Perempuan Iran Bergerak Pasca Kematian Mahsa Amini
Kerusuhan meletus di 15 kota di seluruh Iran memprotes kebrutalan aparat kepolisian yang telah mengakibatkan seorang perempuan, Mahsa Amini (22), tewas dalam tahanan.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
TEHERAN, KAMIS – Kaum perempuan Iran dan warga sipil bergerak untuk menuntut kejelasan atas kematian seorang perempuan, Mahsa Amini (22), yang diduga tewas setelah mengalami kekerasan dalam tahanan polisi moral. Bentrokan antara pengunjuk rasa dengan polisi telah menewaskan 11 orang.
Untuk mengendalikan informasi yang beredar di kalangan warga, Pemerintah Iran membatasi akses internet mulai Kamis (22/9/2022).
Berdasarkan catatan sementara kantor berita AP, sembilan orang tewas dalam kerusuhan yang terjadi selama sepekan terakhir. Di provinsi Kurdistan, wilayah Amini berasal , polisi mengonfirmasi bahwa penggunaan peluru tajam oleh polisi untuk menghalau pengunjuk rasa telah menewaskan empat orang pengunjuk rasa. Sementara di Kermanshah, jaksa mengatakan dua pengunjuk rasa dibunuh oleh kelompok oposisi, sekaligus membantah bahwa aparat bertindak brutal terhadap para pengunjuk rasa.
Sementara itu, tiga pria yang berafiliasi dengan Basij, pasukan sukarelawan di bawah Garda Revolusi Iran, dilaporkan tewas dalam bentrokan di kota Shiraz, Tabriz dan Mashhad.
Tetapi ada kekhawatiran jumlah korban tewas bisa meningkat, karena kelompok hak asasi Kurdi yang berbasis di Norwegia, Hengaw pada hari Rabu juga melaporkan kematian dua pengunjuk rasa, masing-masing berusia 16 dan 23 tahun, di provinsi Azerbaijan Barat. Amnesty International mengatakan telah mencatat kematian delapan orang - enam pria, satu wanita dan seorang anak - dengan empat di antaranya ditembak oleh pasukan keamanan dari jarak dekat.
Kemarahan publik telah berkobar di Iran atas kematian Amini (22). Ia ditahan karena diduga mengenakan jilbab dengan cara yang "tidak pantas". Sejumlah aktivis mengatakan, perempuan yang memiliki nama depan Jhina itu, mendapatkan pukulan di kepala yang berakibat fatal.
Kematian Amini telah membuat warga turun ke jalan selama sepekan terakhir. Para demonstran perempuan melepas penutup kepala mereka dan membakarnya di atas bara api yang mereka buat di tengah jalan. Beberapa orang perempuan, dikutip dari laman Al Jazeera, juga memilih memotong rambut mereka sebagai bagian dari protes atas tindakan keras yang dilakukan oleh polisi moral terhadap Amini.
"Tidak untuk jilbab . Ya… Untuk kebebasan dan kesetaraan," teriak pengunjuk rasa di Teheran, Ibu Kota Iran.
Media pemerintah Iran melaporkan bahwa pada Rabu unjuk rasa jalanan telah menyebar ke 15 kota di seluruh negeri. Polisi melontarkan gas air mata ke tengah pengunjuk rasa untuk membubarkan kerumunan massa yang diperkirakan mencapai 1000 orang. Mengutip Kantor Berita Iran IRNA, demonstran melemparkan batu ke arah polisi dan aparat keamanan, membakar mobil dan kendaraan taktis milik polisi, hingga meneriakkan slogan antipemerintah.
"Matilah diktator" dan "Perempuan, hidup, kebebasan," pengunjuk rasa terdengar berteriak dalam rekaman video yang menyebar ke luar Iran.
Pembatasan internet pertama kali dilaporkan oleh pemantau akses internet Netblocks. Setelah mengurangi kecepatan akses internet, pemblokiran berlanjut pada platform media sosial Instagram dan WhatsApp. Kedua aplikasi itu paling banyak digunakan di Iran setelah pemblokiran platform lain dalam beberapa tahun terakhir, termasuk Facebook, Twitter, Telegram, YouTube, dan Tiktok.
“Sesuai dengan keputusan pejabat, sudah tidak memungkinkan lagi untuk mengakses Instagram di Iran sejak kemarin (Rabu) malam dan akses ke WhatsApp juga terganggu,” lapor kantor berita semi resmi Fars.
Meskipun meluas, substansi isu yang memicu kerusuhan berbeda dari aksi sebelumnya yang dipicu oleh masalah ekonomi. Menurut catatan kelompok hak asasi manusia, kerusuhan yang meletus pada tahun 2019 mengakibatkan kematian ratusan orang ketika mereka bentrok dengan pasukan keamanan. Bentrokan itu menjadi kekerasan paling mematikan sejak Revolusi Islam 1979.
Kekerasan yang timbul setelah dugaan adanya kekerasan terhadap tata cara perempuan berpakaian, mengakibatkan kekhawatiran sejumlah perempuan di Iran. Namun pada saat yang sama, mereka juga mendesak agar polisi moral tidak terlalu berlebihan dalam bertindak.
"Saya takut," kata Nazanin, seorang perawat berusia 23 tahun, yang meminta untuk diidentifikasi dengan nama depannya demi alasan keamanan. "Mereka seharusnya tidak mengkonfrontasi orang atau mengganggu cara perempuan berpakaian,” tambahnya.
Kecaman Internasional
Sejumlah pegiat hak asasi manusia PBB mengutuk penggunaan kekerasan fisik terhadap perempuan dan pembatasan internet oleh negara. Kebijakan itu dinilai sebagai tindakan yang berlebihan.
"Gangguan ke internet biasanya merupakan bagian dari upaya yang lebih besar untuk melumpuhkan kebebasan berekspresi dan untuk membatasi protes yang sedang berlangsung," kata mereka dalam sebuah pernyataan.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden, di hadapan anggota Majelis Umum PBB, Rabu (21/9/2022), mengatakan mereka mendukung warga sipil dan kaum perempuan yang meneriakkan tuntutan atas hak dasar mereka.
"Hari ini kami berdiri bersama warga negara pemberani dan wanita pemberani Iran yang saat ini berdemonstrasi untuk mengamankan hak-hak dasar mereka," kata Biden kepada Majelis Umum, Rabu.
Sementara, Presiden Iran Ebrahim Raisi membalasnya bahwa negara-negara Barat, termasuk AS dan sekutunya, menerapkan standar ganda dalam memperlakukan perempuan.
Dia menunjuk kematian perempuan pribumi di Kanada serta tindakan Israel di wilayah Palestina dan "kebiadaban" kelompok Negara Islam terhadap perempuan dari kelompok agama minoritas. "Selama kita memiliki standar ganda ini, di mana perhatian hanya terfokus pada satu sisi dan tidak semua sama, kita tidak akan memiliki keadilan dan kejujuran sejati," kata Raisi. (AP/AFP)