Aksi nyata perlucutan senjata nuklir yang terus mengancam tertunda lagi. Dengan risiko dan ancaman nuklir yang terus meningkat, penghapusan nuklir sangat mendesak dan perlu.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
NEW YORK, SABTU — Perundingan Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir atau NPT menemui jalan buntu setelah para pihak gagal mencapai kesepakatan. Kegagalan terciptanya kesepakatan terjadi karena Rusia menolak dokumen akhir yang semula diharapkan menjadi landasan bagi perlucutan senjata nuklir. Rusia menilai adanya ketidakberimbangan, terutama menyangkut situasi terbaru di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Zaporizhia yang kini dikuasai militernya.
Namun, Igor Vishnevetsky, Wakil Direktur Departemen Proliferasi dan Pengendalian Senjata Kementerian Luar Negeri Rusia, pada hari terakhir perundingan, Jumat (26/8/2022), menolak negaranya disalahkan atas tidak tercapainya konsensus dalam perundingan yang berlangsung hampir satu bulan itu. ”Bukan hanya Rusia yang tidak setuju dengan sejumlah besar masalah dalam draf terakhir kesepakatan,” kata Vishnevetsky.
Delegasi Rusia dalam perundingan tersebut menolak paragraf yang tercantum dalam draf rancangan kesepakatan. Paragraf 34 dalam draf tersebut menyatakan keprihatinan atas kegiatan militer yang dilakukan di dekat atau di dalam sebuah area yang tunduk pada perjanjian perlindungan komprehensif Ukraina, khususnya di PLTN Zaporizhia. Dalam paragraf yang sama, dinyatakan juga bahwa para pihak menyatakan keprihatinan atas hilangnya kendali otoritas nuklir Ukraina terhadap PLTN Zaporizhia karena aksi militer di negara tersebut.
Dalam pernyataannya, delegasi Rusia menyatakan, banyak delegasi keberatan dengan teks tersebut dan menuding adanya negara yang coba memolitisasi jalannya perundingan. ”Jika ada keinginan untuk menemukan kesamaan, kami bersedia untuk bekerja lebih jauh. Namun, jika delegasi tidak ingin melakukan ini, tidak akan ada konsensus,” kata Kepala Delegasi Federasi Rusia dikutip dari laman armscontrol.org.
Anggota delegasi Rusia, Andrei Belousov, mengatakan, dimasukkannya paragraf yang secara khusus membahas situasi di PLTN Zaporizhia menandakan perundingan itu telah berubah menjadi sandera politik pemerintahan yang mendukung Ukraina. Dia melempar tanggung jawab hasil buruk perundingan itu pada negara-negara tersebut, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, yang mendukung Pemerintah Ukraina.
”Negara-negara ini, yaitu Ukraina dan pendukung rezim Kyiv, bertanggung jawab penuh atas tidak adanya hasil akhir yang positif,” katanya.
Sebaliknya, menurut perwakilan Khusus AS untuk NPT, Adam Scheinman, draf kesepakatan akhir tidak pernah menyebutkan nama Rusia. Dia mengatakan, kegagalan untuk mengakui adanya fakta situasi tidak baik yang melingkupi lingkungan di sekitar PLTN Zaporizhia, termasuk risiko bencana radiologi, adalah karena pilihan kebijakan perang yang diambil Pemerintah Rusia.
”Rusia adalah alasan kita tidak memiliki konsensus hari ini. Perubahan menit terakhir yang dicari Rusia bukanlah karakter kecil,” katanya.
Kecewa
Kegagalan mengadopsi kesepakatan membuat sejumlah negara peserta kecewa. Situasi ini mengulangi kejadian tahun 2015 ketika perundingan yang sama juga gagal mencapai kesepakatan.
Indonesia, berbicara atas nama Gerakan Nonblok yang terdiri dari 120 negara berkembang, menyatakan kekecewaan atas kegagalan tersebut, dengan menyebut dokumen akhir sangat penting. Delegasi Kementerian Luar Negeri RI, dalam perundingan tersebut, mencoba mendorong tiga hal pokok, yaitu kewajiban di tangan negara-negara pemilik persenjataan nuklir harus diimplementasikan dalam bentuk tindakan nyata, penguatan arsitektur perlucutan senjata, dan penggunaan teknologi nuklir untuk tujuan damai harus terus didorong.
Secara khusus, delegasi Indonesia mendorong agar kapal selam bertenaga nuklir menjadi topik bahasan, terutama menjadi bagian dari pengawasan oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Dalam draf rancangan kesepakatan, hal itu dicantumkan dalam paragraf 36 yang menyebutkan konferensi mencatat pentingnya dialog secara transparan dan terbuka. Konferensi berharap negara-negara yang bukan pemilik senjata nuklir (non-nuclear weapon states atau NNWS) yang tengah membangun kekuatan kapal selam bertenaga nuklir untuk membuka pintu bagi inspeksi IAEA.
Rebecca Johnson, pendiri lembaga ICAN (Kampanye Internasional untuk Menghapuskan Senjata Nuklir), menyatakan, dengan risiko dan ancaman nuklir yang terus meningkat, penghapusan nuklir sangat mendesak dan perlu.
Daryl Kimball, Direktur Eksekutif Asosiasi Kontrol Senjata yang berbasis di Washington, menyatakan kekecewaan karena kesempatan untuk memperkuat kesepakatan bersama soal perlucutan senjata nuklir dilewatkan begitu saja. ”Konferensi NPT ini kesempatan yang terlewatkan untuk memperkuat perjanjian dan keamanan global dengan menyetujui rencana aksi spesifik, dengan tolok ukur dan kerangka waktu yang penting untuk mengatasi pertumbuhan kepemilikan senjata dan penggunaan senjata nuklir,” katanya. (AP/AFP)