Analisis Litbang "Kompas" : Membaca Pergeseran Geopolitik Global di 2023
Dunia mengalami pergeseran geopolitik yang bisa mengguncang status quo yang telah terbangun pasca usainya perang dingin di dekade akhir abad ke-20. Bagaimana proyeksi di tahun 2023?

Masih berlarutnya konflik Rusia-Ukraina menjadi pertanda bahwa situasi geopolitik di 2023 akan bergejolak. Instabilitas ini bahkan berpotensi menjalar, hingga menjamah Laut Aegea dan Pegunungan Himalaya.
Di tengah karut marut ini, China terus membangun momentum untuk menggeser posisi Amerika Serikat yang sebelumnya selalu mendominasi panggung global.
Memasuki minggu kedua Desember 2022, perdamaian antara Rusia dan Ukraina masih belum nampak hilalnya. Alih-alih mereda, konflik antara dua “saudara” itu justru makin meruncing.
Secara umum, pertempuran yang intens memang terpusat di kawasan Timur Ukraina, seperti Donetsk dan Luhansk. Namun, pada Kamis (14/12), walau akhirnya berhasil ditumbangkan, terjadi serangan dari koalisi Iran dan Russia yang mengenai Shevchenkivskyi, kota yang terletak di Provinsi Kiev.
Agresi Rusia terhadap Ukraina ini semakin menyiksa seiring dengan datangnya musim dingin. Bukan hanya menimbulkan korban jiwa dan luka-luka, serangan dari Rusia ini juga melumpuhkan infrastruktur di negara tersebut, termasuk juga infrastruktur listrik. Dengan lumpuhnya jaringan listrik dan pemanas suhu, kedinginan menjadi ancaman nyata bagi masyarakat Ukraina.
Baca juga : Analisis Litbang ”Kompas”: Diplomasi Olahraga dan Geopolitik Piala Dunia 2022
Resolusi dan eskalasi
Masih tegangnya Rusia dan Ukraina ini bisa menjadi pertanda bahwa konflik masih akan mewarnai panggung geopolitik global di 2023. Berdasarkan preseden sebelumnya, konflik Rusia-Ukraina memang berlangsung selama sekitar satu tahun. Pada kasus aneksasi Crimea oleh Rusia di 2014 silam, kedua negara sepakat “berdamai” setelah bertempur selama Februari 2014 hingga Februari 2015.
Selain konflik ini, masih ada juga potensi ketegangan yang perlu untuk diperhatikan di 2023. Potensi konflik pertama yang makin memanas di 2023 adalah gesekan antara Turki dan Yunani.
Pada Senin (12/12), Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengancam rudal bikinan Turki Taifun bisa dengan mudah mendarat di Athena, ibukota Yunani. Ujaran Erdogan ini ditanggapi sebagai ancaman serius terhadap keamanan negara oleh Menteri Pertahanan Yunani Nikos Dendias.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, muncul pula kabar soal ketegangan di kawasan Himalaya. Pada Selasa (13/12), pasukan China dan India terlibat saling serang di sektor utara Arunachal Pradesh, wilayah perbatasan kedua negara tersebut.
Walau tidak menyebabkan korban jiwa, insiden antara dua negara adidaya dengan kekuatan militer besar yang dilengkapi persenjataan nuklir ini tidak boleh tereskalasi hingga konflik terbuka.
Gesekan dan insiden yang terjadi selama 2022 ini memukul mundur agenda normalisasi hubungan yang sebelumnya telah diupayakan. Misalnya, setelah insiden pada 2020, insiden di Himalaya menggugurkan upaya China dan India yang telah sama-sama sepakat untuk menurunkan tensi. Salah satunya adalah dengan secara reguler melakukan patrol perbatasan bersama-sama.
Lebih lanjut, ketegangan antara Yunani dan Turki ini pun bisa memantik keretakan pada tubuh NATO. Terganggunya soliditas ini akan menjadi ganjalan besar dalam upaya koalisi militer tersebut untuk membantu mencari jalan keluar dari konflik Rusia-Ukraina.

Anggota batalyon kavaleri Ukraina di salah satu palagan depan perang Rusia-Ukraina pada awal Juli 2022. Hampir 10.000 unit tank dan aneka kendaraan tempur lapis baja hancur dalam perang yang meletus sejak 24 Februari 2022 itu. Sampai 8 Juli 2022, belum ada tanda-tanda perang akan berhenti.
Jika diperhatikan, beberapa ketegangan yang terjadi di tahun ini tidak terjadi dalam semalam, melainkan sisa-sisa dari konflik pada tahun-tahun sebelumnya yang belum tuntas.
Ketegangan antara Yunani dan Turki, misalnya, sudah menjadi api dalam sekam sejak medio 1990-an. Titik panas dari konfliknya pun masih sama, di kawasan Laut Aegea, di mana saat ini Turki menuduh Yunani tengah melakukan proses militarisasi kepulauan di dalam kawasan tersebut.
Selaras, insiden yang terjadi antara India dan China juga bukan yang kali pertama. Pada dua tahun silam, terjadi saling serang antara tentara kedua negara tersebut di kawasan yang sama dan menyebabkan 24 tentara tewas. Jika ditarik lebih jauh, gesekan antar kedua negara ini sudah terjadi, bahkan sejak pertengahan Abad ke-20.
Baca juga : Faktor Geopolitik dan Resesi Global 2023
Pergeseran geopolitik
Di luar beberapa ketegangan di atas, masih ada lagi ancaman yang nampak laten. Ancaman yang belum terlalu nampak ini bisa berdampak lebih besar dari insiden yang di titik-titik yang telah lama panas. Bahkan, ancaman ini juga bisa menggeser geopolitik global yang kini tengah mengalami momentum perubahan.
Salah satu sumber dari ancaman ini adalah kehadiran militer dari China. Hal ini tercermin dari pengeluaran militer China yang besar. Pada 2021, China menjadi negara dengan pengeluaran militer terbesar di dunia dengan nilai sebanyak 230 miliar Dollar AS. Angka tersebut membuat China berada di posisi kedua setelah AS yang saat itu mengeluarkan 770 miliar Dollar AS untuk belanja militer.
Dengan pengeluaran tersebut, China menjadi bagian dari negara dengan kekuatan militer yang mumpuni. Jika dibandingkan, pengeluaran China ini jauh lebih besar dari beberapa negara yang secara tradisional dianggap digdaya secara militer seperti Rusia (154 miliar Dollar AS), Inggris (68 miliar Dollar AS) dan Jerman (50 miliar Dollar AS).

Negeri “Tirai Bambu” ini tidak malu-malu dengan ambisinya tersebut. Tak jarang, Presiden sekaligus pemimpin Partai Komunis China Xi Jinping menyampaikan visi 2049. Rencana ini menargetkan China dan dirinya sebagai pemimpin dunia pada 2049 mendatang.
Ambisi besar ini bukan tanpa resiko, baik bagi China maupun dunia internasional. Salah satu resikonya adalah terkait agenda “reunifikasi” yang menunjukkan hasrat China untuk mencaplok Hong Kong, Macau dan Taiwan sebagai bagian dari negaranya secara utuh. Tak menutup kemungkinan, agenda ini juga akan mencakup pengakuan secara absolut kawasan Laut China Selatan.
Bagi Macau dan Hong Kong, meski tetap mendapat perlawanan yang cukup sengit dari Gerakan Payung, rencana ini mungkin sudah menjadi keniscayaan. Namun, agresi di Taiwan dan Laut China Selatan akan menjadi petaka baru di panggung global.
Sebagai mitra strategi AS dan blok barat, aneksasi Taiwan akan berujung pada pertempuran sengit yang mungkin tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Ukraina saat ini. Selain itu, AS dan sekutunya tidak akan membiarkan China mendominasi Laut China Selatan, mengingat seberapa strategis kawasan tersebut.
Tak heran, selain kekuatan militer, China juga butuh banyak dukungan politik dari komunitas internasional. Setelah sebelumnya bisa menjalin hubungan mesra dengan negara yang tak sepaham dengan blok barat seperti Rusia, kini China mulai melebarkan pengaruhnya ke Timur Tengah.

Bangunan penampung hasil panen yang hancur terkena rudal di Okhtyrka
Hal ini nampak dari perjanjian bilateral yang baru saja diteken oleh pangeran mahkota Arab Saudi Mohammed Bin Salman dengan Xi Jinping minggu lalu.
Disamping dengan Arab Saudi, sebelumnya China juga sudah menjalin kerja sama ekonomi jangka panjang dengan beberapa negara termasuk Iran, Moroko dan Suriah.
Ditambah lagi, China menjadi rekan perdagangan terbesar negara-negara Arab saat ini. Pada 2021 lalu, nilai perdagangan China di kawasan ini berkisar di angka 300 miliar Dollar AS. Langkah diplomasi ekonomi China ini, diakui atau tidak, semakin menggeser posisi AS yang pasca peristiwa 9/11 mendominasi kawasan tersebut.
Pergeseran geopolitik ini bisa mengguncang status quo yang telah terbangun pasca usainya perang dingin di dekade akhir abad ke-20. Untuk mewujudkan agendanya, China kemungkinan besar akan terus menjaga momentumnya, terutama melalui agenda ekonomi seperti inisiatif jalur sabuk (BRI).
Namun, upaya ini tentu akan mendapat perlawanan dari Washington dan sekutunya. Selain itu, China juga tetap harus menghadapi tantangan stabilitas politik internal yang mulai memanas di penghujung 2022 ini. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Merajut Kerja Sama di Tengah Rivalitas