Indonesia dan Tuntutan Kebijakan Baru Senjata Nuklir
Bagi Indonesia, perumusan kebijakan yang tepat terkait nuklir penggerak kapal yang dirumuskan dengan sinergi seluruh pihak perlu segera dilakukan. Namun, institusi mana yang harus memulai proses perumusan kebijakan itu?
Konferensi Tinjauan Perjanjian Nonproliferasi (Nuklir) atau The Tenth Nonproliferation Treaty Review Conference atau Rev Conf telah berlangsung pada 1-26 Agustus 2022 di Kantor Pusat PBB, New York, Amerika Serikat.
Dalam konferensi yang digelar lima tahun sekali itu, sebanyak 180 state parties (negara pihak) meninjau pelaksanaan Traktat Pelarangan Penyebaran Senjata Nuklir/Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (Nonproliferation Treaty/NPT) dan merumuskan rekomendasi-rekomendasi langkah yang perlu dilakukan agar tujuan NPT tercapai.
Dalam konferensi dengan pertentangan antara beberapa ”negara raksasa” itu, Indonesia mengajukan kertas kerja (Indonesia Paper) yang menyoal beroperasinya tenaga nuklir penggerak kapal (naval nuclear propulsion/NNP).
Prinsipnya, Indonesia menekankan perlunya dirumuskan pengaturan internasional yang melindungi negara-negara, terutama negara kepulauan, dari potensi bahaya terhadap lingkungan hidup dan manusia, karena lalu lalangnya atau karena terjadinya kecelakaan yang melibatkan tenaga nuklir penggerak kapal. Sejumlah negara pihak, para pemilik, dan ”calon pemilik” tenaga nuklir penggerak kapal telah memberikan berbagai tanggapan awal, yang intinya tak ingin kegiatan operasional tenaga nuklir penggerak kapal mereka ”terganggu”.
Alasannya, masalah bahaya itu secara teknis sudah diantisipasi, tidak terjadi, dan beroperasinya tenaga nuklir penggerak kapal (NNP) tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan internasional yang berlaku, khususnya Perjanjian Nonproliferasi Nuklir.
Baca juga: Perundingan Perlucutan Senjata Nuklir Buntu
Indonesia, NPT, dan ketegangan kawasan
Sebagai negara Nonblok Bukan Pemilik Senjata Nuklir (Non-nuclear Weapon State-Non-aligned Movement/NWS-NAM), dalam delapan kali konferensi, antara tahun 1980 dan 2022, posisi Indonesia sebagian besar merupakan refleksi posisi kolektif NAM (nonblok), vice versa.
Bahkan, sebagai Koordinator Pokja Perlucutan Senjata Gerakan Nonblok (Coordinator of NAM WG on Disarmament) sejak 1995 hingga 2022, Indonesia masih dalam posisi kolektif gerakan nonblok (NAM) yang menghendaki agar: (1) pelucutan senjata nuklir (Article VI NPT) menjadi prioritas tertinggi; 2) ada jaminan pasokan material dan teknologi nuklir bagi program nuklir tujuan damai di negara berkembang (Article IV NPT).
Selain itu, (3) agar inspeksi oleh safeguard system Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA) tidak intrusif terhadap negara-negara berkembang (Article III NPT).
Dapat diduga karena kepentingannya sebagai negara maritim dan tingginya ketegangan antar-”negara-negara raksasa”, terutama di Asia Timur, Indonesia mengajukan sendiri masalah nuklir penggerak kapal itu tanpa mengikutsertakan NAM (Reaching Critical Will, Statements in NPT RevConfs).
Baca juga: Menimbang Opsi Nuklir dalam Penurunan Emisi
Di kawasan Eropa, perjanjian seperti CFE Treaty, INF Treaty, dan Open Sky Treaty—pilar penyangga struktur keamanan kawasan—telah ”runtuh” karena masa berlakunya tidak diperpanjang negara-negara pihak pada traktat itu. Perang Rusia-Ukraina bahkan memperburuk situasi kawasan (Hal Brand, Foreign Policy, Summer 2022).
Di kawasan Asia Timur; Korea Utara yang keluar dari Perjanjian Nonproliferasi Nuklir pada 2003 menguji coba enam ledakan nuklir pada Oktober 2006 sampai November 2017. Hingga kini, Korea Utara masih berseteru dengan Korea Selatan, Jepang, dan AS.
Uji coba beberapa jenis peluru kendali (rudal-missile), bahkan rudal antarbenua (intercontinental ballistic missile/ICBM), yang dilakukan Korea Utara awal Juni 2022 beberapa hari kemudian ”diimbangi” Korea Selatan (bersama AS) dengan rudal taktis darat-ke-darat (ATACMS). Hal ini meningkatkan ketegangan di kawasan Asia Timur (BBC News, 6/6/2022).
Situasi kawasan ”diperburuk” oleh kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taiwan pada 2 Agustus 2022 yang memicu China menggelar latihan militer di sekitar Selat Taiwan.
Lebih dari 200 pesawat militer dan lebih dari 50 kapal perang dikerahkan China dalam latihan itu (The Washington Post, 8/8/2022). Potensi konflik di kawasan Asia Timur cukup tinggi karena masalah klaim beberapa negara atas beberapa wilayah kepulauan dan perairan di Laut China Selatan.
Dalam situasi ini dapat diperkirakan pergerakan nuklir penggerak kapal meningkat.
Menyoal tenaga nuklir penggerak kapal
Dalam Indonesia Paper (NPT/CONF. 2020/WP,67) dan pernyataan delegasi RI dalam konferensi 2022, juga di beberapa media pada minggu pertama Agustus, dinyatakan bahwa salah satu cara monitoring ialah dengan sistem safeguard IAEA yang dirancang khusus.
Dalam kaitan ini, Article III Perjanjian Nonproliferasi Nuklir memang mewajibkan non-nuclear weapon state (NNWS) mengizinkan semua fasilitas dan material nuklirnya diinspeksi oleh IAEA. Karena itu, logikanya, tenaga nuklir penggerak kapal (NNP) milik NNWS mestinya juga harus dapat dimonitor dengan sistem safeguard IAEA.
Permasalahannya, monitoring ini (kalaupun dapat) dilaksanakan, adalah monitoring suatu benda yang bergerak di lautan yang gerakannya dapat bersifat rahasia militer. Kenyataannya, saat ini Article III NPT menetapkan bahwa fasilitas dan material nuklir milik negara-negara pemilik senjata nuklir (nuclear weapon states/NWS) pada Perjanjian Nonproliferasi Nuklir tidak dikenai aturan safeguard IAEA.
Oleh karena itu, tentunya tenaga nuklir penggerak kapal (NNP) milik NWS juga tidak dikenai aturan yang sama. Tenaga nuklir penggerak kapal milik non-state party juga tak diatur dalam Article III. Padahal, apabila usulan Indonesia diajukan untuk mencegah risiko bencana kemanusiaan dan lingkungan, semua tenaga nuklir penggerak kapal seharusnya dimonitor secara internasional, misalnya dengan aturan IAEA (kemlu.go.id/portal/id/read/3942).
Perang Rusia-Ukraina saat ini membuat keamanan kawasan Eropa menjadi rawan, sementara kawasan Asia Timur juga sarat potensi konflik.
Dalam situasi ini, dapat diperkirakan pergerakan nuklir penggerak kapal meningkat. Perseteruan Korea Utara-Korea Selatan, Jepang, serta AS; juga masalah Taiwan dan Laut China Selatan; dapat memicu meningkatnya pergerakan tersebut.
Dengan motivasi yang berbeda dalam konferensi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Agustus lalu, China menyoal potensi bahaya, apabila dengan Traktat AUKUS Australia memiliki dan mengoperasikan nuklir penggerak kapal dalam wujud kapal selam nuklir.
Di tengah pertentangan antar-kekuatan besar di beberapa kawasan, Indonesia mulai mengungkap kekhawatiran dengan terang ancaman keamanan dan keselamatan lingkungan hidup yang meningkat, terutama bagi negara maritim.
Masalah tenaga nuklir penggerak kapal (NNP) berkaitan dengan keselamatan manusia, berdimensi militer dan teknologi tinggi, mengenai hukum dan hubungan internasional yang kompleks, sekaligus juga sangat sensitif.
Satu pihak menilai perlunya pengendalian internasional terhadap tenaga nuklir penggerak kapal (NNP). Sementara pihak lain menilai tenaga nuklir penggerak kapal vital untuk menjaga keamanan internasional yang tak boleh dicampuri pengendaliannya pihak lain.
Untuk mengamankan kepentingan-kepentingan itu, para pihak dapat saling bertabrakan, berkoalisi, atau berembuk bersama mencari solusi.
Ada kepentingan untuk mencegah potensi bencana kemanusiaan, kepentingan menegakkan prinsip nondiskriminatif dalam pelaksanaan perjanjian internasional; ada kepentingan strategis dan keunggulan geo-strategis yang harus dilindungi. Untuk mengamankan kepentingan-kepentingan itu, para pihak dapat saling bertabrakan, berkoalisi, atau berembuk bersama mencari solusi.
Bagi Indonesia, perumusan kebijakan yang tepat terkait nuklir penggerak kapal yang dirumuskan dengan sinergi seluruh pihak perlu segera dilakukan. Pelaksanaan kebijakan itu ditunggu forum internasional, menyusul langkah awal delegasi Indonesia dalam konferensi NPT Agustus lalu.
Pertanyaan kemudian: institusi mana yang harus memulai proses perumusan kebijakan itu? Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan? Kementerian Luar Negeri? Kementerian Pertahanan? Mabes TNI? Atau Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)? Wallahualam.
Sudjadnan Parnohadiningrat,Chairman NPT 2004; Chairman MC I, NPT 2005, PBB New York