Warga Eropa di Antara Dua Pilihan: Penghangat atau Makanan?
Warga Inggris dan Eropa berupaya mengurangi penggunaan listrik dan konsumsi energi lainnya di tengah harga yang melonjak. Pilihannya adalah badan hangat atau kelaparan.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
AP PHOTO/ANTONIO CALANNI
Roberto Bertolini duduk di sebuah bangku saat berbincang dengan kantor berita AP di Milan, Italia, 29 APril 2022. Bertolini yang berprofesi sebagai perawat orang dengan disabilitas dengan pendapatan 550 euro per bulan, kesulitan untuk hidup layak, terutama karena biaya energi per bulan yang terus naik hingga mencapai 180 euro per bulan.
Philip Keetley memilih tidak menyalakan kipas pendinginnya di rumah, meski terik matahari menyengat. Saat ini Inggris tengah mengalami rekor gelombang panas sepanjang musim panas.
Keetley memutuskan memilih tindakan itu setelah sejak April lalu ia kehilangan pekerjaan sebagai penasihat dewan Kota Grimsby. Isi rekening banknya memperlihatkan dia tidak memiliki kemampuan finansial membiayai hidupnya secara mandiri.
Kini, Keetley menggantungkan hidupnya dari skema jaminan sosial pemerintah. Setiap bulan, dia mendapatkan bantuan sebesar 600 pound, sekitar 706,44 dollar AS atau setara dengan Rp 10,758 juta (1 dollar AS setara Rp 15.238). Dari jumlah itu, separonya digunakan untuk sewa tempat tinggal. sisanya untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Akan tetapi, hidup dengan hanya sekitar 300 pound, tidak cukup baginya. Mau tidak mau, dia harus berhemat. Caranya : makan satu hari sekali dan seminimal mungkin mengonsumsi energi. Apalagi, dari sisa itu, dia masih harus menyisihkan untuk membayar tagihan energi sebesar 15 persen.
"Biaya hidup terus meningkat. Akan tetapi, Anda hanya bisa hidup dengan plafon jaminan sosial yang angkanya sama seperti sebelum krisis. Pilihannya hanya ada dua: saya bisa mendapatkan penghangat ruangan atau memilih makan,” kata Keetley.
Garis Kemiskinan
Data Carbon Brief, situs yang mengkhususkan diri pada kebijakan iklim dan energi yang berpusat di Inggris, menyebut, sepanjang musim dingin kali ini, warga Inggris akan menghabiskan rata-rata 10 persen penghasilannya untuk belanja energi, termasuk di dalamnya adalah belanja gas, listrik, bahan bakar pemanas, serta bahan bakar kendaraan. Angka ini melonjak dua kali lipat dibandingkan belanja energi tahun 2021.
Badan amal Inggris National Energy Action (NEA) memperkirakan 8,9 juta rumah tangga Inggris bisa masuk dalam kategori “miskin bahan bakar” setelah harga bahan bakar naik drastis sejak Oktober, dari semula 4,5 juta rumah tangga. Berdasarkan definisi NEA, sebuah rumah tangga dikelompokkan dalam kategori “miskin bahan bakar” jika pendapatannya rendah dan masih harus menyisihkan 10 persen atau lebih dari pendapatan itu untuk membeli energi. Definisi ini secara tidak resmi digunakan di negara-negara Eropa lainnya.
AP PHOTO/FRANK AUGSTEIN
Beberapa konsumen tengah berbelanja di sebuah pasar swalayan di London, Rabu (17/8/2022). Tagihan energi rumah tangga terus naik membuat lebih dari 8 juta rumah tangga di Inggris, berdasar angka National Energy Action (NEA), masuk dalam kategori "miskin bahan bakar".
"Peningkatan tagihan energi yang kita lihat benar-benar belum pernah terjadi sebelumnya. Kami berpikir bahwa tren historis rumah tangga berpenghasilan rendah secara tidak proporsional menghabiskan lebih banyak pendapatan mereka untuk energi masih sangat jelas,” kata Peter Smith, direktur kebijakan dan advokasi di NEA.
Dikutip dari media Inggris The Guardian, tagihan energi rumah tangga diperkirakan akan mengalami kenaikan hingga 4.200 poundsterling per tahun mulai Januari 2023 nanti. Angka ini akan terus naik menjadi sekitar 4426 pound per tahun pada bulan April.
Angka regulator energi di Inggris, Ofgem, lebih moderat. Biaya energi untuk konsumen Inggris hanya akan mengalami kenaikan sebesar 80 persen mulai Oktober nanti menjadi 3.549 pound.
Situasi ini membuat krisis daya beli dinilai menjadi yang terburuk dibanding krisis yang sama tahun 1970-an dan 1980-an. Embargo atas salah satu produsen minyak terbesar di dunia saat itu, Iran, telah menyebabkan antrean panjang di stasiun pengisian bahan bakar umum di negara-negara Barat. Puncaknya terjadi pada 1982 ketika warga harus menyisihkan 9,3 persen pendapatan mereka untuk energi.
Studi Financial Fairness Trust memperlihatkan sepertiga rumah tangga di Inggris telah mengurangi pengunaan kompor dan oven. Sepertiga lagi memilih tidak mandi untuk mengurangi pemakaian air dan separonya memilih menurunkan suhu penghangat ruangan sebagai langkah pengiritan.
Jennifer Jones, tengah memperhatian lembaran tagihan bulanan yang harus segera dibayarnya di flat kecilnya di London, Kamis (25/8/2022). Mantan pengawas sekolah itu menggantungkan biaya hidupnya dari jaminan sosial pemerintah. Naiknya harga energi, membuat hidupnya semakin sulit.
"Orang-orang melakukan banyak hal untuk mencoba menekan tagihan mereka. Akan tetapi, angkanya terus naik. Itu sebabnya kami ingin melihat lebih banyak tindakan dari pemerintah," kata Jamie Evans, rekan peneliti senior di Universitas Bristol yang terlibat dalam Financial Fairness Trust.
Dawn White, penderita gagal ginjal, mengatakan dia khawatir biaya energi yang melonjak membuatnya tidak mampu lagi membayar perawatan yang menyelamatkan hidupnya. "Tanpa mesin (dialisis) saya, lima kali seminggu, 20 jam, saya akan mati," kata White, 59 tahun, yang tinggal di Inggris bagian tenggara.
Kondisi Eropa
Situasi di Eropa setali tiga uang dengan di Inggris. Warga Eropa juga merasakan kenaikan harga energi pada tagihan masing-masing karena perang di Ukraina, sanksi terhadap Rusia, dan akibat pandemi virus corona. Harga patokan energi di Eropa melonjak hingga 550 persen dalam 12 bulan terakhir.
Banyak negara di Eropa bergegas memberikan bantuan dalam bentuk insentif bagi warganya, akan tetapi data menunjukkan bantuan tersebut tidak membuat perbedaan yang signifikan untuk rumah tangga. Harga gas untuk keluarga di sebagian besar negara Eropa terkemuka pada awal 2022 melebihi puncak krisis sebelumnya pada 1970-an, 1980-an dan 2000-an. Data itu mengacu pada indeks yang disesuaikan dengan inflasi untuk rumah tangga yang disediakan oleh Badan Energi Internasional (IEA). Data IEA sejak tahun 1978 menunjukkan bahwa meskipun rumah tangga Amerika membayar rata-rata harga yang lebih tinggi untuk gas alam dalam empat dekade terakhir, harga gas untuk keluarga Eropa telah melampaui Amerika pada tahun 2022.
Di Turki, harga gas naik lebih dari dua kali lipat pada Juli, dibanding pada Juli tahun lalu. Sementara harga listrik melonjak 67 persen tahun-ke-tahun, menurut data Institut Statistik Turki.
AP PHOTO/ANNA SZILAGYI
Seorang pekerja sedang menggoreng daging burger di Restoran Zing Burger di Budapest, Hongaria, Minggu (12/9/2022). Belanja energi listrik di negara ini mengalami kenaikan hingga 750 persen sepanjang tahun ini.
Seyda Bal (27), warga Istanbul, Turki, mengaku dia harus membatasi penggunaan oven untuk menghemat energi. Sang suami memilih menggunakan kendaraan umum untuk kerja, meski waktu yang dibutuhkan tiga kali lebih lama dibanding menggunakan kendaraan pribadi.
Di Uni Eropa, berbasis data IEA, keluarga Italia dan Jerman termasuk yang paling terpukul oleh lonjakan harga gas. Tagihan energi di rata-rata keluarga Italia, terutama untuk gas dan listrik, melonjak menjadi 5 persen dari total pengeluaran rumah tangga pada Juli 2022. Pada tahun 2019, belanja energi rumah tangga di Italia, berdasarkan data dari perusahaan riset ekonomi Prometeia hanya 3,5 persen dari total pengeluaran. Berdasarkan data OECD, tingkat pengeluaran untuk energi, pada Juli tahun ini, adalah yang tertinggi sejak 1995.
Di Jerman, berdasar data dari situs Check24, pada Juli tahun ini, tagihan gas rumah tangga naik lebih dari dua kali lipat dibanding Juli tahun lalu. Sementara itu dibandingkan Mei tahun lalu, harga bahan bakar untuk pemanas rumah juga naik, sekitar 78 persen.
Ercan Erden (58), pekerja operator mesin di pabrik pengemasan air minteral di Kota Nidda, Jerman, mengatakan, untuk menekan tagihan energi, dia harus menerapkan strategi penghematan. "Usai bekerja, saya mandi di tempat kerja. Saya juga bercukur di sana,” katanya sambil tertawa. (Reuters)