Ketidakpastian Membayangi Pengendalian Senjata Nuklir
AS-Rusia sama-sama melanggar pembatasan jumlah bom nuklir siap diluncurkan. Sembilan negara pemilik bom nuklir terus menambah dan memutakhirkan persenjataan strategis mereka.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
Jakarta, Kompas - Pengendalian persenjataan nuklir berpotensi semakin menjadi tidak jelas. Perlombaan senjata nuklir bisa kembali terjadi tanpa terkendali. Sebab, Amerika Serikat dan Rusia sebagai pemilik utama persenjataan itu kini menguatkan penolakan bekerja sama soal pengendalian senjata nuklir.
Pengampanye pelucutan persenjataan nuklir Muhadi Sugiono mengatakan, koordinasi di antara negara utama pemilik senjata nuklir kini penuh ketidakpastian. Padahal, AS-Rusia telah bertahun-tahun menjadikan Traktat Lanjutan Pengurangan Persenjataan Strategis (NEW START) sebagai pembatas penambahan senjata nuklir. “Pertanyannya, apakah (Presiden Rusia Vladimir Putin) Putin serius dengan ancamannya?” ujarnya, Rabu (22/2/2023), di Yogyakarta.
Dosen Universitas Gadjah Mada itu merujuk pidato Putin pada Selasa sore. Dalam siaran langsung, Putin mengumumkan Rusia menangguhkan keterlibatan Rusia dalam New START. Sementara dalam naskah resmi yang diedarkan Kremlin selepas pidato, bagian pernyataan itu tidak ada.
Selepas pidato Putin, Kementerian Luar Negeri Rusia menyatakan bahwa penangguhan itu bisa dibatalkan. Syaratnya, AS harus menunjukkan niat dan upaya baik untuk meredakan ketegangan. Moskwa juga meminta Washington benar-benar serius menjalankan New START.
”Semuanya akan bergantung pada posisi Barat. Ketika ada kemauan untuk mempertimbangkan keprihatinan kami, situasinya akan berubah,” kata juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov
Menanggapi pernyataan Putin, di sela-sela kunjungannya ke Polandia, Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengatakan, Putin telah membuat ”kesalahan besar”.
Mantan Duta Besar Amerika Serikat di Moskwa John Tefft juga mengatakan, pernyataan Putin soal New START tidak tegas. “Saya melihat video dia membahas soal penangguhan New START dan lalu dia berkata “Saya tidak berkata kita(Rusia) keluar dari (perjanjian) ini. Semua sangat diatur,” ujarnya.
Ia berpendapat pernyataan Putin lebih bersifat politis. Alih-alih bentuk kebijakan luar negeri, kebijakan itu lebih ditujukan ke warga Rusia. “Cuma ancaman, tidak serius,” kata dia.
Pembatasan
Disepakati pertama kali pada pertama kali pada Juli 1991, START telah beberapa kali dirundingkan dan diperpanjang. Pada Februari 2021, setelah menolak, Amerika Serikat setuju New START diperpanjang sampai 2026. AS-Rusia juga sepakat merundingkan lagi perjanjian pengendalian baru. New START membatasi jumlah hulu ledak nuklir yang siap diluncurkan maksimal 1.550 unit.
Sayangnya, menurut Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), AS-Rusia sama-sama melanggar pembatasan itu. Dalam pernyataan pada Juni 2022, SIPRI mencatat ada 1.744 hulu ledak nuklir di AS dan 1.588 lain di Rusia dalam kondisi siap meluncur sewaktu-waktu. Sementara dari 290 hulu ledak Perancis, 280 dalam kondisi siap diluncurkan kapan pun.
Putin menegaskan, Rusia tidak keluar dari New START. Rusia hanya menolak fasilitas persenjataan nuklirnya diperiksa Amerika Serikat untuk sementara waktu. Sebab, hasil pemeriksaan dikhawatirkan diberikan AS ke Ukraina. Hal senada pernah disampaikan Kemenlu Rusia pada 7 Februari 2023.
Tudingan itu tidak lepas dari fakta Ukraina beberapa kali menyerang pangkalan pesawat pengangkut bom nuklir Rusia. Selain itu, dalam laporan Washington Post pada 10 Februari 2023 disebut, pasukan Ukraina hanya menembak ke koordinat sasaran yang diberikan AS dan sekutunya.
Sejak Oktober 2022, AS-Rusia saling menuding satu sama lain tidak patuh New START. Bahkan, kala AS dipimpin Donald Trump, Washington menolak memperpanjang masa berlaku New START. AS mau semua negara pemilik senjata nuklir diikat dalam perjanjian baru.
Dalam pidato pada Selasa sore, Putin menyinggung keputusan AS keluar dari sejumlah traktat pengendalian senjata. Ia antara lain menyinggung keputusan AS keluar dari pengendalian pengembangan rudal jarak menengah.
Perlombaan Baru
Pengampanye pemusnahan senjata nuklir pada Global Zero, Jon Wolfsthal, menyebut bahwa pernyataan Putin lebih bersifat politis. Meski demikian, pernyataan itu bisa memicu perlombaan baru menambah persenjatan nuklir. AS, China, dan negara lain akan menambah bom nuklir siap luncur. Dibandingkan perang dingin, kondisi sekarang bisa lebih buruk karena bom nuklir tidak lagi dimiliki dua negara saja.
Peneliti Oslo Nuclear Project, James Cameron, menyebut bahwa pengabaian New START praktis menghidupkan lagi inti perang dingin. Ia merujuk fakta kini negara-negara terdorong berlomba menambah jumlah hulu ledak nuklir. Persis seperti selama perang dingin. “Ada ketidakstabilan besar karena para pihak bertindak berdasarkan skenario terburuk,” ujarnya.
Dalam Strategi Pertahanan Nasional (NDS) AS yang diterbitkan pada Oktober 2022 ditegaskan, Washington siap menggunakan senjata nuklir untuk ancaman non-nuklir. Padahal, selama masa kampanye, Presiden AS Joe Biden berjanji tidak akan menggunakan kebijakan menyerang pertama kali dengan senjata nuklir. NDS 2022 membalikkan janji kampanye itu.
Ada pun Tefft ragu Rusia mau ada perlombaan bom nuklir baru. “Dari mana uang mereka? Secara historis, mereka tidak pernah benar-benar mampu bersaing dengan kita (AS). Kondisi mereka sedang sulit sekarang,” ujarnya. Bahkan, ia meragukan Rusia benar-benar rutin memeriksa arsenal nuklirnya gara-gara keterbatasan sumber daya. Kini, hampir seluruh sumber daya Rusia dikerahkan dalam perang Ukraina.
Sementara peneliti senior Center for a New American Security Samuel Bendett mengatakan, Putin mengindikasikan Rusia tidak mau diikat perjanjian yang dipandang menguntungkan AS.
Ada pun menurut SIPRI, jumlah hulu ledak nuklir memang menurun beberapa waktu terakhir. Dari 13.080 unit pada awal 2021, menjadi 12.705 unit pada awal 2022. Sayangnya, ke depan ada potensi peningkatan hulu ledak. "Ada potensi era pengurangan senjata nuklir akan berakhir,” ujar peneliti SIPRI Hans Kristensen.
Modernisasi persenjataan nuklir terus dilakukan AS, China, India, Inggris, Israel, Korea Utara, Perancis, Pakistan, dan Rusia. Keputusan AS mengubah doktrin penggunaan bom nuklirnya telah membuat negara lain terdorong melakukan hal serupa. “Bukan hanya jumlah dan teknologinya, posisi nuklir dalam strategi nasional juga berubah menjadi lebih mengkhawatirkan,” kata Direktur Program Senjata Pemusnah Massal SIPRI Wilfried Wan. (AP/AFP/REUTERS)