Saat beban hidup terasa bertambah berat di masa pandemi Covid-19, ada sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan otak. Misalnya, kita bisa mencoba untuk memulai pola hidup sehat hingga melatih daya ingat.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Rombongan pesepeda di Jalan Boulevard Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Sabtu (10/10/2020). Aktivitas olahraga luar ruang semakin banyak dilakukan masyarakat selama pandemi Covid-19. Selain menjaga kebugaran, olahraga diyakini bisa menjadi sarana pelepasan stres yang bisa menganggu daya tahan tubuh.
Pandemi Covid-19 yang berlangsung lebih dari 1,5 tahun dan terjadi di seluruh dunia berdampak besar pada kesehatan mental manusia. Ancaman penyakit, tekanan ekonomi, terbatasnya interaksi sosial, hingga perubahan siklus dan ritme kehidupan menimbulkan rasa khawatir, cemas, stres dan memunculkan berbagai gangguan psikologis.
Perubahan yang terjadi itu pasti menimbulkan stres yang memaksa manusia untuk menyesuaikan diri dan menyelesaikan tantangan yang dihadapi. ”Stres adalah upaya untuk mengembalikan keseimbangan badan atau jiwa yang terganggu,” kata dokter spesialis kedokteran jiwa yang juga dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) Nur Azizah AS dalam webinar Merawat Kesehatan Otak di Masa Pandemi Covid-19, Rabu (22/9/2021).
Webinar tersebut diselenggarakan Indonesia Neuroscience Institute (INI), Federation of Asian-Oceanian Neuroscience Societies (FAONS), dan International Brain Research Organisation (IBRO) dalam rangka Pekan Peduli Otak (BAW) Indonesia 2021 yang diselenggarakan pada 20-25 September 2021. Pembicara dalam BAW Indonesia itu berasal dari berbagai fakultas kedokteran di Indonesia. Selain Unusa, ada Universitas Katolik Indonesia Atmajaya, Universitas Tarumanagara, Universitas Diponegoro, dan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.
Namun, lanjut Nur Azizah, stres yang dialami manusia akibat perubahan yang cepat, tidak terduga, dan sulit diprediksi selesainya akibat pandemi itu bisa mewujud dalam dua bentuk, yaitu eustres dan distres. Eustres atau stres positif justru mendorong seseorang untuk bangkit dan berupaya mengatasi stres yang dihadapi hingga mereka mampu beradaptasi dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
Merawat otak berarti merawat struktur dan fungsi fisiologis otak.
Namun, tidak semua orang bisa mengolah stresnya menjadi eustres. Banyak orang yang justru kesulitan menghadapi stres yang dihadapi hingga menjadi distres atau stres negatif. Akibatnya, muncul berbagai gangguan pada psikis maupun fisik mereka. ”Distres terjadi jika stressor atau tekanan cukup besar, lama, dan spesifik bagi seseorang,” tambahnya.
Saat seseorang tidak mampu mengelola stresnya atau mengalami distres, umumnya mereka akan kesulitan berkonsentrasi. Mereka juga bisa mengalami insomnia akibat otak berpikir terus hingga membuat sulit tidur, dan mudah lelah meski tidak melakukan pekerjaan berat sebagai akibat otak yang terus bekerja.
Sebagian orang juga akan mengalami cemas antisipatorik. Situasi ini umumnya terjadi karena selalu berjaga-jaga atau terlalu waspada akibat ketakutan yang berlebihan atau paparan informasi menakutkan dan berita kematian. Sebagian yang lain juga mengembangkan depresi yang membuat kehilangan minat melakukan apa pun, termasuk hobi yang sebelumnya disenangi.
Beberapa orang juga mengembangkan psikosomatis, yaitu mengalami berbagai gejala penyakit fisik meski berdasar pemeriksaan medis berbagai organnya dalam kondisi baik. Sementara beberapa orang yang lain bisa mengalami gangguan mental berat atau psikotik pada berbagai tingkatan yang salah satunya ditandai dengan menarik diri dari lingkungan atau hilang kendali terhadap nilai-nilai umum di masyarakat.
Nur Azizah mengingatkan pentingnya melakukan sejumlah upaya pencegahan dan pelepasan distres. Upaya itu, di antaranya, berupa relaksasi. Cara ini bisa dilakukan dengan menarik napas dalam melalui hidung dan mengembuskannya secara perlahan melalui mulut.
Pernapasan dalam itu bisa dilakukan sembari menanamkan hal-hal positif dalam pikiran, termasuk pikiran positif tentang kondisi tubuh. ”Tak hanya meredakan ketegangan otot, relaksasi juga bisa membuat napas dan detak jantung menjadi lebih baik,” katanya.
Sikap positif dalam menghadapi tekanan juga perlu dibangun karena makin rileks seseorang dalam menghadapi tekanan, makin ringan pula stres yang akan dia rasakan. Selain itu, imunitas tubuh juga penting dijaga dengan mengatur pola makan, olahraga, dan waktu tidur. Iman pun perlu dijaga karena keimanan bisa membantu pembentukan pikiran positif serta lebih memberi ketenangan.
Merawat otak
Dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi yang juga dosen Fakultas Kedokteran Unusa Rita Vivera Pane menambahkan, untuk mencegah berbagai gangguan mental selama pandemi tersebut, maka penting untuk menjaga kesehatan otak. Perawatan otak itu mampu memperlambat efek degeneratif dan mencegah gangguan fungsi akibat proses penuaan pada otak. ”Merawat otak berarti merawat struktur dan fungsi fisiologis otak,” katanya.
Proses perawatan otak itu bisa dilakukan dengan banyak hal. Salah satunya adalah dengan aktivitas fisik secara terukur dan terstruktur alias berolahraga secara rutin. Olahraga, bukan sekadar aktivitas fisik sehari-hari seperti membersihkan rumah, akan membuat alirah darah dan oksigen ke otak meningkat serta menghasilkan sejumlah neurotransmitter yang membuat tubuh merasa lebih sehat, bugar, dan bahagia.
Rita menambahkan, mendengarkan musik, khususnya yang membuat seseorang menjadi lebih fokus dan rileks, juga mampu meningkatkan aktivitas otak. Suara alam, kicau burung, gemericik air, hujan atau desir angin pepohonan yang memberi efek menenangkan, nyatanya juga bisa bermanfaat bagi kesehatan fisik.
Selain itu, membaca, belajar bahasa asing, menyusun puzzle serta mengisi teka-teki silang atau sudoku juga membuat otak lebih segar, meningkatkan daya ingat, hingga memperlambat penuaan otak. ”Silaturahmi atau bersosialisasi juga bisa berdampak pada kesehatan fisik, mental, sosial, dan spiritual,” tambahnya.
Tidur malam yang cukup juga bisa mendongkrak kualitas otak. Tidur yang cukup akan memperbaiki otak bagian depan yang disebut korteks prefrontal yang berperan dalam pengambilan keputusan atau pemikiran logis. Kurang tidur malam bisa memicu berbagai persoalan emosi negatif yang dikendalikan sistem limbik di otak bagian belakang, seperti mudah marah serta buruknya atau berubah-ubahnya suasana hati (mood).
Sulit tidur itu bisa menjelma dalam berbagai bentuk, mulai dari sulit mengawali tidur, mudah terbangun saat tidur dan sulit tidur kembali, hingga waktu tidur yang tidak sesuai ketentuan dan kebutuhan. Yayasan Tidur Nasional (NSF) di Amerika Serikat menyarankan orang dewasa muda berumur 18-25 tahun dan orang dewasa 26-64 tahun, tidur malam antara 7-9 jam per hari. Makin tua usia, makin sedikit waktu tidur yang dibutuhkan.
Untuk menjaga agar bisa tidur malam dengan baik, Nur Azizah mengingatkan pentingnya menjaga higiene tidur. Membersihkan badan, menjauhkan benda-benda yang mengganggu tidur di ranjang atau kamar tidur, mematikan lampu atau menggunakan lampu remang-remang, dan menjadikan tempat tidur hanya untuk tidur adalah sejumlah hal yang bisa dilakukan untuk menciptakan kualitas tidur yang baik.
”Tidur adalah usaha, tindakan, dan perilaku yang harus dipersiapkan untuk melakukannya, sama seperti ketika akan berkegiatan di dalam rumah,” tambahnya. Karena itu, higiene tidur tidak bisa disepelekan karena tidur yang berkualitas tidak hanya menjaga kesehatan mental yang baik, tetapi juga kesehatan otak.