Narasi Baru Putin soal Eksistensi Bangsa Rusia vs Kemampuan Nuklir NATO
Alasan Rusia untuk terus menggelar mesin perang di Ukraina bukan karena ancaman Ukraina semata, tapi lebih luas adalah NATO. Terutama setelah Inggris dan Perancis menyuarakan penggunaan senjata nuklir
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
Moskwa, Senin — Presiden Rusia Vladimir Putin memunculkan narasi baru soal eksistensi bangsa Rusia yang terancam setelah invasi negara itu ke Ukraina. Dukungan tidak terbatas negara-negara barat, seperti Amerika Serikat, Perancis, Jerman, dalam kerangka NATO, membuat Putin terpaksa memperhitungkan kemampuan nuklir aliansi militer itu vis a vis dengan kekuatan militer Rusia.
"Mereka memiliki satu tujuan: yaitu untuk membubarkan bekas Uni Soviet dan bagian fundamentalnya - Federasi Rusia," kata Putin dalam wawancara yang disiarkan stasiun televisi Rossiya 1, Minggu (26/2/2023).
Dalam wawancara yang direkam beberapa hari lalu itu Putin mengatakan, bantuan persenjataan tanpa jeda itulah salah satu hal yang membuat dirinya memutuskan untuk menangguhkan perundingan New START (strategic arms reduction treaty). Putin, dalam wawancara itu, mengatakan, Perancis dan Inggris bukan pihak dalam perjanjian New START. Akan tetapi, ancaman penggunaan senjata nuklir terhadap Rusia oleh dua negara anggota Uni Eropa itu, menurut Putin, tidak bisa diabaikan.
Putin mengatakan, dirinya akan mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjaga keberlangsungan dan keberadaan Rusia serta memastikan keamanan serta stabilitas strategisnya.
“Dalam kondisi hari ini, ketika semua negara NATO terkemuka telah menyatakan tujuan utama mereka untuk menimbulkan kekalahan strategis pada Rusia, untuk membuat rakyat Rusia menderita, bagaimana Rusia tidak bisa memperhitungkan kemampuan nuklir mereka? Selain itu, mereka memasok senjata ke Ukraina bernilai puluhan miliar dolar,” kata Putin.
Lebih lanjut dia mengatakan, setahun yang lalu, fondasi Moskwa untuk menyerang Ukraina adalah untuk mengurangi ancaman terhadap keamanan Rusia. ketidaksepakatan Rusia terhadap penggunaan wilayah Ukraina sebagai basis instalasi militer NATO yang mengarah langsung ke Rusia, adalah alasan utama serangan ke negara itu.
Akan tetapi, kini, dengan dukungan yang luas terhadap Ukraina, dengan pendukung terbesar adalah NATO, menjadi pembenaran potensi Rusia mengggunakan senjata nuklir.
Narasi yang sama juga disampaikan Wakil Ketua Dewan keamanan Rusia Dmitry Medvedev dalam sebuah artikel di surat kabar Izvestiya. Dikutip dari kantor berita TASS, Medvedev mengatakan, prasangka antirusia oleh negara-negara barat dan keinginannya untuk memecah, bahkan menghancurkan Rusia melandasi perlunya operasi militer khusus, begitu sebutan Moskwa untuk invasi militer mereka ke Ukraina.
Data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) Juni 2022, Amerika Serikat memiliki 1.744 hulu ledak nuklir, sementara Rusia memiliki 1.588 unit hulu ledak nuklir dalam kondisi siap meluncur sewaktu-waktu.
Sementara dari 290 hulu ledak Perancis, 280 dalam kondisi siap diluncurkan kapan pun. Sedangkan dari catatan FAS (Federation of American Scientists), Inggris memiliki setidaknya 225 hulu ledak nuklir dan separuh diantaranya siap diluncurkan kapanpun.
Direktur CIA WIlliam Burns menilai, pernyataan Putin itu mengindikasikan kehilangan kendali Putin atas Ukraina dan kebangkitan negara tersebut sebagai sebuah negara yang independen, demokratis, selaras dengan nilai-nilai yang dianut negara-negara barat.
“Dia melihat situasi ini sebagai ancaman langsung terhadap ambisinya sebagai pemimpin Rusia. Saya pikir hal itulah yang melatarbelakangi keputusan agresi yang dilancarkannya,” kata Burns.
Penasihat politik kepresidenan Ukraina Mykailo Podolyak menyebut narasi yang dibangun oleh Putin dan Moskwa menimbulkan beberapa pertanyaan lanjutan.
"Ketika Rusia berbicara tentang konflik nuklir, dua pertanyaan muncul. Mengapa Anda menyerang negara lain? Apakah Anda meminta dunia untuk memberi Anda hak untuk membunuh warga negara lain dengan impunitas. Dan, jika Anda dipukuli, Anda berteriak : Jangan menyentuh kami?,” cuitnya.
Peringatan AS ke China
Di tengah upaya China untuk memediasi perundingan damai Rusia dan Ukraina, Pemerintah AS memperingatan agar Negeri Tirai Bambu itu tidak mengirimkan persenjataan untuk mendukung invasi Rusia. Ketakutan Barat terhadap China membantu mempersenjatai Rusia muncul ketika militer Negeri Beruang Merah itu tengah mencoba unggul dalam pertempuran di wilayah Ukraina timur. Sedangkan Ukraina, yang tengah bergairah setelah mendapatkan suntikan persenjataan baru, bersiap melakukan serangan balasan.
"Beijing harus membuat keputusannya sendiri tentang bagaimana kelanjutannya, apakah akan memberikan bantuan militer (atau sebaliknya). Tapi, jika dia menempuh jalan itu, tindakan tersebut akan menimbulkan kerugian nyata bagi China," kata Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jake Sullivan, dalam wawancara dengan stasiun televisi CNN.
Sejak awal Beijing enggan mengecam invasi Rusia ke Ukraina. Yang terakhir, China juga menolak untuk mengecam Rusia pada pertemuan Menteri Keuangan G20 di New Delhi, India, Jumat pekan lalu.
Sejumlah informasi yang diterima oleh pejabat pemerintah AS dan negara-negara sekutunya menyebut bahwa Beijing akan mengirimkan sejumlah persenjataan untuk membantu Rusia menghadapi Ukraina, yang mendapatkan dukungan penuh dari NATO. Kecurigaan itu bertambah usai Direktur Kantor Hubungan Internasional Politbiro Partai Komunis China Wang Yi bertemu Putin dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov di Moskwa, pekan lalu.
Senator Michael McCaul, Ketua Komite Urusan Luar Negeri DPR AS yang berasal dari Partai Republik, mengutip sebuah laporan bahwa drone termasuk di antara senjata yang sedang dipertimbangkan China untuk dikirim ke Rusia. Dia juga menambahkan, untuk mempererat hubungan kedua negara, Presiden Xi Jinping dikabarkan akan berkunjung ke Moskwa minggu depan dan bertemu Putin.
Soal pengiriman senjata dari China ke Rusia juga disampaikan oleh Burns, meski belum bisa dipastikan. “Kami belum melihat apakah keputusan akhir sudah dibuat atau belum. Dan, kami belum melihat bukti pengiriman persenjataan mematikan yang sebenarnya,” kata Burns.
Sementara, menurut Menteri Pertahanan Jerman Boris Pistorius, dirinya mendengar laporan adanya rencana China mengirim persenjataan ke Rusia. Akan tetapi, sama seperti Burns, dia belum bisa memastikan kebenaran laporan itu.
"Ketika saya mendengar laporan - dan saya tidak tahu apakah itu benar - China mungkin berencana untuk memasok drone kamikaze ke Rusia. Pada saat yang sama, China menyajikan rencana perdamaian. Maka, saya menyarankan agar kita menilai China berdasarkan tindakannya dan bukan kata-katanya," kata Pistorius dalam wawancara dengan lembaga penyiaran publik Jerman Deutschlandfunk, Minggu (26/2/2023).