China-Arab Kian Erat
Presiden China Xi Jinping menghadiri pertemuan puncak dengan sejumlah pemimpin Arab di Arab Saudi, pekan ini. Peningkatan kerja sama ekonomi menjadi salah satu targetnya.
RIYADH, RABU — Presiden China Xi Jinping melawat ke Arab Saudi selama tiga hari mulai Rabu (7/12/2022). Xi akan bertemu dengan Raja Salman dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman untuk membahas beragam peluang dan rencana kerja sama bilateral.
Kedua negara dikabarkan akan menandatangani perjanjian kerja sama awal senilai lebih dari 110 miliar riyal Saudi atau 28,26 miliar dollar AS. Xi juga akan menghadiri dua konferensi tingkat tinggi (KTT), yaitu KTT Kerja Sama dan Pembangunan Riyadh-Dewan Negara Teluk (GCC)-China dan KTT Kerja Sama Pembangunan Negara Arab-China-Arab Saudi.
Guna mempersiapkan pertemuan puncak pada Jumat (9/12), para menteri anggota Dewan Negara Teluk telah berada di Riyadh. Mereka membahas agenda pertemuan puncak.
Baca juga : China Memperkuat Pengaruh di Timur Tengah
Sekretaris Jenderal GCC Naif Falah Mubarak al-Hajraf mengatakan, KTT tiga pihak ini merupakan pertemuan puncak pertama Arab Saudi, China, dan negara-negara Teluk sebagai kelanjutan dari beberapa pertemuan sebelumnya. Ia juga menekankan bahwa secara historis, China merupakan mitra dagang pertama negara-negara Teluk dan memiliki rencana kerja sama di masa depan dalam berbagai bidang.
Selain itu, Dewan Kerja Sama Teluk dan China memiliki beberapa persamaan kepentingan yang ingin mewujudkannya dalam kerja sama ekonomi, pembangunan, perdagangan, dan lainnya.
Ali Shihabi, analis Arab Saudi, mengatakan, kunjungan Xi kali ini setelah kunjungan pertamanya enam tahun silam (2016) jauh lebih dalam. ”Sebagai importir terbesar minyak Saudi, China adalah mitra yang sangat penting dan hubungan militer telah berkembang dengan kuat,” katanya.
Dikutip dari laman Arab News, kajian komprehensif China terhadap negara-negara Arab dan kawasan Timur Tengah menempatkan kawasan ini sebagai salah satu mitra di masa depan. Studi tersebut, mengutip pernyataan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian, menyebut bahwa Beijing memandang negara-negara Arab sebagai mitra strategis dalam mengejar pembangunan damai, kerja sama lebih lanjut dengan negara-negara berkembang dan membangun komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia.
Melalui sambungan telepon pada April, Xi, yang berbicara dengan Pangeran MBS, menyatakan bahwa Beijing selalu memprioritaskan upaya mempererat hubungan dengan Riyadh. Dia juga menyatakan ingin bekerja sama lebih jauh dalam bidang perdagangan dan industri teknologi tinggi dengan Arab Saudi.
Hubungan Arab Saudi dan China terus berkembang setidaknya selama satu dekade terakhir. Setelah kunjungan Raja Salman dan Pangeran MBS pada 2015 yang dibalas dengan kunjungan Xi pada 2016, 14 perjanjian kerja sama dan nota kesepahaman ditandatangani oleh kedua pemerintahan.
Perjanjian itu di antaranya adalah Sabuk Ekonomi Jalur Sutra, Prakarsa Jalur Sutra Maritim Abad Ke-21, hingga kerja sama lain yang dinilai produktif bagi hubungan ekonomi dan perdagangan kedua negara. Di bidang ruang angkasa, China-Arab Saudi juga menjalin kerja sama untuk eksplorasi ruang angkasa dengan penandatanganan nota kesepahaman pada Maret 2017.
Dikutip dari laman kantor berita Arab Saudi, SPA, China dalam lima tahun terakhir telah menjadi tujuan utama ekspor Arab Saudi. Total volume perdagangan kedua negara pada 2021 mencapai 309 miliar riyal, meningkat hingga hampir 40 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Nilai ekspor Arab Saudi sendiri mencapai 92 miliar riyal. Separuh di antaranya berasal dari sektor nonmigas.
Sementara dalam hal investasi, nilai investasi Arab Saudi di China baru mencapai 8,6 miliar riyal. Ini menempatkan Arab Saudi di peringkat ke-12 negara investor terbesar di ”Negeri Tirai Bambu” tersebut. Sebaliknya, nilai investasi China di Arab Saudi mencapai 28 miliar riyal hingga akhir 2021.
Arab Saudi saat ini adalah mitra dagang terbesar China di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Arab Saudi juga merupakan pemasok minyak mentah global terbesar ke raksasa Asia itu.
Berdasarkan catatan Kompas, pada Maret 2021, perusahaan minyak milik Arab Saudi, Aramco, memastikan akan menjadi pemasok utama minyak ke China selama 50 tahun ke depan. Saat itu, CEO Aramco Amin Nasser menyatakan, keamanan pasokan energi yang berkelanjutan bagi China adalah prioritas utama bagi perusahaan tersebut (Kompas, 23/3/2021).
Kebutuhan kawasan
Baca juga : AS Berpeluang Kembali Ekspor Persenjataan ke Arab Saudi
Sejumlah pengamat di kawasan Timur Tengah menilai KTT China dan negara-negara Arab itu akan membuka prospek ekonomi di tengah situasi ekonomi dan geopolitik global yang muram akibat perang Ukraina dan Rusia.
”KTT Saudi-China membuka jalan bagi hubungan ekonomi yang lebih dekat antara Timur dan Barat. Menurut perspektif strategis, hal itu akan membuat kawasan Timur Tengah lebih aman dan stabil,” kata Fadel bin Saad Al-Buainain, anggota Dewan Syura Arab Saudi, dikutip dari media Asharq Al Awsat.
Kerja sama negara-negara Timur Tengah dengan China dilakukan dalam kerangka Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI). Dikutip dari laman Xinhua, China telah menandatangani perjanjian kerja sama BRI dengan 20 negara Arab dan Liga Arab. Kedua belah pihak telah melaksanakan lebih dari 200 proyek kerja sama berskala besar di bidang energi, infrastruktur, dan bidang lainnya.
”Proyek-proyek ini adalah jalur penting bagi negara-negara Arab untuk mencapai tujuan pembangunan mereka,” kata Nasser Abdel-Aal, profesor bahasa China dan wakil dekan di Fakultas Al-Alsun (Bahasa) di Universitas Ain Shams, Kairo.
Salah satu hal yang bisa dimanfaatkan dari kerja sama antara Irak dengan China, menurut Sarmad Kamil Ali, Wakil Kepala Tim Teknik Dewan Pengembangan Gurun Irak adalah mengubah padang pasir di negaranya menjadi oasis. Kamil Ali, yang belajar tentang manajemen gurun (pengendalian pasir) di China sejak 2013 berharap negaranya bisa menyerap pengetahuan tentang pembangunan hijau China yang dinilai berhasil mengembangkan luasan tutupan lahan kering menjadi hutan dalam 10 tahun terakhir di negaranya.
Baca juga : Biden Kelola Persaingan Senjata di Timur Tengah
Ahmed Kandil, Kepala Pusat Studi Internasional Pusat Studi Politik dan Strategis di Kairo, mengatakan, salah satu hal yang menarik bagi negara-negara Arab serta Timur Tengah dalam menjalin kerja sama dengan China adalah prinsip netralitas dan penghormatan pada negara masing-masing.
”Inisiatif China dicirikan oleh netralitas, obyektivitas, dan penghormatan terhadap kondisi domestik negara-negara berkembang, dengan fokus pada peningkatan standar hidup rakyat. Itu sebabnya, mereka sangat disambut baik oleh negara-negara berkembang,” kata Kandil.
Baca juga : Perseteruan AS-Saudi Memanas, dari Buka Kartu hingga Saling Menelanjangi
Analisis seorang perwira militer Kuwait, Kolonel Saud Al Hasawi, di laman Pusat Studi Strategis Timur Dekat Asia Selatan (Near East South Asia Center for Strategic Studies) menyatakan, Amerika Serikat tak perlu terlalu khawatir bahwa hubungan ekonomi antara China dan Arab Saudi dan negara-negara Teluk akan membuat hubungan dengan AS menjadi renggang.
”Negara-negara itu mencari mitra untuk mengembangkan dan mendiversifikasi ekonominya. Negara-negara Teluk dan Arab tahu bahwa aliansi politik yang terlalu kuat dengan China lebih berisiko dan tidak berguna,” katanya. (AP/AFP)