Krisis energi membuat Jerman akhirnya menyetujui tarif ditingkatkan guna membiayai pemenuhan listrik masyarakat. Mereka berusaha melepaskan diri dari gas dan minyak Rusia.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
BERLIN, MINGGU — Pemerintah Jerman membolehkan perusahaan-perusahaan energi menaikkan tarif dengan syarat lulus uji kelayakan. Selain itu, mereka juga meminta per tahun 2023 industri-industri sudah menandatangani komitmen peralihan ke energi terbarukan.
Pengumuman itu disampaikan Menteri Perekonomian Jerman Robert Habeck di Berlin, Sabtu (3/12/2022). Dilansir dari surat kabar Bild, pemerintah belum memberikan keterangan lanjutan mengenai aspek-aspek yang dinilai di uji kelayakan tersebut.
Jerman sedang menghadapi krisis energi akibat bergantung pada aliran gas Rusia. Mereka berusaha melepaskan diri dari gas dan minyak Rusia setelah mengecam dan menjatuhkan sanksi kepada Rusia akibat menginvasi Ukraina.
Pemerintah Jerman telah memberikan subsidi sebesar 83 miliar euro kepada perusahaan-perusahaan energi agar mereka tetap bisa memastikan rakyat memiliki listrik. Pada Senin lalu parlemen akhirnya menuntaskan rapat paripurna membahas skema kenaikan tarif energi.
”Ada beberapa sektor energi yang bisa menaikkan tarif, tetapi kita harus melakukannya dengan kepekaan sehingga tidak menyakiti masyarakat,” kata Michael Krause, anggota parlemen dari Partai Federal Merdeka (FFP).
Parlemen menyetujui untuk listrik rumah tangga dan usaha mikro serta kecil, kenaikan maksimal adalah 40 persen dari biaya kilowatt per jam. Khusus untuk industri menengah hingga makro, diberi batasan kenaikan maksimal 56 persen dari tarif kilowatt per jam. Di sektor ini masih bisa ditingkatkan hingga 60 persen apabila kondisi memungkinkan dan atas izin pemerintah.
Kebijakan ini berdampak kepada 7,5 juta rumah tangga dari total 41,6 juta rumah tangga di Jerman. Ini adalah rumah tangga yang tidak memperoleh listrik mereka dari perusahaan listrik negara yang memiliki tarif stabil.
Pada saat yang sama, Habeck juga mengumumkan pemerintah mewajibkan semua industri untuk menandatangani pakta peralihan energi dengan tenggat tahun 2023. Isi pakta ini ialah semua jenis industri wajib mengganti sumber energi mereka dari energi fosil ke energi terbarukan. Apabila tidak bisa mengganti ke energi matahari, angin, dan ombak, mereka bisa juga beralih ke energi hidrogen. Perusahaan diberi subsidi ataupun insentif untuk 15 tahun ke depan jika mereka memiliki rencana peralihan energi yang konkret.
Jerman resmi keluar dari Pakta Energi Eropa 1998. Negara-negara lain yang sudah melakukannya adalah Italia, Spanyol, dan Belanda. Mereka menganggap pakta ini tidak sesuai dengan Kesepakatan Paris 2015 yang menitikberatkan pada penanganan krisis iklim dan pemanasan global dengan beralih kepada energi terbarukan. Pakta yang dibuat pada tahun 1998 itu masih menggantungkan ketahanan energi Eropa kepada energi fosil, terutama batubara.
Berdasarkan data Dana Dunia untuk Alam (WWF), Uni Eropa sepanjang periode 2013-2021 telah mengucurkan izin pembebasan pencemaran sebesar 100 miliar euro. Ini celah yang diberikan kepada industri semen, petrokimia, baja, penerbangan, dan logistik untuk tidak membayar pajak karbon. Padahal, ini adalah industri-industri dengan volume pencemaran terbesar di dunia.
Peneliti WWF, Alex Mason, kepada surat kabar The Guardian, menjelaskan, subsidi itu diambil dari pajak warga UE. Di satu sisi, ada anggota UE, salah satunya Jerman, hendak menaikkan tarif energi. ”Sistem ini membuat rakyat bergantung pada energi fosil yang tidak stabil dan rawan terkendala dampak politik,” ucapnya.
WWF memang mengatakan bahwa emisi karbon sektor-sektor industri itu menurun 37 persen dalam lima tahun terakhir karena mulai ada peralihan ke energi terbarukan. Akan tetapi, kecepatan peralihan ini untuk wilayah semaju UE terlalu lambat. ”Kita harus belajar dari unjuk rasa Rompi Kuning di Perancis karena kenaikan bahan bakar fosil. Hanya dengan memasifkan energi terbarukan kebutuhan rakyat bisa terpenuhi,” kata Mason. (Reuters)