Eropa Terbelah soal Usulan China untuk Perundingan Damai di Ukraina
Perancis dan Ukraina memandang usulan China perlu diberi kesempatan. Namun, AS, Uni Eropa, dan sejumlah pihak lain langsung menolaknya.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
PARIS, MINGGU — Usulan China soal perdamaian di Ukraina disikapi berbeda oleh Eropa dan Amerika Serikat. Perancis dan Ukraina memandang usulan itu perlu diberi kesempatan. Sementara sejumlah pihak lain langsung menolaknya.
Presiden Perancis Emmanuel Macron menyebut keterlibatan China pada upaya bina damai di Ukraina adalah hal bagus. ”China harus membantu kami menekan Rusia agar tidak pernah menggunakan senjata kimia atau nuklir. Rusia juga harus menghentikan serangan sebelum mulai berunding,” ujarnya, Sabtu (25/2/2023) sore waktu Paris atau Minggu dini hari WIB.
Permintaan tersebut akan disampaikan dalam lawatan Macron ke China yang dijadwalkan pada April 2023. Sikap Macron ini diumumkan sehari selepas China mengeluarkan 12 poin untuk perdamaian di Ukraina dan keamanan Eropa. Sikap pertama China adalah penghormatan kedaulatan semua negara. China meminta penghentian permusuhan dan mulai digelarnya perundingan damai.
Beijing juga mendesak perlindungan warga sipil, tawanan perang, dan keamanan pembangkit listrik tenaga nuklir. Sanksi sepihak perlu dihentikan dan rantai pasok global harus dijaga. China menyalahkan sekaligus membela Rusia dalam sikap resmi tersebut.
Sebagian sikap China selaras dengan sikap Perancis dan sekutunya. Kesamaan itu pada poin penghentian permusuhan dan penghormatan kedaulatan.
Usulan China juga ditanggapi positif oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy. Ia ingin berbicara dengan Presiden China Xi Jinping dan membahas upaya perdamaian.
Pendiri Foreign Policy Community Indonesia, Dino Patti Djalal, menyebut Xi menjadi orang yang paling didengar Presiden Rusia Vladimir Putin. China juga telah mengeluarkan sikapnya soal perang itu. ”China perlu diberi kesempatan,” ujarnya.
UE tak setuju
Sementara Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan, China tidak punya modal untuk menjadi pendamai. China jelas telah berpihak kepada Rusia. ”Batas antara penjajah dan korban penjajahan dikaburkan,” katanya.
Von der Leyen mendesak China terlebih dulu mengambil sikap jelas dalam perang di Ukraina. China perlu terlebih dulu secara tegas mengecam Rusia karena serangan ke Ukraina. Tanpa itu China tidak dapat diberi kesempatan menjadi pendamai.
Uni Eropa (UE), Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), serta sejumlah negara berusaha terus menggalang dukungan untuk menekan Rusia. Secara politis, ada 141 anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengecam serangan Rusia ke Ukraina. Walakin, mayoritas negara menolak bertindak lebih jauh untuk menekan Rusia.
Sebagian anggota UE juga tetap membeli berbagai komoditas dari Rusia. Padahal, UE sudah menerbitkan 10 paket sanksi ke Rusia gara-gara serangan ke Ukraina.
Dukungan warga AS dan UE, yang pemerintahannya paling gencar menggalang tekanan untuk Rusia, juga semakin berkurang. Dalam jajak pendapat kantor berita DPA dan YouGov terungkap 51 persen responden merasa Jerman terlibat dalam perang. Sebab, Jerman ikut mempersenjatai Ukraina.
Bahkan, dalam jajak pendapat tersebut 44 persen responden menolak pengiriman tank Leopard 2 ke Ukraina. Jika menyangkut jet tempur, 56 persen responden menolak.
Hingga 40 persen responden merasa kiriman persenjataan dari Jerman ke Ukraina sudah berlebihan. Adapun 23 persen lain merasa justru pasokannya amat kurang.
Tidak hanya dalam jajak pendapat, penolakan warga juga ditunjukkan dalam unjuk rasa di Berlin pada Sabtu (25/2/2023). Hampir 10.000 orang menuntut pengiriman senjata dan penghentian perang di Ukraina. Pemerintah Jerman mengecam unjuk rasa itu.
Sebelumnya dalam jajak pendapat Associated Press juga ditemukan penurunan dukungan warga AS atas perang Ukraina. Lebih dari separuh warga AS tidak setuju negaranya terus mendukung perang di Ukraina.
Adapun dalam jajak pendapat European Council of Foreign Relations (ECFR) diungkap dukungan terhadap perang hanya ditemukan di sebagian Eropa dan AS. Sementara mayoritas Asia dan Afrika menolak mendukung perang itu. Penduduk Asia-Afrika berharap perang segera dihentikan, apa pun caranya. Sementara penduduk AS-Eropa memandang kemenangan Ukraina sebagai satu-satunya cara mengakhiri perang itu.
ECFR menyebut, temuan tersebut merupakan indikasi semakin berkurangnya pengaruh AS-Eropa Barat di panggung global. Bangsa-bangsa Asia-Afrika menolak mendukung pandangan Barat. Padahal, AS dan sekutunya melancarkan kampanye besar-besaran untuk mengajak Asia-Afrika menjauhi Rusia.
Salah pendekatan
Pakar hubungan internasional AS, Amitav Acharya, mengatakan bahwa ada kesalahan serius dalam pendekatan AS ke Asia-Afrika. Bangsa-bangsa Asia-Afrika merasa diancam AS dan sekutunya agar menjauhi Rusia. Ancaman itu membuat mereka kembali mengingat kekejaman AS dan sekutunya selama periode penjajahan beberapa dekade lalu.
Selain itu, AS dan sekutunya juga dianggap mengesampingkan kebutuhan Asia-Afrika dan mengutamakan Ukraina. ”Eropa mau membuat masalah Ukraina menjadi masalah global. Padahal, banyak pihak merasa persoalan itu sebagai masalah Eropa dan ada banyak kesempatan Eropa menyelesaikannya sejak dulu,” katanya.
Direktur Kajian Eurasia pada Quincy Institute for Responsible Statecraft Anatol Lieven mengatakan bahwa permusuhan Rusia dengan Barat bukan hal baru. Walakin, penolakan Barat untuk berdampingan dengan Rusia menjadi faktor Putin menyerbu Ukraina.
Sampai 2021, Putin disebut masih berharap bangsanya bisa berdampingan dengan Eropa. Putin terus mewacanakan gagasan Rusia adalah bagian tidak terpisahkan dari Eropa. Namun, Putin tidak merasakan tanggapan positif atas upaya itu. NATO malah terus berusaha menekan dan mengalahkan Rusia dengan berbagai cara. (AFP/REUTERS)