Serangan Rudal Ukraina, Rusia Salahkan Prajurit Pakai Ponsel Tanpa Izin
Serangan rudal Ukraina di Makiivka menewaskan 89 prajurit Rusia. Sinyal telepon dituding menjadi biang kerok pembocor lokasi.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
MOSKWA, RABU — Kementerian Pertahanan Rusia menyalahkan pemakaian telepon genggam tanpa izin oleh para tentara sebagai penyebab serangan rudal Ukraina ke markas Rusia di Makiivka. Jumlah korban tewas mencapai 89 orang. Dugaannya, selain keberadaan mereka terlacak melalui sinyal telepon, banyak korban yang berkumpul di dekat gudang penyimpanan amunisi.
”Penyelidikan mengenai penyebab serangan masih diselidiki. Akan tetapi, sudah jelas penyebab utama markas bisa diserang ialah akibat penggunaan telepon genggam secara beramai-ramai oleh tentara kita sendiri,” kata Letnan Jenderal Sergei Sevryukov ketika menyampaikan keterangan resmi dari Kementerian Pertahanan Rusia, Selasa (3/1/2023) malam waktu setempat atau Rabu (4/1/2023) waktu Indonesia.
Servyukov menjelaskan, Ukraina menyerang dengan menembakkan rudal dari sistem roket artileri bermobilitas tinggi (HIMAR) yang merupakan bantuan dari Amerika Serikat. HIMAR bisa menentukan posisi target dengan melacak sinyal telepon genggam dan pemakaian internet.
Serangan terjadi pada hari Minggu (1/1) pukul 12.01. Hingga Senin (2/1), Rusia menghitung ada 63 korban tewas. Setelah itu, mereka menemukan lebih banyak korban yang jenazahnya tertimbun meja dan kursi. Jumlah total korban tewas menjadi 89 orang.
Presiden Rusia Vladimir Putin belum memberi pernyataan mengenai serangan itu. Dilansir dari kantor berita Interfax, Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan, Putin berencana menelepon Presiden Turki Reccep Tayyip Erdogan. Turki merupakan mediator utama bersama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memastikan kelancaran keran ekspor gandum dan pupuk dari Rusia dan Ukraina.
Dalam taklimat rutin setiap malam, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy tidak menyinggung serangan ke Makiivka secara spesifik. Ia menekankan pidatonya kepada situasi garis depan di Bakhmut yang sangat serius. Ukraina memperkirakan Rusia akan melancarkan serangan yang lebih besar lagi.
”Kremlin akan mengerahkan segala cara demi menunda kekalahan mereka dan kita pastikan bahwa Ukraina selalu siap menghadapi mereka,” tuturnya. Ukraina baru memperoleh bantuan dari Inggris setelah Perdana Menteri Rishi Sunak memastikan mengirim 1.000 rudal antipesawat tempur ke Kyiv.
Profesionalisme
Purnawirawan perwira militer AS, Letnan Jenderal Ben Hodges, menerangkan kepada harian The Wall Street Journal bahwa pemakaian telepon genggam ini adalah kesalahan berulang. Hodges dulu bertugas sebagai pemimpin pasukan AS di Eropa dan sekarang menjadi pengamat militer. Ia mengatakan, pada Maret 2022, tentara Ukraina melakukan kesalahan tersebut di markas mereka di Yavoriv. Sinyal mereka dilacak oleh Rusia dan 35 tentara Ukraina tewas terkena rudal.
Sebelum peristiwa di Makiivka, insiden pemakaian telepon genggam tanpa izin juga terjadi oleh pasukan Rusia di Sahy, Kherson. Mereka bermarkas di sebuah gedung bekas klub janapada. Beberapa tentara tanpa sepengetahuan atasan berswafoto dan mengunggah ke media sosial Telegram. Pasukan Ukraina melihat unggahan itu dan mengenali gedung janapada tersebut sehingga melancarkan serangan.
”Permasalahannya, militer Rusia tidak pernah belajar dari kesalahan. Ini pola sejak zaman Soviet. Mereka hanya mematuhi perintah atasan, tetapi tidak memiliki perencanaan teknis misi maupun formasi yang baik. Bahkan, pengelolaan barak maupun logistik di setiap markas tidak sistematis karena penugasan per tentara tidak jelas. Sudah diketahui bahwa di barak tentara banyak yang nongkrong,” kata Hodges.
Peneliti militer Rusia dan Eropa Timur untuk Institut Egmont, Belgia, Joris van Bladen, menulis buku berjudul The Unprofessional Russian Soldiers yang terbit pada Mei 2022. Ia memaparkan, per tahun 2022, militer Rusia terdiri atas 220.000 tentara dari wajib militer dan 430.000 serdadu kontrak profesional. Pola yang dipakai ialah mengutamakan skala dan jumlah dibandingkan pengembangan sumber daya manusia.
”Jumlah tentara ini terlalu banyak untuk dilatih secara saksama karena kapasitas institusi Rusia belum memadai. Akan tetapi, jumlah tentara itu juga belum mencukupi kebutuhan negara sebesar dan seambisius Rusia. Pada dasarnya, militer Rusia masih dalam tahap tumbuh kembang, tetapi tidak menekankan kepada isu-isu substantif,” tulis Van Bladen.
Ia juga menjelaskan, pandangan militer Rusia masih tradisional, yaitu menoleransi kekalahan dan mengizinkan pemakaian kekerasan brutal. Contoh-contohnya bisa dilihat dari penghancuran kota Mariupol dan pembantaian warga di Bucha. Ini adalah metode-metode perang yang sesungguhnya tidak diizinkan lagi dalam konflik bersenjata modern.
”Di perang ini kita melihat kuncinya bukan di jumlah tentara dan persenjataan karena Rusia dan Ukraina sama-sama memilikinya. Kuncinya adalah budaya kelembagaan militer yang fokus kepada komando misi, bukan sekadar menuruti perintah dari pusat,” kata Van Bladen. (AFP/Reuters)