besar stainless steel berisi teh panas dan aneka kudapan kue menemani mereka sembari tekun mendekor.
Sejak awal ketibaan di Iran, di berbagai sudut kota tampak suasana perayaan sudah mulai disiapkan. Berbagai tempat ramai dihiasi dekorasi bendera Iran: hijau-putih-merah. Rumor yang terdengar, di hari puncak perayaan itu kalangan rakyat yang menentang rezim juga akan menggelar demonstrasi.
"I love you"
Satu hal yang juga mengesankan, entah berapa banyak ucapan ”I love you” yang saya terima dari perempuan-perempuan Iran selama di negeri ini. Meski dalam bahasa Inggris terbatas, mereka tetap berusaha berinteraksi dengan saya dan hampir selalu berujung dengan ucapan “I love you” meluncur dari bibir mereka.
”Mereka (perempuan Iran) biasa begitu, bilang I love you, kalau sudah suka sama kita. Semacam ungkapan keakraban sesama perempuan sekalipun ke kita yang orang asing,” ujar Raiyani Muharammah (50), fotografer lepas yang hampir tiap tahun rutin mengunjungi Iran, mendampingi turis dari Indonesia.
Baca juga: Indonesia-Iran Terus Merajut Persahabatan
Karena segala kehangatan itu, tak heran jika Raiyani beberapa kali mendampingi wisatawan Indonesia yang memutuskan mengulangi liburannya ke Iran.
Dalam penerbangan pulang, saya pun sudah memutuskan hal serupa. Seiring doa yang mengapung di benak, berharap segala ketegangan absurd perlahan menguap ditiup angin Pegunungan Zagros, yang membisikkan mantra, make love not war.