Di Bawah Panji St Vladimir
Ukraina menjadi medan pertarungan kepentingan antara Rusia dan Amerika Serikat-NATO. Rusia mengklaim mobilisasi militernya adalah pertahanan diri. Barat punya agendanya sendiri.
Foto satelit yang memperlihatkan pergerakan artileri berat militer Rusia ke perbatasan Rusia-Ukraina memancing reaksi Amerika Serikat (AS) dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara alias NATO. Tak hanya peralatan tempur berat, Kremlin mengirimkan sedikitnya 39 Grup Batalion Taktis yang terdiri dari 114.000 tentara ke perbatasan Rusia-Ukraina. Bahkan Intelijen AS memperkirakan, Kremlin bisa menambah kehadiran pasukannya di perbatasan hingga dua kali lipat atau setidaknya 175.000 tentara.
Oleh AS dan NATO, peningkatan kegiatan militer Rusia di perbatasan itu dipandang sebagai persiapan invasi ke Ukraina. Jika invasi sampai terjadi, AS dan NATO mengancam akan membuat Rusia membayar mahal atas tindakannya itu. Menteri Luar Negeri (menlu) AS Antony Blinken memperingatkan Kremlin bahwa AS dan NATO akan melakukan repson balik jika invasi dilancarkan.
Baca juga : Soal Ukraina, AS-Rusia Tegang Lagi
Sementara Kremlin memiliki perspektif lain. Presiden Rusia Vladimir Putin, saat menerima kredensial beberapa duta besar negara asing di Moskwa, awal Desember 2021, menyatakan, Rusia telah berulang kali mengingatkan soal ekspansi NATO ke timur. “Kami bersikeras melarang ekspansi NATO lebih lanjut ke timur dan penempatan sistem senjatanya di sana, di sekitar wilayah Rusia,” kata Putin.
Duta Besar Rusia untuk AS Anatoly Antonov mengamplifikasi pernyataan Putin. “Situasinya sangat berbahaya. Tak seorang pun bisa meragukan tekad kami untuk mempertahankan keamanan Rusia dan wilayahnya. Semua ada batasnya. Kami telah sampai pada titik di mana kami tidak memiliki ruang untuk mundur. Ekspansi NATO ke Ukraina merupakan ancaman eksistensial bagi Rusia,” kata Antonov.
Putin menilai, tindakan NATO melebarkan sayap hingga ke timur, termasuk ke Ukraina dan Georgia, sebagai tindakan yang tidak dapat diterima. Sejak bubarnya Uni Soviet dan kemunculan negara-negara kecil eks Uni Soviet, Rusia telah menyaksikan beberapa kali upaya NATO atau negara-negara Eropa merayu negara-negara eks Uni Soviet untuk bergabung dengan pakta militer itu.
Hasilnya, NATO pada 2004 menambah tujuh anggota baru, termasuk bekas negara satelit Uni Soviet, yaitu Estonia, Latvia, dan Lituania. Pada 2008, ketika NATO berniat membawa Ukraina dan Georgia untuk bergabung dengan NATO, Putin menyatakan, langkah itu merupakan tindakan permusuhan terhadap Rusia.
Rusia juga menyaksikan aktivitas militer NATO meningkat dalam beberapa tahun terakhir, termasuk puluhan latihan militer besar-besaran setiap tahun di dekat wilayah Rusia. Dalam catatan pemerintah dan militer Rusia, ini termasuk peningkatan penerbangan pesawat-pesawat tempur AS dan NATO hingga aktivitas angkatan laut di sekitar kawasan Laut Hitam dan Baltik.
Baca juga : AS Dukung Penuh Ukraina
Ukraina, dalam catatan Council on Foreign Relations (CFR) menjadi negara yang paling banyak mendapat sokongan dana dari AS. Nilainya lebih dari 200 juta dollar AS per tahun. Bahkan, beberapa tahun terakhir, AS menggandakannya hingga tiga kali lipat, termasuk untuk bantuan pengembangan kapasitas serta peralatan militer, mulai dari pelatihan hingga penambahan perlengkapan militer. Contohnya penembak jitu, peluncur granat, peralatan night-vision, radar, rudal anti-tank javelin, dan kapal patroli.
“Penempatan sistem persenjataan AS dan NATO di Ukraina telah meningkatkan ancaman terhadap keamanan Rusia karena sistem persenjataan itu bisa dikerahkan dan diarahkan dari sana dengan waktu yang sangat singkat kepada kami. Juga aktivitas untuk destabilitasi bisa dilakukan dari sana,” kata Antonov, dikutip dari laman Foreign Policy.
Sementara, Pemerintah Ukraina menegaskan kembali keinginannya untuk mendapatkan status keanggotaan penuh NATO. Pada 2020, Ukraina menjadi salah satu enam mitra yang memiliki peluang statusnya ditingkatkan, bersama Australia.
Menlu Ukraina Dmytro Kuleba, dikutip dari laman Atlantic Council, menggarisbawahi bahwa Ukraina adalah bagian dari Barat. “Kedekatan geografis negara dengan Rusia tidak boleh membatasi strategi Washington atau Brussel,” katanya.
Baca juga : G-7 Rapatkan Barisan untuk Hadapi Rusia
Eugene Rumer dan Andrew S. Weiss dari Carnegie Endowment for International Peace, berpendapat, mobilisasi ratusan ribu tentara ke perbatasan Ukraina menunjukkan bahwa Rusia ingin memperlihatkan bahwa negeri Beruang Merah itu bisa menghancurkan negara itu sewaktu-waktu. “AS maupun Eropa tidak akan bisa berbuat apa-apa,” kata keduanya.
Rumer dan Weiss mengatakan, sebagai orang yang telah berkuasa di Russia lebih dari satu dekae, Putin memiliki keyakinan bahwa perhitungannya kali ini tidak salah. Aneksasi Krimea, yang dipandang ilegal oleh AS dan sekutunya, dalam pandangan Putin adalah rekam jejak dan tinta emas yang ditorehkannya sebagai penguasa Rusia pertama setelah Joseph Stalin yang bisa memperluas wilayah teritorial Rusia. “Ini sifatnya strategis dan sangat pribadi,” kata keduanya.
Putin, dalam tulisannya sepanjang hampir 7.000 kata yang diunggah di laman resmi Kepresidenan Rusia, 12 Juli 2021, menyebut bahwa pada rakyat Rusia, Ukraina, dan Belarusia mengalir satu darah yang sama, yaitu Rus Kuno, yang merupakan negara terbesar di Eropa. Bangsa penghuni Slavia dan suku lain yang tinggal di wilayah yang luas, mulai dari Ladoga, Novgorod, hingga Pskov dan Kiev, terikat bersama dalam satu bahasa, yaitu Rusia kuno.
“Ikatan ekonomi, aturan para pangeran dari Dinasti Rurik, iman Ortodoks, pilihan spiritual yang dilakukan St Vladimir – seorang Pangeran Novgorod dan Pangeran Agung Kiev, masih menentukan kedekatan kita hari ini,” tulis Putin.
Baca juga : Biden-Putin Saling Lontarkan Peringatan, Berharap Diplomasi Beri Solusi
Putin pun mengutip perkataan Pangeran Oleg dari Novgorod dalam The Primary Chronicles tentang Kiev. “Biarkan itu (Kiev) menjadi ibu dari semua kota Rusia,” kata Putin.
Putin juga menegaskan, bahwa Rusia tidak akan pernah membiarkan wilayah yang memiliki kedekatan sejarah dengan mereka digunakan untuk melawan Rusia. Secara tersirat Putin mengancam bahwa para pihak yang bermain di Ukraina, akan menghancurkan diri sendiri. “Bersama-sama (dengan Rusia), kita selalu dan akan berkali-kali lebih kuat dan lebih sukses karena kita adalah satu,” sebut Putin.
Fokus Putin pada Ukraina selama satu tahun terakhir dinilai banyak orang sebagai caranya untuk mempertahankan kedekatan dan pengaruhnya di negara itu sekalipun data memperlihatkan bahwa ketergantungan Rusia atas Ukraina semakin kecil. Sebelum jalur pipa gas Nord Stream 1 yang menghubungkan Rusia dan Eropa secara langsung, 80 persen pengiriman gas alam Rusia transit di Ukraina, Polandia, dan sekitarnya.
Ukraina mendapatkan dana besar dari hasil penggunaan wilayahnya sebagai lintasan ekspor gas alam Rusia ke Eropa. Namun, situasi berubah ketika jalur pipa gas Nord Stream 1 terhubung. Ketergantungan Rusia terhadap Ukraina sebagai wilayah perlintasan pengiriman gas alam jauh berkurang. Pada 2019 saja, hanya 45 persen pengiriman gas alam Rusia ke Eropa yang masih melewati wilayah Ukraina, berkurang separuhnya.
Baca juga : Washington Restui Proyek Pipa Gas Rusia, Ukraina Marah pada AS-Jerman
Pengembangan jalur baru, Nord Stream 2 yang membentang sepanjang 1.200 kilometer dari Rusia ke Jerman dan beberapa negara Eropa, oleh Gazprom, badan usaha milik negara (BUMN) Rusia, membuat ketergantungan Rusia terhadap Ukraina semakin kecil.
Di saat yang sama, Rusia tidak lagi banyak mengekspor barang ke Ukraina. Pada pertengahan era 1990-an, Rusia menjadi pemasok terbesar barang-barang ke Ukraina. Namun, angka ini terus berkurang. Beberapa tahun belakangan, Rusia bukan lagi pemain besar dalam perekonomian Ukraina. Jerman dan China mengambil alih peran itu.
Dalam catatan Kongres AS, separuh negara-negara di Eropa menggantungkan pasokan gas dari Nord Stream. Pada 2021, ekspor gas Rusia ke Eropa meningkat hingga 18 persen. Salah satu konsumennya adalah Jerman yang akhir 2021 memutuskan menutup tiga pembangkit listrik tenaga nuklirnya dan beralih menggunakan gas yang diimpor dari Rusia.
Mantan Kanselir Jerman Angela Merkel dan Kanselir Jerman saat ini Olaf Scholz mendukung pembangunan Nord Stream. Namun meski pembangunan telah selesai per September 2021, jalur itu belum bisa digunakan sebelum ada persetujuan dan sertifikasi dari otoritas di Jerman.
Regulator energi Jerman mengumumkan penangguhan itu menunggu pendirian anak perusahan untuk menjalankan kegiatan di wilayah Jerman. Menurut analis, sertifikasi bisa selesai pada Maret atau paling lama Juni tahun ini.
Baca juga : Jerman Tutup Tiga PLTN, Ketergantungan pada Pasokan Gas Rusia Bakal Membesar
Wakil Juru Bicara Pemerintah Jerman Wolfgang Buechner, membantah penundaan pemberian sertifikat memiliki motif politik terkait masalah Ukraina. Dikutip dari laman ABC News, Buechner mengatakan, jalur itu adalah milik swasta dan sebagian besar sudah selesai pengerjaannya.
Olier Rolofs, seorang analis keamanan dan energi Jerman, dikutip dari laman DW, mengatakan, tindakan Jerman untuk menunda sertifikasi jaringan pipa Nord Stream 2 sudah tepat. Tindakan itu mengirim pesan tegas dan kuat bahwa taktik intimidasi Rusia tidak akan dibiarkan begitu saja. Namun negara-negara besar UE, seperti Jerman dan Perancis harus berbuat lebih. Di antaranya dengan menggunakan regulasi untuk menekan Rusia dan tidak meninggalkan Ukraina berjuang sendirian.
Dua menara pendingin yang ada di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Grohnde, , Jerman, Jumat (29/12/2021), mengeluarkan uap air ke udara. Pemerintah Jerman merencanakan menutup tiga lagi pada akhir 2022 dan memutuskan transisi ke energi bersih menggunakan gas yang dipasok oleh Rusia. (Julian Stratenschulte/dpa via AP)Satu dekade terakhir, Rusia fokus mengembangkan perannya sebagai pemasok gas bagi negara-negara Eropa. Adanya jalur pipa Nord Stream 2 yang sempat ditentang oleh AS, memperlancar pasokan gas, sumber energi yang dipandang banyak negara Eropa lebih bersih dibanding sumber energi yang berasal dari fosil (fossil fuel).
Meningkatnya pasokan gas Rusia dari 55 miliar kaki kubik (BCM) menjadi 110 BCM menjadi modal bagi negara-negara Eropa yang tengah menginisiasi percepatan penggunaan sumber energi bersih dan mulai mengurangi penggunaan minyak guna mengurangi emisi karbon serta mencegah pemanasan global.
Baca juga : Langkah Dunia Atasi Dampak Perubahan Iklim di 2022
Luka perang di Krimea yang masih membekas dalam diri rakyat Ukraina, yang telah mengakibatkan 14.000 warga tewas dan jutaan mengungsi, sepertinya harus menjadi perhitungan AS dan sekutunya untuk mengatasi situasi saat ini. Belum lagi kemungkinan dampak ekonomi terhentinya pasokan gas ke separuh negara Eropa, tampaknya harus dipikirkan matang-matang saat AS dan Rusia berbicara pekan ini.
Di tengah pandemi yang belum ketahuan kapan akan berakhir, perang akan memberikan efek buruk jangka panjang yang lebih dahsyat, tidak hanya pada para pihak, tapi masyarakat internasional yang tengah berjuang untuk pulih dari sakitnya.