Liburan Natal dan Tahun Baru mestinya menjanjikan situasi rekreatif. Namun, bagi sebagian warga Amerika Serikat dan Eropa, ada kekhawatiran. Sebagian karena komersialisasi, sebagian lagi karena tekanan ekonomi.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
ML
Warga mengenakan masker saat berbelanja kebutuhan Natal di New York, Kamis (10/12/2020). AP/ Mark Lennihan
Libur Natal dan Tahun Baru mestinya membawa kebahagiaan. Beragam kegiatan, terutama bersama keluarga, menjadi hal yang selalu dirindukan. Namun dalam beberapa tahun terakhir, bagi sebagian masyarakat Amerika Serikat, liburan malah mendatangkan tekanan mental. Sebab, komersialisasi besar-besaran ikut menggeser pola pikir masyarakat tentang libur Natal dan Tahun Baru.
Setiap tahun, Asosiasi Psikiatri Amerika Serikat (APA) mengeluarkan hasil survei menjelang Natal dan Tahun Baru. Survei pada 2022 mengungkap, 31 persen orang dewasa merasa tertekan menghadapi hari raya. Hasil survei yang diterbitkan di laman Psychiatry.org ini tidak banyak berubah dari tahun ke tahun. Rata-rata, orang dewasa di AS mengalami kenaikan tingkat stres lima kali lipat sebelum Nataru.
“Selama (survei) 2020-2021, tingkat stres yang mendominasi ialah takut ketularan Covid-19 jika ada acara kumpul-kumpul keluarga atau ibadah bersama,” kata Ketua APA Rebecca Brendel.
Pada surivei 2022, stres karena khawatir harus mengeluarkan banyak uang guna membeli kado untuk anggota keluarga dan orang-orang terdekat menempati peringkat pertama. Kekhawatiran berikutnya adalah perasaan harus membeli banyak makanan untuk hidangan hari raya.
Ada pula responden yang mengaku cemas bertemu dengan kerabat karena tidak suka ditanyai mengenai kehidupan pribadi. Di kelompok pekerja sektor esensial, tenaga kesehatan memiliki tingkat stres paling tinggi karena tahu mereka akan lembur setiap kali tanggal merah.
Tingkat stres paling tinggi adalah di kalangan dewasa muda, yaitu responden berusia 18-34 tahun. Umumnya, pendapatan mereka kurang dari 50.000 dollar Amerika Serikat (AS) per tahun. Situasi keuangan mereka belum membaik karena begitu pandemi Covid-19 menurun, tekanan ekonomi ternyata masih berlanjut. Ini antara lain akibat komplikasi perang di Ukraina. Responden ini mengaku stres karena harus menghabiskan pendapatan mereka yang tidak seberapa hanya untuk kurun waktu satu pekan.
AP PHOTO/MAHESH KUMAR
School children dressed as angels and Santa participate in a procession marking Christmas celebrations in Hyderabad, India, Tuesday, Dec. 13, 2022. (AP Photo/Mahesh Kumar A.) Siswa sekolah yang berpakaian seperti malaikat dan Sinterklas mengikuti prosesi perayaan Natal di Hyderabad, India, Selasa (13/12/2022).
Lebih tinggi
“Sebenarnya, ketika kami melakukan wawancara lebih mendalam dengan para responden, kebanyakan mereka mematok standar perayaan Natal ataupun acara Tahun Baru yang lebih tinggi dibandingkan kemampuan (keuangan) masing-masing,” kata Brendel.
Tekanan ekonomi masih terasa kuat di AS. Media lokal Dallas Morning News melaporkan bahwa harga barang-barang melonjak drastis. Sejumlah toko retail berusaha menggaet pembeli dengan memberi harga diskon besar-besaran meskipun membuat mereka rugi. Akan tetapi, pembeli tetap saja tidak mau belanja.
Direktur Perilaku Kesehatan Masyarakat di klinik HHM Health di Dallas, Negara Bagian Texas, JJ Larson, mengatakan, kliniknya menerima banyak permintaan konsultasi dari publik. Baik pengusaha maupun pembeli sama-sama tertekan karena tak ada pemasukan selama pandemi Covid-19. Situasi sekarang pun sama sulitnya karena harga berbagai barang tinggi. Mereka semua mengaku bahwa Natal tidak akan sama tanpa kemeriahan seperti tahun-tahun sebelumnya.
“Benang merah dari aduan publik ini adalah makna libur Natal dan Tahun Baru sudah terlalu tercemar komersialisasi. Mereka menginginkan perayaan yang dipromosikan oleh iklan, walaupun situasi sekarang tidak memungkinkan,” tutur Larson.
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Suasana Pasar Natal - Suasana PAsar Natal di Erfurt, Jerman, Selasa (12/12). Pasar Natal menjadi salah satu andalan pemerintah Jerman untuk menarik wisatawan datang berkunjung setoap tahunnya.KOMPAS/DAHLIA IRAWATI2017-12-13
Menurut Larson, ia mengajak para kliennya untuk bercermin kembali mengenai makna Natal dan Tahun Baru. Intinya adalah kebersamaan dengan keluarga, kerabat, dan teman-teman. Bagi mereka yang memilih sendiri, libur ini adalah waktu untuk menyegarkan kembali pemikiran dan menikmati kebebasan.
Tidak hanya di AS, kekhawatiran kurang semaraknya Natal dan Tahun Baru tahun ini juga menerpa Eropa. Mereka mengalami krisis energi karena berhenti mengimpor gas dari Rusia. Eropa memborong kuota gas cair nitrogen (LNG). Lumbung-lumbung gas mereka kini terisi 87 persen.
Meskipun begitu, ada ancaman kesulitan untuk membeli LNG pekan depan karena China sudah menghapus kebijakan nihil penyebaran Covid-19. China yang selama ini merupakan importir LNG terbanyak sudah pasti akan kembali menyedot persediaan di pasar seiring ekonominya yang kembali menggeliat.
Perusahaan satelit Maxar mengatakan, Eropa bagian utara dan Inggris akan mengalami suhu yang lebih dingin di akhir Desember 2022 dibandingkan rata-rata musim dingin sebelumnya. Pemerintah daerah di sejumlah kota di Inggris pun mengencangkan ikat pinggang untuk biaya energi.
Media The Sun melaporkan, satu keluarga di Kota Leeds diminta untuk mematikan hiasan lampu-lampu Natal di rumah dan pekarangan mereka. Padahal, rumah itu adalah rumah antik dari Zaman Victoria yang selalu menjadi atraksi lokal ketika Natal.
Pemerintah Kota Leeds mengimbau warga untuk hemat energi. Pesannya antara lain, gunakan listrik untuk hal-hal mendasar seperti penerangan dan penghangat ruangan.
AFP/STR
Sejumlah pekerja menyiapkan pohon Natal di alun-alun al-Hatab di Kota Aleppo, Suriah, 12 Desember 2022. (Photo by AFP)
Guru besar psikologi dari Denmark, Marie Helweg-Larsen, kepada media The Conversation, menjelaskan, Denmark adalah salah satu bangsa paling bahagia di dunia walaupun hidup di negara bercuaca dingin dan kelam.“Kami percaya bahwa setiap orang harus berusaha sebaik mungkin sesuai kemampuan masing-masing, bukan meniru orang lain,” ujarnya.
Perayaan, dalam falsafah Denmark, lanjut Helweg-Larsen, dimulai dari hal-hal kecil. Misalnya, memasang hiasan Natal dengan anggota keluarga. Meskipun hiasannya sederhana, waktu berkumpul itu yang penting untuk bercanda dan bercerita.
Di masyarakat Denmark juga tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk datang ke acara Natal dan Tahun Baru. Tak ada pula penghakiman sosial apabila individu menolak datang ke acara bersama. Bukan berarti si tamu tidak menyukai tuan rumah, tetapi masyarakat selalu berpikir mungkin orang itu butuh istirahat atau sekadar ingin sendiri.
Falsafah kedua, kata Helweg-Larsen adalah pyt. Ini bisa diterjemahkan secara kasar menjadi “ya sudah lah”. Apabila hal-hal tidak berjalan sesuai rencana, misalnya kue Natal sompel, hidangan agak gosong, atau tamu-tamu datang terlambat, pola pikir ini memberi jalan menghadapi situasi tanpa harus stres.
“Hal terpenting Natal berjalan dan dirayakan dengan orang terdekat. Jumlahnya walau sedikit tidak masalah karena yang penting istimewanya,” ucapnya.