Gerakan kaum perempuan Iran telah terbentuk pada era Shah Iran Reza Pahlevi guna melawan rezim diktator Shah Iran. Setelah mati suri pascarevolusi 1979, kematian Mahsa Amini membangkitkan kembali gerakan perempuan Iran.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·5 menit baca
Sudah hampir empat bulan, unjuk rasa yang digerakkan kaum perempuan Iran terkait tewasnya perempuan remaja asal Kurdistan, Mahsa Amini, melanda sejumlah wilayah di negeri mereka. Amini (22) tewas pada 16 September 2022 saat ditahan polisi moral. Sampai hari ini, unjuk rasa itu terus berlanjut.
Tidak ada tanda-tanda kapan unjuk rasa dan gerakan mereka akan berhenti. Pemerintah Iran sampai saat ini gagal menghentikan unjuk rasa tersebut. Unjuk rasa saat ini menjadi unjuk rasa paling lama yang berlangsung di Iran sejak revolusi Iran tahun 1979. Siapa pun tidak bisa memprediksi sampai kapan unjuk rasa di Iran akan berlangsung.
Unjuk rasa kali ini dipastikan bergulir di luar kalkulasi siapa pun di Iran, baik pemerintah maupun pengamat dan juga masyarakat internasional. Saat unjuk rasa itu pertama kali meletus pada pertengahan September 2022, banyak pengamat di dalam negeri ataupun luar negeri Iran memprediksi unjuk rasa tersebut paling lama hanya akan berlangsung beberapa pekan saja, seperti kebanyakan unjuk rasa di Iran sebelumnya.
Unjuk rasa tahun 2009 sebagai protes atas dugaan kecurangan hasil pemilu presiden saat itu, misalnya, hanya berlangsung kurang dari dua pekan. Kemudian, unjuk rasa bulan Desember 2017 yang digerakkan oleh kaum milenial Iran dan unjuk rasa bulan Agustus 2018 yang digerakkan oleh kaum Bazaari atau kaum pedagang juga berlangsung sekitar dua pekan saja.
Pemerintah Iran telah mencoba berbagai cara untuk memadamkan unjuk rasa kaum perempuan Iran, termasuk dengan cara membubarkan polisi moral pada awal Desember 2022. Namun, hingga saat ini berbagai upaya aparat Pemerintah Iran itu tidak mempan menghentikan unjuk rasa mereka.
Polisi moral di Iran dibentuk dan beroperasi pada era Presiden Mahmoud Ahmadinejad tahun 2005-2013. Pada era Presiden Hassan Rouhani (2013-2021), yang berasal dari kubu moderat, polisi moral tidak terlalu aktif beroperasi. Namun, pada masa Presiden Ebrahim Raisi saat ini, yang berasal dari kubu konservatif, polisi moral aktif beroperasi lagi.
Mahsa Amini tewas setelah beberapa hari ditahan di kantor polisi moral. Amini saat itu ditangkap polisi moral karena dituduh tidak mengenakan jilbab dengan benar. Publik Iran, terutama kaum perempuan, pun menuding polisi moral paling bertanggung jawab atas tewasnya Amini. Publik Iran saat itu menolak keras klaim pihak kepolisian Iran bahwa Amini tewas karena serangan jantung.
Tak pelak lagi, tewasnya Amini kala itu menyulut kemarahan kaum perempuan Iran. Mereka langsung menggelar unjuk rasa yang merambah lebih dari 100 kota.
Fenomena unjuk rasa kali ini menarik untuk dicermati. Amini bukanlah perempuan populer di Iran. Ia bahkan berasal dari etnis minoritas, yakni etnis Kurdi. Meski demikian, kematiannya mengundang solidaritas dan simpati luar biasa dari seluruh kaum perempuan Iran. Eskalasi gerakan dan solidaritas mereka benar-benar di luar kalkulasi Pemerintah Iran.
Sebagai protes atas kematian Amini, banyak perempuan Iran berani keluar rumah dengan tidak mengenakan jilbab di ibu kota Teheran dan kota-kota lain. Dalam foto-foto di banyak media sosial yang beredar, diperlihatkan banyak perempuan Iran berbelanja di pasar dan toko tidak mengenakan jilbab.
Saat ini muncul polemik di kalangan elite Iran antara kalangan yang pro dan kontra terhadap unjuk rasa kaum perempuan di Iran, termasuk terkait pemakaian jilbab. Kubu konservatif Iran yang berkuasa di Iran saat ini bersikukuh bahwa jilbab wajib dikenakan kaum perempuan Iran karena hal itu risalah revolusi tahun 1979. Adapun kubu reformis mendukung kaum perempuan diberi kebebasan lebih besar lagi sesuai dengan tuntutan unjuk rasa mereka.
Menurut aktivis perempuan Iran dan sekaligus pegiat HAM, Shirin Ebadi, dalam artikelnya di harian Asharq al-Awsat edisi 28 Desember 2022, kasus tewasnya Amini hanyalah peristiwa simbolis dan menjadi titik tolak kebangkitan kembali gerakan perempuan Iran yang praktis mati suri pascarevolusi Iran tahun 1979.
Padahal, jika menoleh ke belakangan, kaum perempuan Iran berandil besar dalam revolusi Iran tahun 1979 yang menumbangkan rezim Shah Iran Reza Pahlevi.
Kasus tewasnya Amini hanyalah peristiwa simbolis dan menjadi titik tolak kebangkitan kembali gerakan perempuan Iran yang praktis mati suri pascarevolusi Iran tahun 1979.
Shirin Ebadi menyebut, pada era Shah Iran Reza Pahlevi, gerakan kaum perempuan Iran terbentuk untuk melawan rezim diktator Shah Iran. Pascarevolusi tahun 1979, gerakan perempuan Iran kembali menggeliat, terutama di perkotaan, untuk melawan pembatasan hak-hak perempuan.
Ebadi juga mengungkapkan, gerakan kaum perempuan Iran lahir kembali tidak lama setelah revolusi Iran tahun 1979. Kala itu para aktivis perempuan Iran mulai membaca akan banyak pembatasan hak-hak kaum perempuan pascarevolusi. Namun, lanjut Ebadi, represi aparat keamanan Iran membuat gerakan kaum perempuan Iran pascarevolusi 1979 kurang berkembang.
Menurut Ebadi, yang meraih penghargaan Nobel Perdamaian tahun 2003, kematian Amini menjadi momentum bagi kaum perempuan Iran menggerakkan kembali perjuangan mereka menuntut keadilan, kebebasan, dan hak-hak lain yang tereduksi pada masa pascarevolusi 1979.
Ebadi menyerukan kaum perempuan Iran agar bersatu dan terus menggerakkan perlawanan hingga semua tuntutan mereka terwujud, seperti kesuksesan perjuangan mereka pada era Shah Iran Reza Pahlevi. Apalagi, gerakan kaum perempuan Iran saat ini juga mendapat simpati kaum laki-laki Iran yang membuat gerakan kaum perempuan itu menjadi terkuat sejak revolusi tahun 1979.
Di pihak lain, Pemerintah Iran berusaha dengan segala cara menghentikan unjuk rasa kaum perempuan itu. Upaya paling keras Pemerintah Iran adalah menjatuhkan hukuman mati atas 18 warga Iran yang dituduh menjadi dalang unjuk rasa-unjuk rasa tersebut. Terhadap empat dari 18 terdakwa itu, vonis hukuman mati mereka sudah dilaksanakan.
Iran juga menghentikan proses normalisasi hubungan dengan Arab Saudi. Teheran menuduh Riyadh ikut terlibat mengobarkan unjuk rasa kaum perempuan Iran saat ini. Sejak awal tahun 2021, delegasi Iran dan Arab Saudi sering bertemu di Baghdad, Irak, untuk membahas proses normalisasi hubungan kedua negara dengan mediator Irak.
Iran dan Arab Saudi selama ini dikenal sebagai musuh bebuyutan. Kedua negara itu terlibat pertarungan di Yaman, Lebanon, dan Bahrain.
Pemerintah Iran juga menuduh AS dan Israel terlibat dalam unjuk rasa kaum perempuan Iran dengan target menumbangkan rezim para mullah di Teheran. Diberitakan pula Iran memberi syarat baru untuk memulai lagi perundingan nuklir dengan AS, yaitu AS menghentikan dukungan terhadap unjuk rasa kaum perempuan Iran dengan imbalan dimulai lagi perundingan nuklir Iran.