Iran, Perlawanan Kultural Perempuan Iran
Pascatumbangnya monarki di Iran tahun 1979, Ayatollah Rohullah Khomeini mewajibkan perempuan Iran menggunakan hijab. Perempuan Iran tak lagi bebas mengenakan busana. yang diinginkannya. Kini, desakan yang sama muncul.
Seorang perempuan muda berdiri di atas kap sebuah mobil yang parkir di salah satu badan jalan di tengah Kota Mashhad, ibu kota Provinsi Razani Khorasan, Iran. Dikelilingi oleh sejumlah orang, dia melepas kerudung yang menutupi kepala dan rambutnya sambil berteriak: “Matilah diktator!”.
Orang-orang yang berada di sekelilingnya bergabung dan ikut berteriak bersamanya. Sebagian lainnya yang ikut menyaksikan hal itu membunyikan klakson kendaraan yang digunakannya, mendukung aksi sang perempuan.
Bagi banyak perempuan Iran, tindakan seperti itu tidak terlintas untuk dilakukan satu dekade lalu di kota ini. Apalagi, Mashhad adalah salah satu kota suci kelompok Syiah yang berkuasa di Iran, setelah Kota Qom dan Teheran.
“Ketika Anda melihat kaum perempuan Mashhad turun ke jalan dan membakar cadar mereka di depan umum, ini benar-benar tindakan yang revolusioner. Perempuan Iran ingin kewajiban menutup wajah, penggunaan cadar, dicabut,” kata Fatemeh Shams, seniman perempuan kelahiran Mashhad.
Baca juga : Perempuan Iran Bergerak Pasca Kematian Mahsa Amini
Selama beberapa tahun terakhir, demonstrasi yang terjadi di berbagai kota di Iran lebih banyak mengarah pada isu kesulitan ekonomi yang dialami warga. Iran selama ini telah menjadi korban sepihak rezim sanksi ekonomi oleh Amerika Serikat dan sekutunya.
Akan tetapi, hampir dua pekan terakhir, substansi demonstrasi di puluhan kota, dan juga sudah menjalar ke pedesaan serta puluhan kota di dunia, adalah soal kematian Mahsa Amini (22), perempuan muda yang tewas setelah menjalani beberapa hari pembinaan oleh Gasht-e Irsyad (patroli bimbingan Islam)karena diduga melanggar aturan berpakaian. Amini diduga tewas karena tindakan kekerasan yang berlebihan saat menjalani “pembinaan”.
Baca juga : Kasus Amini Berkembang Jadi Pertarungan antara Garda Revolusi Iran dan Kelompok Kurdi
Kematiannya telah memicu reaksi yang tidak diduga. Perempuan Iran turun ke jalan, didukung oleh kaum lelaki di belakangnya. Mahasiswa, profesional kelas menengah dan pria dan wanita kelas pekerja pun turun ke jalan meneriakkan perlawanan terhadap aturan yang telah berlaku selama beberapa dekade terakhir.
Tak hanya para pendemo, yang menjadi sasaran pembungkaman , aparat keamanan Iran. Jurnalis dan para aktivis serta orang-orang yang mendukung aksi protes itu pun menjadi sasaran penangkapan. Aparat keamanan juga dikabarkan menangkap putri mantan Presiden Iran Akbar Hashemi Rafsanjani, Faezeh Rafsanjani, Selasa (27/9/2022) malam karena diduga memicu massa melakukan perlawanan terhadap aparat keamanan.
Tujuan Berbeda
Perempuan Iran yang tumbuh sebelum penggulihan monarki tahun 1979, yang dipimpin Shah Mohammad Reza Pahlevi, mengingat negara itu masih memberikan kebebasan bagi perempuan untuk memilih bagaimana mereka berbusana. Revolusi Iran 1979 menggabungkan seluruh kekuatan, kiri-kanan, garis keras-moderat, untuk menggulingkah Shah Reza. Ayatollah Ruhollah Khomeini dan para pengikutnya merebut kekuasaan dan mendirikan negara Islam yang dipimpin ulama Syiah.
“Itu benar-benar gerakan kontra-revolusioner pertama,” kata Susan Maybud, yang berpartisipasi dalam pawai itu dan kemudian bekerja sebagai asisten berita di pers asing. Maybud mengatakan, saat revolusi terjadi, tidak sama sekali tidak mengenakan hijab.
Akan tetapi, beberapa waktu kemudian, Maret 1979, Pemimpin Tertinggi Iran Khomeini mengumumkan bahwa perempuan Iran harus mengenakan hijab. Keesokan harinya — Hari Perempuan Internasional — puluhan ribu wanita bercadar berbaris sebagai protes.
“Apa yang Anda lihat hari ini bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Sudah ada sejarah panjang perempuan memprotes dan menentang otoritas” di Iran,” kata Maybud.
Baca juga : Aparat Iran Tangkap Jurnalis-Aktivis, Termasuk Putri Mantan Presiden Rafsanjani
Esha Momeni, aktivis dan sarjana kelahiran Iran yang kini mengajar di Departemen Studi Gender UCLA, Amerika Serikat mengatakan, sekitar satu abad lalu, jilbab seperti yang sekarang diwajibkan oleh Pemerintah Iran hanya digunakan sebagian besar terbatas pada kelas atas Iran. Kaum perempuan Iran yang sebagian tinggal di pedesaan dan bekerja tidak menjadikan hal itu sebagai sebuah busana yang wajib dikenakan.
Perempuan Iran, menurut Momeni, memilih mengenakan roosari atau jilbab kasual yang merupakan bagian dari pakaian tradisional dan memiliki makna yang lebih religius.
Selama Revolusi Islam, jilbab wanita menjadi simbol politik penting negara saat memasuki era kepemimpinan baru, dari monarki ke ulama. Tumbuh dan besar di Teheran, Momeni mengingat bahwa keluarga dan teman-temannya tidak mengenakan cadar di pertemuan pribadi dan tertutup. Akan tetapi, ketika mereka berjalan ke luar rumah, mereka memilih mengenakan karena khawatir akan dilecehkan atau bahkan ditangkap polisi atau milisi pro-pemerintah di depan umum.
Kini, situasinya berbeda. Seorang perempuan muda peserta aksi, yang meminta namanya tidak ditulis karena alasan keamanan, mengatakan, protes kaum perempuan Iran saat ini adalah dengan melepas penutup kepala mereka dan membakarnya. Dalam pandangannya, ini adalah murni gerakan yang diinisiasi kaum perempuan Iran karena tindakan yang berlebihan aparat negara terhadap perempuan. “Laki-laki mendukung dari belakang,” katanya.
Baca juga : Pihak Keluarga Ungkap Penyebab Kematian Mahsa Amini di Tangan Polisi Iran
Dalam pandangan Shams, yang kini mengajar mata kuliah kesusasteraan Persia di sejumlah universitas di Amerika Serikat dan Inggris, demonstrasi yang terjadi sekarang ini berbeda secara substansi dengan aksi yang pernah diikutinya pada tahun 2009 lalu. terutama karena di kota-kota yang dianggap sakral oleh kelompok konservatif, seperti Mashhad, Qom dan bahkan Teheran, aksi ini juga terjadi.
“Setiap pagi saya bangun dan saya berpikir, apakah ini benar-benar terjadi? Perempuan Iran membuat api unggun dengan kerudung?,” katanya. Dia memandang gelombang protes telah mengguncang fondasi negara.
Momeni sendiri menilai gerakan ini adalah tanda bahwa massa menginginkan sistem berubah secara fundamental.
Shams menilai, para penguasa Iran telah tersudutkan dengan situasi sekarang ini. Gerakan massa juga tidak bisa mundur. “Pada titik ini, tidak ada jalan berputar kembali. Jika Republik Islam ingin tetap berkuasa, mereka harus menghapus kewajiban penggunaan jilbab. Akan tetapi, untuk melakukannya mereka harus mengubah ideologi politik mereka. Dan, penguasa belum siap untuk perubahan itu,” katanya. (AP)