Minuman Manis Bikin Bahagia, Tetapi Juga Memicu Cemas dan Agresif
Konsumsi gula berlebih memang memicu obesitas, diabetes, dan berbagai penyakit fisik lain. Nyatanya, gula berlebih juga memengaruhi suasana hati, meningkatkan risiko cemas dan depresi, hingga mendorong perilaku agresif.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F03%2F10%2F8280c0ab-a436-4677-a8aa-90d471da09e7_jpeg.jpg)
Seorang pedagang menjual minuman berpemanis di Jakarta, Senin (9/3/2020). Pemerintah berwacana untuk mengenakan cukai pada produk minuman berpemanis, plastik, dan kendaraan beremisi karbon. Ada dua kelompok minuman berpemanis yang akan dikenakan cukai. Keduanya adalah minuman berpemanis gula dan pemanis buat siap konsumsi, serta minuman berpemanis dalam bentuk konsentrat yang perlu diencerkan, seperti kopi saset dan minuman berenergi bubuk
Mengonsumsi makanan dan minuman manis memang bisa mengurangi stres dan membuat bahagia. Namun, gula yang berlebih justru bisa mendorong perilaku agresif, cemas, kelelahan, hingga memicu berbagai penyakit degeneratif lain. Karena itu, diperlukan sikap bijak dalam mengonsumsi gula tambahan, khususnya pada makanan-minuman tanpa informasi gizi.
Beberapa tahun terakhir, usaha minuman manis menjamur di masyarakat. Mulai dari jenama-jenama internasional di mal besar, waralaba nasional di jalan-jalan utama, hingga usaha rumahan milik masyarakat di gang-gang sempit.
Beberapa jenis minuman manis mulai tenggelam, seperti capuccino cincau dan es kepal, namun jenis minuman manis baru yang lebih variatif rasanya bermunculan, mulai dari aneka jenis boba, kopi, teh, dan coklat. Namun aneka minuman siap saji itu umumnya tidak memiliki informasi nilai gizi, termasuk jumlah kandungan gulanya.
Meski jenis minuman terus berkembang, tetapi karakternya hampir sama, manis dan dingin. Karena disajikan dingin, maka untuk mendapatkan tingkat kemanisan yang diinginkan dibutuhkan lebih banyak gula.
Reseptor rasa di lidah kita, termasuk rasa manis, akan mengirimkan sinyal ke otak jika diaktifkan oleh zat yang hangat. Artinya, persepsi kita tentang manis pada minuman dingin menjadi berkurang. Akhirnya, untuk mendapatkan rasa manis yang sesuai pada minuman dingin maka kandungan gula minuman tersebut biasanya dirancang lebih tinggi.
Itu sebabnya, minuman manis produksi industri umumnya ada keterangan "Sajikan Dingin Lebih Nikmat". Jika minuman tersebut tidak dihidangkan dalam kondisi dingin, maka rasanya akan menjadi lebih manis, lebih asam, bahkan lebih pahit. Dingin mampu meredam rasa dan sedikit mengubah rasa minuman.

'Serangan' minuman manis produksi rumahan dan usaha kecil itu masih ditambah minuman manis produksi industri yang dijajakan di pasar swalayan, minimarket, hingga warung-warung pinggir jalan. Namun, minuman produk industri itu umumnya sudah menyertakan "Informasi Nilai Gizi", termasuk kandungan gula. Situasi ini membuat risiko barang yang dikonsumsi menjadi tanggung jawab konsumen.
Di sisi lain, kandungan gula tinggi tidak hanya ada pada minuman umum seperti teh, kopi, atau minuman berkarbonasi. Minuman vitamin C, minuman pendongkrak energi, jus buah, hingga susu aneka rasa yang digemari anak-anak yang terkesan sehat pun umumnya tinggi gula. Karena itu, dibutuhkan kebijakan untuk mengonsumsi makanan-minuman kemasan.
Tak hanya minuman manis, aneka makanan dan jajanan manis juga merajalela. Mulai dari aneka kue, roti, dessert box, donat, crepes, hingga martabak manis yang berlimpah coklat, keju, hingga kental manis. Belum lagi aneka kue, biskuit, coklat dan gula-gula produksi industri. Semuanya memanjakan lidah.
Untuk mendapatkan rasa manis yang sesuai pada minuman dingin maka kandungan gula minuman tersebut biasanya dirancang lebih tinggi.
Melepaskan dopamin
Saat menghadapi hari yang buruk dan penuh tekanan, sebagian dari kita menjadikan makanan-minuman manis sebagai pelarian yang menyenangkan. Makanan-minuman manis dianggap bisa membalikkan suasana hati kita yang kacau. Repotnya, hasrat mengonsumsi yang manis itu seringkali sulit dihindari. Semakin diabaikan, semakin menggebu dorongan untuk mengonsumsi yang manis-manis.
Studi Konstantinos Mantantzis dari Departemen Psikologi, Universitas Humboldt, Berlin, Jerman dan rekan yang dipublikasikan di Neuroscience & Biobehavioral Reviews, Juni 2019 menunjukkan, konsumsi makanan-minuman manis tidak memiliki manfaat baik apapun bagi suasana hati.
"Justru, konsumsi gula bisa menurunkan kewaspadaan pada 60 menit setelah di konsumsi dan meningkatkan kelelahan hanya 30 menis setelah dikonsumsi," tulisnya.
Baca juga : 50 Gram, Batas Maksimal Konsumsi Gula Sehari
Perilaku sugar craving alias keinginan berlebih terhadap makanan manis itu menurut Amy Reichelt, ahli neurosains dari Universitas Western, Australia di The Conversation, 14 November 2019, adalah turunan dari nenek moyang kita saat masih menjadi pemburu dan pengumpul. Makanan manis adalah sumber energi yang sangat baik dan penting untuk menjaga kelangsungan hidup.
Akibatnya, otak bawaan kita memaknai makanan manis sebagai hal yang menyenangkan. Terlebih, rasa manis memberikan kesan enak, berbanding terbalik dengan makanan pahit, asam, atau rasa tidak enak lain yang dikenali tubuh sebagai bahan mentah, beracun, busuk dan bisa menyebabkan penyakit.
Saat kita makan manis, sistem penghargaan di otak yang disebut sistem dopamin mesolimbik akan aktif. Sel saraf otak melepaskan dopamin, hormon yang terkait dengan rasa senang, yang memberi sinyal bahwa makanan yang dikonsumsi itu positif alias enak. Aktifnya sistem penghargaan di otak itu akan memperkuat perilaku yang membuat kita lebih mungkin mengulang kembali hal-hal yang menyenangkan tersebut.
Akibatnya, saat kita mengonsumi makanan-minuman manis, maka kita selalu ingin untuk mengonsuminya lagi guna memuaskan otak. Otak menginginkan kepuasan konsumsi gula tersebut terus terjaga sehingga terus meminta gula. Keinginan mengonsumsi yang manis itu seringkali menunjukkan gejala seperti mengidam yang sulit dikendalikan meski tahu konsekuensinya.

Barometro-Minuman Kekinian Infografik-Ismawadi
"Gula adalah makanan yang memberikan kebahagiaan dan juga ketidakbahagiaan," tulis Thomas Rutledge, profesor Departemen Psikiatri, Universitas California San Diego di The Psychology Today, 22 Mei 2021. Gula adalah makanan bak serigala berbulu domba. Membaiknya suasana hati dan meredanya stres saat makan manis adalah nyata, tetapi hanya sementara.
Pelepasan dopamin yang memberikan kebahagiaan saat mengonsumsi yang manis akan diikuti oleh hormon yang melanggengkan emosi negatif. Semakin kita mengandalkan dopamin untuk merasa baik dan melepaskan diri dari perasaan buruk, maka makin sedikit hormon serotonin yang kita produksi. Padahal, serotonin adalah hormon yang terkait perasaan puas dan percaya diri.
Untuk menahan hasrat akan gula, respon alami di otak harus dioptimalkan. Jaringan neuron penghambat yang terkonsentrasi di otak bagian depan di daerah korteks prefrotal perlu diaktifkan. Area ini berperan dalam mengendalikan perilaku, pengambilan keputusan, kontrol impuls, hingga menunda kepuasan.
Baca juga : Kurangi Minuman Manis dan Bersoda untuk Menjaga Kesehatan Jantung
Masalahnya, makin tinggi kadar gula bisa mengubah cara kerja neuron penghambat. Karena itu, konsumsi makanan minuman tinggi gula akan memperkuat keinginan untuk makan gula lebih banyak hingga menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.
"Orang yang teratur makan makanan tinggi gula dan lemak menganggap keinginan mereka untuk makan makanan tersebut lebih tinggi bahkan saat mereka tidak lapar," tulis Reichelt.
Kombinasi buruk
Meski gula terasa manis, nyatanya dampak gula bagi kesehatan mental tidak semanis rasanya. Bagi kesehatan fisik, kelebihan gula jelas bisa mengurangi keseimbangan mikroba baik dalam usus, meningkatkan berat badan, merusak gigi, hingga meningkatkan risiko diabetes melitus dan berbagai penyakit degeneratif lain. Namun untuk kesejahteraan jiwa, gula dan kesehatan mental adalah kombinasi buruk.
Berbagai studi, seperti dikutip dari Healthline, 23 Juni 2020, menemukan bahwa konsumsi gula berlebih bisa meningkatkan risiko perubahan suasana hati, depresi, kesulitan mengendalikan stres, memicu kecemasan atau panik saat tidak mengonsumsinya. Kadar gula yang tinggi juga bisa menganggu fungsi kognitif otak, khususnya dalam pengambilan putusan dan memori.
Rutledge mengatakan, konsumsi gula tinggi bisa menimbulkan efek seperti ketagihan. Meski gagasan kecanduan makanan, dalam hal ini gula, masih menjadi pro-kontra di antara ilmuwan karena gula tetap dibutuhkan, namun bukti menunjukkan gula mengaktifkan sistem penghargaan dari dopamin dengan cara yang sama dengan kecanduan obat-obatan terlarang atau zat adiktif lain.
Baca juga : Kendalikan Konsumsi Minuman Berpemanis dengan Cukai
Makanan dan minuman manis juga mengubah keseimbangan mikrobioma di usus. Kondisi di usus itu berkaitan erat dengan kondisi di otak. Karena itu, terganggunya mikrobioma usus bisa juga meningkatkan risiko kecemasan, depresi, gangguan pemusatan perhatian atau hiperaktivitas (ADHD), autisma, hingga demensia.
"Gula menurunkan keragaman bakteri di usus dan meningkatkan mikroorganisme yang terkait dengan peradangan," tambahnya. Pada tingkat tertentu, peradangan yang tinggi bisa memicu depresi.
Konsumsi gula tinggi juga bisa memicu perubahan hormon hingga menyebabkan munculnya emosi negatif. Gula akan menaikkan kadar hormon insulin yang berperan penting dalam pengaturan nafsu makan dan lemak tubuh. Insulin bekerja sama dengan hormon pengatur nafsu makan lain, yaitu leptin, yang akan memberikan informasi ke otak tentang ketersediaan energi tubuh.

Pada anak yang kurus atau orang dewasa, otak sangat sensitif terhadap leptin. Saat kadar leptin meningkat, dia akan mengirim pesan ke otak bahwa perut sudah kenyang dan meningkatkan pengeluaran energi. Namun pada orang yang kadar insulinnya tinggi, maka sensitivitas otak terhadap leptin akan turun. Resistensi leptin itu memicu munculnya emosi negatif, seperti kecemasan dan kesedihan.
Gula juga membuat orang kurang puas dalam hidup, memaknai kebahagiaan dengan kesenangan. Orang yang memiliki kepuasan hidup tinggi atau bahagia umumnya dikaitkan hubungan interpesonal yang berkualitas, kebermanfaatan bagi masyarakat, pekerjaan yang bermakna, rekreasi, serta dengan beberapa kesenangan-kesenangan yang sederhana.
Namun, masyarakat modern sering memaknai kebahagiaan itu dengan banyak kesenangan sederhana tetapi justru membuat sulit bersyukur, gembira, atau puas. Kesenangan sederhana yang bersumber dari rokok, narkoba, judi, dan alkohol jelas tidak bisa diakses bebas karena banyak aturan yang membatasinya. Namun kesenangan yang bersumber dari gula tidak ada aturannya. Terlebih gula murah dan mudah untuk mendapatkannya.
"Gula tidak hanya legal, tetapi juga secara aktif dipromosikan oleh industri, disubsidi pemerintah, dan memiliki pedoman nilai gizi," kata Rutledge. Padahal, berbagai studi terbaru menunjukkan besarnya dampak gula bukan hanya pada kesehatan fisik, tetapi juga mental. Situasi inilah yang mendorong sejumlah ahli kesehatan untuk mengenakan cukai gula demi membatasi konsumsi masyarakat.

Warga membeli minuman boba di salah satu gerai di Jakarta Barat, Kamis (5/3/2020).
Pedoman konsumsi
Meski riset membuktikan gula memiliki banyak dampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental, gula tetap dibutuhkan tubuh. Karena itu, konsumsi gula perlu dibatasi agar tidak mengurangi fungsi tubuh, tetapi juga tidak membahayakan tubuh manusia. Gula tetap diperlukan namun dalam porsi lebih kecil dalam makanan dan minuman kita.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 4 Maret 2015, meminta negara-negara untuk mengurangi asupan gulanya hingga kurang dari 10 persen dari kebutuhan kalori harian masyarakatnya. Jika kebutuhan energi seseorang mencapai 2.000 kilokalori (kkal), maka konsumsi gula dianjurkan kurang dari 200 kkal.
Untuk memperoleh manfaat tambahan kesehatan, konsumsi gula perlu dikurangi hingga 5 persen dari kebutuhan energi. Inilah yang membuat Asosiasi Jantung Amerika (AHA) merekomendasikan mengonsumsi gula tambahan per hari maksimal 100 kalori gula untuk perempuan dan 150 kalori gula untuk laki-laki. Jumlah itu setara 6 sendok teh atau 24 gram gula untuk perempuan dan 9 sendok teh atau 36 gram gula untuk laki-laki.
Baca juga : Konsumsi Gula Berlebih Bisa Berdampak pada Kesuburan
Gula tambahan itu adalah gula yang terdapat pada minuman atau makanan manis, gula meja, sirup, madu, jus buah, hingga aneka kudapan manis. Jumlah itu berlaku untuk mereka yang berumur lebih dari 2 tahun. Untuk bayi, jumlah maksimal gula tambahan yang disarankan adalah nol alias tidak disarankan sama sekali.
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam dan Lemak Serta Pesan Kesehatan Pada Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji masih merekomendasikan konsumsi gula harian maksimal 10 persen kebutuhan kalori per hari yang setara 4 sendok makan atau 50 gram gula.
Konsumsi gula di berbagai negara memang bervariasi. Namun, rata-rata, konsumsi gula tambahan kita per hari melebihi bahkan hingga beberapa kali lipat dari batas atas yang disarankan otoritas kesehatan atau pemerintah.
Kini, kendali konsumsi gula ada pada diri kita, bagaimana kita tetap bisa senang dan bahagia namun dengan konsumsi gula yang lebih terkendali. Hidup memang pilihan, tetapi kita memiliki pilihan untuk memilih yang terbaik bagi jiwa dan raga kita.