China memperluas pengaruh ke kawasan Timur Tengah dengan memperdalam kerja sama dengan Arab Saudi. Namun, Arab Saudi tak bisa menjauh dari Amerika Serikat yang memberi jaminan perlindungan dan keamanan dari Iran.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
DUBAI, SELASA — Presiden China Xi Jinping akan melawat ke Arab Saudi selama tiga hari mulai Rabu (7/12/2022). Menurut rencana, Xi akan bertemu dengan Raja Salman dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman untuk membahas beragam peluang dan rencana kerja sama bilateral.
Kedua negara dikabarkan akan menandatangani perjanjian kerja sama awal senilai lebih dari 110 miliar riyal Saudi atau 28,26 miliar dollar AS. Xi juga akan bertemu Dewan Kerja Sama Teluk serta para pemimpin negara lain di Timur Tengah.
Kantor berita Arab Saudi, Saudi Press Agency (SPA), Selasa (6/12/2022), menyebutkan, tujuan lawatan Xi adalah untuk mengembangkan hubungan ekonomi dan mempererat kerja sama strategis dengan Arab Saudi yang merupakan penyedia minyak utama bagi China. Belasan kesepakatan terkait energi dan investasi diharapkan akan dihasilkan dari pertemuan ini.
Dalam kunjungan pertamanya sejak 2016 ini, Xi kemungkinan akan membahas keamanan regional dengan Arab Saudi. Saat ini hubungan Arab Saudi dan AS sedang buruk karena isu kebijakan energi, keamanan regional, hingga hak asasi manusia (HAM).
Selama ini China melihat Arab Saudi sebagai sekutu utamanya di kawasan Timur Tengah. Bukan hanya karena kepentingannya sebagai pemasok minyak, melainkan juga sebagai negara yang sama-sama memiliki kecurigaan terhadap campur tangan Barat, terutama dalam isu-isu HAM. Menteri Luar Negeri China Wang Yi, Oktober lalu, pernah mengatakan, Arab Saudi menjadi ”prioritas” dalam strategi diplomatik China secara keseluruhan dan regional.
”Kunjungan Xi mencerminkan hubungan lebih mendalam. China adalah mitra yang sangat penting dan hubungan militer kedua negara juga berkembang kuat,” kata Ali Shihabi, analis Arab Saudi yang dekat dengan pemerintah.
Torbjorn Soltvedt dari perusahaan intelijen risiko Verisk Maplecroft menduga minyak akan menjadi agenda utama karena China dan Arab Saudi adalah dua pemain terpenting di pasar minyak. Arab Saudi di sisi penawaran dan China di sisi permintaan. ”Ada potensi keduanya meningkatkan kerja sama dalam pembangunan infrastruktur, seperti kilang,” ujarnya.
Selain bidang energi, kedua negara mungkin akan membahas kesepakatan yang bisa membuat perusahaan China menjadi lebih terlibat dalam proyek-proyek besar yang merupakan bagian dari visi Pangeran Mohammed untuk mendiversifikasi ekonomi Arab Saudi dari minyak. Proyek-proyek itu termasuk pembangunan kota futuristik senilai 500 miliar dollar AS yang dikenal sebagai NEOM. Ini adalah impian kota kognitif yang akan sangat bergantung pada teknologi pengenalan wajah dan teknologi pengawasan.
Negara-negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) menyediakan pasar luas untuk barang-barang China, kontrak konstruksi, dan peluang investasi di bidang infrastruktur, manufaktur, dan ekonomi digital yang sesuai dengan Inisiatif Sabuk dan Jalan China. Direktur Pelaksana SIA Energy International Fareed Mohamedi mengatakan, GCC menginginkan investasi asing langsung yang tidak hanya memenuhi permintaan lokal, tetapi juga memungkinkan integrasi ke dalam rantai pasokan global. ”Perusahaan China bisa membantu mewujudkan itu,” ujarnya.
Arab Saudi hendak mengurangi ketergantungannya pada minyak dengan menciptakan industri baru yang dapat menghasilkan lapangan kerja bagi rakyat. Arab Saudi bersaing dengan pusat komersial regional, yakni Uni Emirat Arab (UEA), untuk menjadi pusat transportasi dan logistik. Caranya termasuk dengan mengembangkan pelabuhan laut untuk memanfaatkan posisi strategis kawasan antara Asia, Afrika, dan Eropa.
Arab Saudi dan UEA sama-sama berinvestasi dalam teknologi masa depan sebagai pilar diversifikasi ekonomi. Perusahaan teknologi raksasa milik China, Huawei, sedang membangun pusat data baru di Arab Saudi dan ini akan menjadi yang kedua di kawasan itu setelah Abu Dhabi. Perusahaan daring raksasa, Alibaba, juga sudah bermitra dengan STC Group untuk layanan Cloud di Arab Saudi.
Pakar hubungan Arab Saudi dan China di Institut Studi Politik Internasional Italia, Naser al-Tamimi, menilai Arab Saudi adalah negara yang sedang berubah serta mencoba mengubah struktur ekonomi dan struktur kebijakan luar negerinya. Ini cocok dengan China yang pada saat bersamaan juga ingin mempertahankan strategi yang relatif seimbang di Timur Tengah.
Meski mendekat ke China dan memiliki kerja sama dalam produksi dan penjualan senjata, tidak lantas Arab Saudi mau menjauh dari AS. China tidak bisa memberikan jaminan keamanan dan perlindungan seperti halnya AS pada Arab Saudi yang selama bertahun-tahun hidup di bawah ancaman serangan pesawat tak berawak dari pemberontak Houthi yang didukung Iran di Yaman.
”Meningkatkan hubungan dengan China itu jelas menjadi prioritas Arab Saudi. Tetapi, Arab Saudi juga tidak bisa menjauh dari AS selama dinamika kawasan regional masih seperti itu dan selama Arab Saudi sangat rentan terhadap serangan militer Iran,” kata Soltvedt. (REUTERS/AFP)