Pemandangan Kontras Eropa dan Rusia di Tengah Cekikan Krisis Energi
Eropa mulai menelan pil pahit akibat embargo gas yang dilakukan Rusia sebagai balasan atas pukulan sanksi Uni Eropa. Tanda-tanda kesulitan dan penderitaan di Eropa lebih terlihat dibandingkan dengan di Rusia.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR, MUHAMMAD SAMSUL HADI
·7 menit baca
BERLIN, SELASA — Dampak perang Rusia-Ukraina lebih terasa dan lebih terlihat di kota-kota di Eropa dibandingkan di Rusia. Di Italia, semakin banyak saja warga yang harus dipenuhi kebutuhan pangannya oleh bank-bank makanan. Di Jerman, para pejabatnya mulai menurunkan suhu dingin pengatur udara dalam ruangan sebagai bagian dari upaya penghematan listrik. Tak lama lagi, ada penjatahan gas yang kini semakin langka dan mahal.
Tanda-tanda kesulitan dan penderitaan, seperti terlihat di Eropa, itu sejauh ini tidak tampak di Rusia. Tidak terlihat suasana krisis atau tanda-tanda krisis bakal datang di pusat kota Moskwa. Sejumlah toko busana merek impor, seperti Uniqlo, Victoria’s Secret, dan Zara, di Mal Evropeisky memang tutup pasca-invasi Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari 2022. Meski demikian, orang-orang muda kaya di negeri itu tetap memenuhi restoran-restoran ibu kota.
Pemandangan kontras antara kota-kota di Eropa dan Rusia tersebut berlangsung di tengah semakin panasnya perang di Ukraina. Perang lebih dari empat bulan ini telah memicu krisis energi di Eropa seiring langkah Kremlin mengurangi atau memangkas pasokan gas ke benua itu sebagai balasan terhadap tindakan Uni Eropa menjatuhkan sanksi kepada Rusia.
Tanda-tanda resesi pun semakin nyata. Harga bahan pangan meningkat, nilai tukar mata uang euro untuk pertama kali lebih rendah dibandingkan dengan dollar Amerika Serikat. Negara-negara di Eropa menghadapi ketidakpastian stok bahan bakar untuk musim dingin.
Pasokan terbesar gas yang menggerakkan listrik Eropa berasal dari Rusia. Eropa mengimpor 40 persen gas alam dari Rusia atau setara dengan 55 miliar kubik per tahun melalui pipa Nord Stream.
Pada Juni, sebagai balasan atas sanksi negara-negara Barat, perusahaan gas Rusia, Gazprom, mengurangi pengiriman gas ke Eropa hingga 60 persen. Praktis, Eropa kekurangan gas. Bahkan, krisis energi ini telah memaksa Jerman mengeluarkan aturan agar warganya tidak memakai pendingin ruangan guna menghemat listrik.
Selain itu, pipa Nord Stream 1 yang mengaliri gas dari Rusia ke Jerman juga sedang diperbaiki. Menteri Perekonomian Jerman Robert Habeck, seperti dikutip oleh CNN, Senin (18/7/2022), mengungkapkan bahwa Nord Stream 1 siap beroperasi kembali pada Kamis (20/7) setelah 10 hari dihentikan untuk perawatan.
”Meskipun begitu, kita harus bersiap menghadapi yang terburuk. Ada kemungkinan Rusia tidak akan mengirim gas kepada kita,” kata Habeck.
Jerman berniat memperpanjang penggunaan pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan batubara. Padahal, negara ini yang paling keras menggaungkan penghentian penggunaan batubara karena pencemaran parah yang ditimbulkannya. Pemerintah Jerman terpaksa mengambil langkah tersebut demi menjamin pasokan energi.
Di Eropa, dunia industri bersiap menghadapi pukulan yang telak. Salah satu contoh ialah Molkerei Berchtesgadener Land, pabrik susu di Piding, Negara Bagian Bavaria. Mereka menyetok 200.000 liter minyak untuk bahan bakar yang akan menghasilkan listrik dan mengoperasikan mesin uap. Alat ini dipakai untuk pasteurisasi susu.
Pabrik ini mengambil susu dari 1.800 peternak mitra. Total ada 50.000 sapi yang menghasilkan 1 juta liter susu setiap hari. Jika tidak dipasteurisasi, susu itu akan basi dan harus dibuang. ”Dampaknya panjang sekali. Kami harus memastikan tidak ada susu yang mubazir,” kata Bernhard Pantner, Direktur Pengelola Molkerei Berchtesgadener Land.
Musim panas yang terik saat ini menghasilkan gelombang panas. Akibatnya, kebutuhan listrik meningkat drastis. Di Spanyol dan Perancis, suhu harian rata-rata adalah 40 derajat celsius. Perusahaan gas Spanyol, Enagas, dalam keterangan pers mengatakan bahwa penggunaan listrik pekan lalu melonjak menjadi 800 gigawatt per jam. Masyarakat kepanasan dan beramai-ramai menghidupkan pendingin udara.
Masalah pangan
Berkurangnya pasokan gas juga mengakibatkan kenaikan harga pangan. Inflasi di kawasan Eropa mencapai 8,6 persen. Di Italia, biaya membeli makanan untuk setiap rumah tangga naik sebanyak 681 euro apabila dibandingkan dengan tahun 2021. Semakin banyak keluarga yang tidak bisa membeli makanan sehingga mereka harus mengantre di bank-bank makanan demi mendapat jatah makanan gratis.
Di area suburban Paris, Gennevilliers, Perancis, Jessica Lobli, seorang ibu dengan dua anak mengatakan bahwa keluarganya mengurangi belanja makanan hingga setengah. Biasanya, Lobli menyisihkan 200 euro setiap bulan untuk makanan. Sekarang, jatah makan keluarga hanya 100 euro.
”Kami tidak bisa membeli susu, selai, dan cemilan. Hanya bisa beli makanan pokok,” ujarnya.
Lobli menuturkan, keluarganya tidak terlalu banyak makan pada musim panas. Namun, ia mengkhawatirkan situasi pada September mendatang. Pada bulan itu, ia harus membelikan perlengkapan sekolah untuk anam perempuannya yang berusia 15 tahun dan anak laki-lakinya yang berusia 8 tahun. Lobli memperoleh upah antara 1.300 dan 2.000 euro per bulan dari bekerja di dapur sebuah sekolah.
”Situasinya bakal semakin buruk, tetapi kami perlu makan agar bisa bertahan hidup,” kata Lobli.
Di Perancis, Presiden Emmanuel Macron mengumumkan, pemerintahannya akan menghemat energi dengan memadamkan lampu-lampu di tempat-tempat umum pada malam hari. Hal serupa dilakukan di Jerman. Pejabat pemerintahan negara itu menginstruksikan warganya untuk menghemat energi dan menurunkan pengaturan suhu dan dingin di gedung-gedung masyarakat umum.
Carsten Brzeski, Kepala Ekonom Zona Euro pada Bank ING, memperkirakan adanya resesi pada akhir tahun ini akibat kenaikan harga-harga kebutuhan hidup. Pertumbuhan ekonomi Eropa dalam jangka panjang bakal tergantung pada apakah pemerintah akan mengambil langkah-langkah investasi masif yang dibutuhkan untuk transisi menuju ekonomi berbasis energi terbarukan atau tidak.
”Tanpa investasi, tanpa perubahan struktural, satu-satunya yang tersisa adalah berharap segalanya akan bekerja seperti sebelumnya, tetapi hal itu tidak akan terjadi,” ujar Brzeski.
Situasi di Rusia
Kontras dengan situasi di Eropa, di Rusia keadaan tampak stabil. Para pengamat ekonomi menjelaskan, hal itu terjadi karena Rusia dalam sejarahnya terbiasa menghadapi berbagai sanksi dan isolasi ekonomi sehingga bank sentral mereka lebih fleksibel dalam membuat aturan. Rusia berhasil mengendalikan inflasi dan nilai rubel.
Melalui langkah-langkah intervensi pemerintah, Rusia mampu menstabilkan nilai tukar mata uang rubel, bursa saham, dan inflasi. Di tengah krisis energi yang melilit Eropa dan meroketnya harga energi, Rusia, sebagai negara pengekspor utama minyak dan gas alam, memetik untung. Saat negara-negara Barat tak mau membeli minyaknya, Rusia telah menemukan pembeli-pembeli baru di Asia meski dengan harga diskon.
Belajar dari pengalaman terkena sanksi pascamenguasai Crimea, Kremlin membangun benteng ekonominya dengan menjaga utang agar rendah dan meminta perusahaan-perusahaan di negara itu menggunakan sumber-sumber bahan baku dan pangan dari dalam Rusia sendiri. Hingga kini, tidak terlihat tanda-tanda negara itu dilanda krisis.
Ketika perusahaan-perusahaan waralaba internasional hengkang dari Rusia, negara itu dengan mudah mencari penggantinya. Ini terjadi pada restoran makanan cepat saji, McDonald’s, misalnya. Setelah McDonald’s menyatakan tak akan membuka lagi layanannya sebagai bagian dari boikot Barat terhadap Rusia, tak lama kemudian sudah muncul penggantinya, Vkusno-i Tochka, dengan menu yang disajikan sama.
Namun, menurut ekonom, situasi adem ayem saat ini tidak akan bertahan lama. Para ekonom memperkirakan, dengan banyaknya sanksi, Rusia pada akhirnya mengalami pelambatan ekonomi dan tertinggal dari negara-negara lain, baik di kawasan Eropa maupun secara global. Nilai tukar rubel yang lebih kuat terhadap dollar AS dibandingkan dengan sebelum perang Ukraina dan menurunnya inflasi di Rusia menghadirkan gambaran yang bisa menyesatkan.
Menguatnya nilai tukar rubel tak lepas dari aturan-aturan yang mencegah larinya uang keluar dari Rusia. Selain itu, sebagian besar importir minyak dan gas Rusia dipaksa membayar gas dan minyak dengan rubel.
Janis Kluge, pakar ekonomi Rusia pada German Institute for International and Security Affairs, dalam analisisnya baru-baru ini, menyoroti turunnya angka inflasi di Rusia tidak lepas dari tidak dimasukkannya barang-barang kebutuhan dari Barat yang menghilang dari negara tersebut. Selain itu, rendahnya inflasi boleh jadi juga karena berkurangnya permintaan.
Menurut pakar politik, Ilya Matveev, sekitar 2,8 juta warga Rusia bekerja pada perusahaan-perusahaan asing atau gabungan pada 2020. Sekitar 5 juta pekerjaan di negara itu atau 12 persen dari lapangan pekerjaan tergantung pada investasi asing.
Perusahaan-perusahaan asing itu mungkin bisa berpindah kepemilikan ke tangan warga Rusia. Ditambah dengan proteksionisme dan banyaknya lapangan pekerjaan di pemerintahan, pengangguran massal di Rusia bisa dicegah. Meski demikian, menurut Kluge, ekonomi Rusia bakal jauh kurang produktif dan bakal ”berujung pada turunnya secara signifikan rata-rata pendapatan warga”. (AP)