Vladimir Putin sangat berhati-hati dan penuh kalkulasi, khususnya soal penggunaan kekuatan militer. Ia bukan orang yang tak mau ambil risiko. Tetapi, jika harus ambil risiko itu, keuntungan harus lebih besar dari ongkos.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·2 menit baca
Satu pertanyaan besar saat ini menjadi teka-teki bagi banyak pihak. Apa sebenarnya yang diinginkan Presiden Vladimir Putin dengan langkah-langkahnya akhir-akhir ini, termasuk mobilisasi 100.000 personel pasukan Rusia di dekat perbatasan Ukraina? Para pengamat mengotak-atik berbagai kemungkinan di balik itu. Sementara itu, para pemimpin dan pejabat di Barat dan Rusia bersilat lidah dan saling gertak melalui perang retorika. Putin sampai menulis artikel panjang hampir 7.000 kata.
Peristiwa 9 November 1989 di Berlin tak pernah terlupakan dalam memori Putin. Kala itu ia menjadi agen dinas rahasia Uni Soviet (KGB) berusia 36 tahun di Dresden, sekitar 190 kilometer selatan Berlin, wilayah Jerman Timur. Hari itu, dihadapkan pada situasi membingungkan menyusul jebolnya Tembok Berlin, pembatas antara Jerman Timur yang komunis dan Jerman Barat, ia merasa ditinggalkan Moskwa. ”Kami diajari untuk tidak melakukan sesuatu tanpa perintah Moskwa, tetapi Moskwa diam saja,” ujar Putin saat itu.
Ternyata, ketidakberdayaan Moskwa tak berhenti sampai di sana. Dua tahun kemudian, Uni Soviet bubar, hilang dari peta bumi, dan pecah jadi 15 negara. ”Petaka geopolitik besar abad ke-20,” sebut Putin. Momen-momen tersebut, tulis Susan Glassers, mantan Kepala Biro Moskwa The Washington Post, menjadi sinyal atau penanda yang kelak menumbuhkan tekad Putin untuk memutar balik konsekuensi akibat ”petaka” itu (Foreign Affairs, September/Oktober 2019).
Ada ambisi, jika waktu yang tepat tiba, Putin ingin memulihkan lagi Rusia sebagai kekuatan besar. Hanya 10 tahun pasca-runtuhnya Tembok Berlin, Putin ditunjuk menjadi Perdana Menteri Rusia, kemudian penjabat Presiden, menggantikan Boris Yeltsin. Jabatan dan kekuasaan Putin bertahan hingga hari ini. Ia pemimpin Rusia paling lama saat menjabat setelah Joseph Stalin (menjabat 1922-1952).
Bagi Putin, penting bagi Rusia memperoleh jaminan keamanan, respek, dan bahkan mungkin juga rasa takut dari Barat. Ia ingin, Barat mau memberi respek terhadap hak Moskwa atas area pengaruh (sphere of influence) dan area kepentingan khusus (sphere of privileged interest), yang dulu pernah dimiliki Uni Soviet. Bagi Rusia, Ukraina masuk dalam area itu. Putin juga menyoroti pasca-runtuhnya Uni Soviet. Arsitektur keamanan Euro-Atlantik buatan AS dan sekutunya dinilai mengabaikan isu keamanan Rusia.
”Kami menghadapi upaya penciptaan iklim ketakutan pada masyarakat Ukraina,” tulis Putin dalam artikelnya terkait isu Rusia-Ukraina, On the Historical Unity of Russians and Ukrainians, 12 Juli 2021. ”Bersamaan dengan itu, kami menyaksikan bukan saja adanya ketergantungan penuh, melainkan juga kendali eksternal langsung, termasuk supervisi pada otoritas Ukraina, aparat keamanan, angkatan bersenjata oleh para penasihat asing, ’pengembangan’ militer di teritori Ukraina, dan pengerahan infrastruktur NATO.”
Dalam proposalnya, Rusia antara lain mendesak NATO agar tidak memperluas keanggotaan ke timur, termasuk Ukraina. Jika Ukraina sampai masuk anggota NATO, rudal dan persenjataan Barat hanya butuh beberapa menit untuk menjangkau Moskwa. AS-NATO telah menolak proposal itu. Kini, semua menanti respons balik Putin.
”Putin adalah orang yang berhati-hati dan penuh kalkulasi, khususnya jika berurusan penggunaan kekuatan (militer),” sebut Direktur Carnegie Moscow Center Dmitri Trenin (Foreign Affairs, 28 Desember 2021). ”Putin bukan orang yang tak mau ambil risiko—operasi di Chechnya, Crimea, dan Suriah buktinya—tetapi di benaknya, keuntungan harus lebih besar dari ongkosnya.”
Nah, apakah ia akan memerintahkan pasukan Rusia menyerbu Ukraina? Hanya Putin yang tahu.