Perseteruan AS-Saudi Memanas, dari Buka Kartu hingga Saling Menelanjangi
Selama puluhan tahun, hubungan Arab Saudi-AS lebih dilandasi kebutuhan transaksional melalui formula ”minyak untuk keamanan”. Pangeran Mohammed bin Salman berupaya merevisinya dan tak mau tunduk pada tekanan AS.
RIYADH, JUMAT — Perseteruan antara Arab Saudi dan Amerika Serikat terkait keputusan pemangkasan produksi minyak oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC+) memasuki ranah baru. Perseteruannya kini berlangsung semakin terbuka, blak-blakan, dan bahkan cenderung saling ”menelanjangi” posisi masing-masing. Sejak kemitraan dua negara itu terjalin setelah Perang Dunia II, jarang terjadi perselisihan mereka sebanal ini.
Pada Kamis (13/10/2022) WIB atau Rabu di Washington, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi merilis pernyataan pada laman kedutaan besarnya untuk AS. Pernyataan itu cukup panjang, berisi respons atas tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepada Riyadh.
Pada 5 Oktober 2022, Arab Saudi dan Rusia beserta negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC)+ bersepakat memangkas produksi minyak sebesar 2 juta barel per hari mulai November mendatang. AS menuding Riyadh mengikuti kemauan Moskwa dalam melawan rencana AS dan Barat mematok harga minyak Rusia guna memangkas pendapatan negara itu.
Baca juga: Buntut Persekutuan Riyadh-Moskwa, Biden Kaji Ulang Relasi dengan Saudi
Dalam wawancara dengan televisi CNN, Selasa (11/10/2022), Presiden AS Joe Biden menegaskan, akan ada balasan terhadap Arab Saudi. Sejumlah anggota DPR dan Senator AS—khususnya dari Partai Demokrat—juga meluapkan kemarahan dan mendesak Gedung Putih untuk mengkaji ulang hubungan dengan Arab Saudi.
Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan sebenarnya telah mencoba meredakan kemarahan di Washington. Ia mengatakan, keputusan OPEC+ semata atas pertimbangan ekonomi. Keputusan itu, lanjut Faisal, diambil secara bulat oleh para anggotanya. ”Para anggota OPEC+ bertindak secara bertanggung jawab dan mengambil keputusan yang tepat,” katanya kepada televisi Arab Saudi, Al Arabiya.
Kedutaan Arab Saudi di Washington juga mengeluarkan pernyataan bahwa relasi AS-Saudi adalah ”hubungan yang strategis” serta ”telah meningkatkan keamanan dan stabilitas di Timur Tengah”. Melalui pernyataan-pernyataan itu, para pejabat di Riyadh seolah ingin mengingatkan Washington agar tidak bersikap emosional dan memikirkan masak-masak sebelum mengambil langkah-langkah yang memengaruhi hubungan AS-Arab Saudi.
Baca juga : Sanksi AS pada Arab Saudi Bisa Memukul Balik Washington
Namun, pernyataan-pernyataan tersebut dirasa belum cukup oleh Riyadh. Berselang sehari, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengeluarkan pernyataan tertulis sepanjang sembilan paragraf. Selain memaparkan alasan dan proses pengambilan keputusan OPEC+, Riyadh mengkritik tudingan yang mengaitkan keputusan itu dengan perang Rusia di Ukraina.
”Pemerintah Kerajaan Arab Saudi menegaskan, setiap upaya mendistorsi fakta-fakta seputar posisi Kerajaan terkait krisis di Ukraina sebagai hal yang disesalkan,” demikian sebagian isi pernyataan itu.
”Kerajaan (Arab Saudi) menekankan bahwa sembari berupaya keras memelihara kokohnya hubungan dengan seluruh negara sahabat, (Kerajaan) menegaskan menolak semua upaya mendikte, tindakan, atau cara-cara untuk mendistorsi tujuan-tujuan mulia dalam melindungi ekonomi global dari guncangan pasar minyak.”
Sebagian bagian dari upaya membuktikan kebijakan luar negeri yang tidak memihak Moskwa, dalam voting sidang Majelis Umum PBB, Rabu (12/10/2022), Arab Saudi memilih posisi mengecam keras ”upaya aneksasi ilegal” Rusia di empat wilayah Ukraina.
”Buka-bukaan” kartu
Ada bagian menarik dan menyentak dalam pernyataan Kemenlu Arab Saudi tersebut. Pernyataan itu mengungkap upaya Pemerintah AS yang membujuk pejabat Arab Saudi agar menunda keputusan pemangkasan produksi minyak sebulan. Jika keputusan OPEC+ dikeluarkan pada 5 Oktober 2022, sesuai permintaan Washington yang diungkap Kemenlu Arab Saudi, AS berharap keputusan OPEC+ keluar pada 5 November 2022 atau beberapa hari menjelang pemilihan umum sela di AS yang jatuh pada 8 November.
Baca juga : Tumbangnya Penjaga Konservatisme Partai Republik, Alarm Kebangkitan Trump
”Pemerintah Kerajaan (Arab Saudi) mengklarifikasi dalam konsultasi yang digelar terus-menerus dengan Pemerintah AS bahwa seluruh analisis ekonomi mengindikasikan penundaan keputusan OPEC+ selama sebulan, seperti yang telah diusulkan, bakal membawa konsekuensi negatif bagi ekonomi,” demikian Kemenlu Arab Saudi membuka ”kartu AS”.
Pernyataan tersebut mengonfirmasi laporan harian AS, Wall Street Journal, pekan ini yang mengutip pernyataan pejabat Arab Saudi. Dalam laporan itu, pejabat Arab Saudi yang tidak disebutkan namanya mengungkapkan desakan AS agar OPEC+ menunda keputusan pemangkasan produksi minyak hingga mendekati pemilu sela di AS. Pejabat Arab Saudi itu menyebut langkah Washington sebagai upaya Presiden Joe Biden memetik keuntungan politik menjelang pemilu sela AS.
Apa hubungan antara pemangkasan produksi minyak dan pemilu sela di AS?
Menurut kalkulasi Washington, yang saat ini dikuasai para politisi Demokrat, penundaan keputusan pemangkasan produksi minyak itu diperkirakan juga akan bisa menunda kenaikan harga gas dan energi hingga setelah hari pemungutan suara pemilu sela, 8 November. Kenaikan harga minyak dan harga bahan bakar menjadi pemicu utama inflasi di AS dan seluruh dunia.
Berdasarkan data Departemen Tenaga Kerja AS, Kamis (13/10/2022), inflasi pada September sebesar 8,2 persen, turun dari 8,3 persen pada Agustus. Namun, inflasi inti, dengan tidak memasukkan komponen energi dan bahan pangan, naik menjadi 6,6 persen pada September dari 6,3 persen pada Agustus. Inflasi inti pada September tersebut merupakan yang tertinggi sejak 1982.
Baca juga : Inflasi di AS Tidak Mereda, Pasar Global Bergolak
Bagi Biden, kenaikan harga bahan bakar bisa memengaruhi keputusan para pemilih dalam pemilu sela. Dalam pemilu sela nanti, dominasi Partai Demokrat di DPR tengah digoyang Partai Republik. Republikan mengincar setidaknya lima kursi DPR. Mereka menjadikan isu ekonomi, khususnya inflasi dan kenaikan harga bahan bakar, sebagai senjata untuk memengaruhi para pemilik suara.
Pernyataan Kemenlu Arab Saudi tidak secara eksplisit mengaitkan permintaan Washington terkait keputusan OPEC+ dengan pemilu sela di AS. Namun, Gedung Putih sudah kebakaran jenggot. Koordinator Komunikasi Strategis pada Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby melontarkan pernyataan balasan yang tak kalah pedas.
Keputusan OPEC+ memangkas produksi minyaknya, kata Kirby, Kamis (13/10/2022), merupakan ”dukungan moral dan militer karena hal itu akan membuat (Putin) terus mendapatkan pembiayaan mesin perangnya”. ”Jelas, hal itu membuat Putin memperoleh kenyamanan,” tambah Kirby.
”Kami telah menyampaikan kepada Arab Saudi analisis yang menunjukkan bahwa tidak ada dasar pada situasi pasar untuk memangkas produksi (minyak) dan mereka bisa dengan mudah menunda (keputusan pemangkasan produksi minyak) itu pada pertemuan OPEC berikutnya, sambil memantau perkembangan yang terjadi,” jelas Kirby.
Ia, seperti halnya Kemenlu Arab Saudi, tidak ketinggalan pula membuka ”kartu Riyadh”. ”Negara-negara OPEC yang lain berkomunikasi secara diam-diam kepada kami bahwa mereka sebenarnya tidak sepakat dengan keputusan Saudi, tetapi dipaksa mendukung arahan Saudi,” kata Kirby.
Apa yang akan terjadi?
Akankah hubungan Washington-Riyadh akan retak? Beberapa anggota DPR dan Kongres AS mendesak agar Biden mengkaji ulang hubungan Washington-Riyadh. Bentuk rekalibrasi hubungan itu bermacam-macam, mulai dari upaya legalisasi Undang-Undang yang memungkinkan AS menggugat Arab Saudi ke pengadilan AS, penghentian dukungan persenjataan dan militer, hingga pembekuan seluruh kerja sama dengan Arab Saudi.
Baca juga : Biden Balas Arab Saudi
Namun, sejumlah sumber dan pakar di kawasan Teluk tidak yakin situasi saat ini akan berujung pada putusnya hubungan AS-Arab Saudi. Kedua pihak sama-sama menghadapi beberapa keterbatasan—karena masih memiliki ketergantungan satu sama lain—untuk saling menekan dalam isu ini.
Washington tidak ingin menempuh langkah-langkah yang bisa mengancam keamanan sektor minyak Arab Saudi. Gangguan pada sektor minyak di negara itu dikhawatirkan justru mengakibatkan semakin tidak terkendalinya kenaikan harga minyak. Selain itu, tindakan terlalu keras bisa membuat Riyadh mengalihkan haluan dari Washington ke Beijing atau Moskwa.
”Mereka yakin, para pejabat Amerika (Serikat) tidak dapat bertindak terlalu jauh dalam menghukum Arab Saudi. Jadi, ini hanya bakal menjadi pertarungan untuk mewujudkan keinginan masing-masing dan unjuk kedaulatan dalam mengambil keputusan,” ujar salah seorang sumber di Teluk yang dikutip Reuters. Pejabat Arab Saudi sudah mengalkulasi, mereka mampu meredam opsi-opsi pembalasan Washington, tambah sumber itu.
Paling banter yang bisa dilakukan AS, menurut Elisabeth Kendall, pakar Timur Tengah di Girton College, Cambridge, adalah menghentikan penjualan senjata ke Arab Saudi. ”Tantangan (bagi Washington) adalah AS masih memiliki kepentingan strategis dan ekonomi untuk terus memasok persenjataan ke Saudi agar negara itu dapat menjaga infrastruktur minyaknya dan mencegah (Riyadh) menjalin hubungan lebih dekat ke Rusia dan China,” jelasnya.
Namun, bukan berarti posisi Arab Saudi berada di atas angin. Riyadh juga sadar, pihaknya tidak dapat dengan mudah mendiversifikasi pasokan persenjataan untuk militernya di luar dari AS. Sejak menjalin hubungan tahun 1945, Arab Saudi sudah sedemikian besar memperoleh perlengkapan senjata atau pelatihan militer dari AS.
Jeremy Binnie, ahli pertahanan Timur Tengah di lembaga Janes, mengungkapkan bahwa ketergantungan terbesar Arab Saudi pada persenjataan dari AS adalah persenjataan terkait kemampuan pertahanan dan serangan udara. Jika begitu saja mencoret AS sebagai pemasok persenjataan dengan kemampuan itu, Arab Saudi bakal kesulitan mencari negara pengganti dengan kapabilitas sepadan.
Faktor MBS
Di luar hal tersebut di atas, ada faktor lain yang perlu dicermati, yakni sosok Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) selaku pemimpin de facto Arab Saudi saat ini. Mohamad Bazzi, Direktur Pusat Hagop Kevorkian pada Studi-studi Timur Dekat dan profesor jurnalisme di New York University, AS, menyebut, MBS saat ini tengah mengubah pemahaman selama puluhan tahun yang melandasi hubungan Arab Saudi dan AS.
Secara teknis, AS dan Arab Saudi bukan mitra aliansi, tulis Bazzi dalam artikel di harian Guardian. Kedua negara itu tidak pernah menandatangani kesepakatan atau traktat formal pertahanan bersama. Selama puluhan tahun, hubungan Arab Saudi-AS umumnya lebih dilandasi kebutuhan transaksional: Riyadh memanfaatkan posisinya di OPEC (kini OPEC+) untuk mengatur produksi dan harga minyak yang sesuai kepentingan Washington. Imbalannya, pemerintahan AS selalu mendukung Keluarga Besar Ibnu Saud, penguasa Arab Saudi, lewat penjualan senjata atau perlindungan militer jika ada ancaman.
Baca juga : Lawatan Biden ke Arab Saudi dan Kemenangan Diplomasi MBS
Minyak untuk keamanan (oil for security), demikian istilah terkenal yang menggambarkan hubungan transaksional Arab Saudi-AS. Selama puluhan tahun pemerintahan di AS, silih berganti di tangan politisi Demokrat dan Republik, tidak mengubah langgam hubungan tersebut. Beberapa peristiwa besar, sejak krisis embargo minyak Arab tahun 1970-an hingga serangan 11 September 2001—tidak sampai merusak relasi Riyadh-Washington berkat kokohnya hubungan transaksional tersebut.
Namun, kehadiran MBS bisa mengubah pola hubungan itu. Hubungan kedua negara mulai tidak nyaman terkait respons Biden terhadap invasi Arab Saudi ke Yaman, kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi tahun 2018, dan terakhir soal penundaan AS memberi status imunitas pada MBS dalam kasus Khashoggi setelah MBS ditetapkan sebagai perdana menteri Arab Saudi.
Baca juga : Raja Salman Ubah Formasi Kabinet, MBS Diangkat Jadi PM Arab Saudi
”Putra Mahkota (MBS) meyakini, pemerintahan AS menarget dirinya. Itu sebabnya, ia memutuskan untuk melawan hal itu dan membuktikan kekuatan posisinya di dalam kerajaan. Ia tidak mau ambil pusing soal posisi AS,” ujar sumber di kawasan Teluk kepada Reuters.
”MBS adalah sosok penuh kebanggaan pada dirinya,” kata Ali Shihabi, komentator Arab Saudi yang dekat dengan keluarga besar Ibnu Saud. ”AS jelas adalah mitra yang diinginkan MBS untuk dijaga hubungannya. Tetapi, ia juga tidak akan membiarkan negaranya tunduk pada belas kasihan keinginan para politisi AS.”
”Ia sudah berupaya keras sejak hari pertama dengan memberi sinyal pada AS bahwa ia menginginkan hubungan yang istimewa. Tetapi, para politisi AS terus-menerus mengobral isu Khashoggi yang sudah diakui (MBS) sebagai kesalahan yang mengerikan, empat tahun silam,” jelas Shihabi.
Shihabi mengingatkan, tindakan balasan AS yang berlebihan terhadap Arab Saudi hanya ”akan mempercepat upaya Arab Saudi mendiversifikasi hubungan militer Saudi, tidak hanya dengan China dan Rusia, tetapi juga dengan Perancis, Inggris, India dan Pakistan, serta bahkan juga Brasil dan Afrika Selatan.” (AP/AFP/REUTERS/MHD/MON)