Isu perang di Ukraina kembali membelah G20 sehingga lagi-lagi forum gagal mengeluarkan komunike bersama. China dan Rusia tak mau tanda tangan. India sebagai presiden G20 juga tak mau mengecam Rusia.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
MANJUNATH KIRAN
Menteri Keuangan India Nirmala Sitaraman (tengah) memberikan keterangan pada konferensi pers bersama dengan Gubernur Bank Sentral India Shaktikanta Das (kanan) dan Sekretaris Departemen Urusan Ekonomi Kementerian Keuangan Ajay Seth (kiri) setelah pertemuan Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 di Bengaluru, India, 25 Februari 2023.
BENGALURU, SABTU — Pertemuan Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 di Bengaluru, India, gagal mengadopsi komunike bersama. China dan Rusia menolak bersepakat karena keberatan terhadap konten tentang perang Ukraina dalam komunike bersama tersebut.
Rusia menuding dan menyesalkan sikap Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara-negara anggota G7 yang mengganggu jalannya pertemuan dengan memaksa memasukkan isu perang Ukraina dalam pernyataan bersama.
Sementara AS dan sekutunya menegaskan bahasa dalam setiap pernyataan bersama tidak boleh lebih lemah dari komunike yang sudah dikeluarkan di Bali. ”Perang ini penyebabnya hanya satu, yakni Rusia dan Vladimir Putin. Itu harus diungkapkan dengan jelas pada pertemuan G20 ini,” kata Menteri Keuangan Jerman Christian Lindner.
Setelah tidak ada pernyataan akhir yang disepakati, Sabtu (25/2/2023), presiden G20 yang kini dipegang India mengeluarkan ringkasan catatan.
Pejabat senior India, Ajay Seth, mengatakan, perwakilan China dan Rusia tidak mau menandatangani pernyataan yang membawa-bawa persoalan perang Ukraina. Alasannya, mandat yang mereka terima adalah khusus menangani soal ekonomi dan keuangan.
”Sementara semua negara anggota yang lain merasa perang itu justru sudah berimplikasi pada ekonomi global,” ujarnya.
Akibat tidak ada titik temu, India selaku pemegang presidensi G20 tahun ini mengeluarkan chair’s summary atau ringkasan ketua, Sabtu (25/2/2023). Disebutkan, ”sebagian besar anggota mengecam keras perang di Ukraina dan menyebabkan penderitaan manusia luar biasa serta memperburuk kerentanan yang ada dalam ekonomi global”. Ada pula disebutkan, ”penilaian yang berbeda tentang situasi dan sanksi” terhadap Rusia.
MANJUNATH KIRAN
Delegasi Korea Selatan berpose setelah pertemuan Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 di Bengaluru, India, 25 Februari 2023.
Persoalan tidak adanya kesepakatan bulat dalam dokumen-dokumen G20 seperti yang terjadi di India ini sudah terjadi sejak 2022. Akarnya adalah polarisasi akibat perang Ukraina.
Di satu kubu ada AS dan negara-negara G7 yang selalu berusaha mengkritik Rusia di forum-forum G20. Di kubu lainnya ada Rusia selalu meresponsnya dengan keras pula. Posisi China biasanya lebih dekat ke Rusia. Sementara negara-negara lainnya mengambil posisi di tengah.
Sepanjang proses Presidensi G20 Indonesia 2022, banyak dokumen tidak mendapat kesepakatan bulat. Deklarasi Pemimpin G20 pada Konferensi Tingkat Tinggi di Bali, November 2022, misalnya, menyebutkan, ”disetujui oleh semua negara, anggota kecuali Rusia dan China”.
Hal sama juga terjadi selama rangkaian Pertemuan Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 selama 2022. Indonesia sebagai pimpinan mengambil jalan tengah dengan mengeluarkan ringkasan ketua alias chair’s summary.
-
Foto yang dirilis oleh Biro Informasi Pers India per 23 Februari 2023 menunjukkan (kiri ke kanan) Managing Director IMF Kristalina Georgieva, Menteri Keuangan India Nirmala Sitharaman, dan Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati pada simposium tentang Infrastruktur Publik Digital di sela-sela pertemuan Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 di Bengaluru, India.
Seperti halnya China, India yang memegang presidensi G20 2023 juga menolak mengecam Rusia. Rusia adalah mitra tradisional India yang menjadi pemasok senjata terbesar untuk India dan menjadi pemasok minyak utama bagi India sejak invasi Rusia ke Ukraina.
India enggan mengangkat isu perang, tetapi negara-negara Barat bersikeras menyatakan mereka juga tidak bisa mendukung hasil apa pun yang tidak memasukkan kecaman terhadap perang. Akibat buntu, India hanya mengeluarkan catatan ringkasan dan dokumentasi hasil pembicaraan.
Di dalam catatan ringkasan India itu juga disebutkan, prospek ekonomi global sudah sedikit membaik meskipun pertumbuhan secara keseluruhan tetap lambat. Risiko juga tetap ada, termasuk peningkatan inflasi, kebangkitan kembali pandemi, dan menumpuknya utang di banyak negara miskin.
Mengenai perubahan iklim, laporan ini menekankan pentingnya memenuhi komitmen ”secepat mungkin” yang dibuat oleh negara-negara maju untuk memobilisasi 100 miliar dollar AS pendanaan iklim setiap tahun hingga 2025 untuk negara-negara yang lebih miskin.
MEDIA CENTER G20 INDONESIA/ZABUR KARURU
Presiden Joko Widodo (tengah) menyerahkan presidensi G20 ke Perdana Menteri India Narendra Modi (kiri) pada penutupan Sesi Kerja 3 Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Nusa Dua, Bali, Rabu (16/11/2022).
Pertemuan itu juga mengangkat soal keringanan utang bagi negara-negara miskin yang dilanda inflasi akibat perang. Dalam isu ini, terjadi perbedaan antara China dan Barat tentang skema penyediaannya.
Negara-negara Barat ingin China memotong pinjaman negara-negara yang dilanda utang, Namun, Beijing mengatakan, kreditur multilateral, termasuk Bank Dunia, juga harus melakukannya.
Meskipun tidak ada yang kami sebut komunike dan hanya pernyataan hasil, kami tetap berpikir kami telah membuat kemajuan dalam melibatkan semua menteri.
”Meskipun tidak ada yang kami sebut komunike dan hanya pernyataan hasil, kami tetap berpikir kami telah membuat kemajuan dalam melibatkan semua menteri,” kata Menteri Keuangan India Nirmala Sitharaman.
Kepala Dana Moneter Internasional Kristalina Georgieva menilai pertemuan ini berjalan baik karena India berfokus pada masalah yang benar-benar penting, seperti inflasi dan utang. Topik lain yang dibahas antara lain pajak global pada raksasa teknologi, serta memperluas kewenangan bank pembangunan multilateral seperti Bank Dunia untuk membantu negara-negara yang terkenda dampak perubahan iklim dan mata uang kripto. (REUTERS/AFP)