Buntut Persekutuan Riyadh-Moskwa, Biden Kaji Ulang Relasi dengan Saudi
Presiden AS Joe Biden bersiap untuk membalas kebijakan Arab Saudi bersama OPEC+ memangkas produksi minyak. Ia menilai Riyadh mengganjal upaya Washington mengisolasi Rusia lewat pematokan harga minyak.
WASHINGTON, RABU — Washington akan meninjau ulang hubungan dengan Arab Saudi sebagai respons atas langkah Riyadh bersama negara-negara produsen minyak, OPEC+, termasuk Rusia, memangkas produksi minyak. Suara-suara di Kongres Amerika Serikat menyerukan pemutusan seluruh hubungan kerja sama dengan Saudi.
Dalam wawancara dengan televisi CNN, Selasa (11/10/2022), Presiden AS Joe Biden menegaskan, akan ada balasan terhadap Arab Saudi. ”Saya tidak akan membahas apa yang saya pertimbangkan dan apa yang ada dalam pikiran saya. Tetapi, akan ada konsekuensinya,” katanya.
Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby mengatakan, Biden akan berkoordinasi dengan Kongres untuk merumuskan bentuk hubungan yang tepat dengan Riyadh. ”Beliau akan segera memulai koordinasi itu. Mudah-mudahan hasilnya bisa diketahui dalam waktu dekat,” ujarnya.
Juru Bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre menambahkan, evaluasi ulang hubungan dengan Arab Saudi memang akan segera dilakukan. Belum diketahui siapa yang akan memimpin tim evaluasi dan apa bentuknya. ”AS akan memantau ketat perkembangan di masa mendatang,” katanya.
Baca juga : Arab Saudi-China Tantang G7 soal Pemangkasan Harga Minyak Rusia
Pada 5 Oktober lalu, Arab Saudi dan Rusia serta negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC)+ bersepakat memangkas produksi minyak sebesar 2 juta barel per hari mulai November mendatang.
Besaran pemangkasan produksi itu setara 2 persen produksi minyak global saat ini dan menjadi pemangkasan terbesar sejak pandemi tahun 2020. AS menuding Arab Saudi mengikuti kemauan Rusia, yang tengah melawan rencana AS dan Barat mematok harga minyak Rusia guna memangkas pendapatan Moskwa.
Baca juga : OPEC+ Pangkas Produksi, Harga Minyak Bisa Tembus 100 Dollar AS Per Barel Lagi
Keputusan Arab Saudi dan mitranya memangkas produksi dinilai menjegal upaya AS menghukum Rusia. Untuk memuluskan rencananya, Biden sudah berusaha membujuk Arab Saudi—termasuk berkunjung ke Riyadh dan menemui Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman—dan sejumlah negara lain agar menaikkan produksi minyak.
Bukan itu saja. Beberapa pejabat AS juga terus membujuk Riyadh agar menunda keputusan pemangkasan produksi minyak hingga setidaknya November nanti. Sheikh Mohammed bin Zayed al-Nahyan, Presiden Uni Emirat Arab, mengirim penasihat keamanan nasionalnya ke Riyadh, mengingatkan agar Arab Saudi berhati-hati. Namun, semua permintaan dan bujukan itu ditolak Arab Saudi.
Mitra strategis
Menanggapi kemarahan Washington, Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan mengatakan, keputusan OPEC+ semata atas pertimbangan ekonomi dan diambil secara bulat oleh para anggotanya. ”Para anggota OPEC+ bertindak secara bertanggung jawab dan mengambil keputusan yang tepat,” katanya kepada televisi Arab Saudi, Al Arabiya.
Kedutaan Arab Saudi di Washington juga mengeluarkan pernyataan bahwa relasi AS-Saudi adalah ”hubungan yang strategis” serta ”telah meningkatkan keamanan dan stabilitas di Timur Tengah”.
Kemitraan kedua negara terjalin setelah Perang Dunia II. Riyadh mendapat proteksi militer dari AS dengan imbalan akses Washington terhadap minyak Arab Saudi. Bagi AS, hubungan dengan Riyadh juga penting dalam menangkal pengaruh Iran.
Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS Bob Menendez menyatakan, ia akan menolak penjualan senjata ke Arab Saudi. Ia juga tidak akan menyetujui semua bentuk kerja sama dengan Riyadh.
”Saya tak akan menyetujui kerja sama apa pun dengan Riyadh sampai kerajaan itu membuat posisi terhormat terkait perang Ukraina. Tak ada tempat untuk memihak dua sisi dalam konflik ini,” kata senator Demokrat itu.
”Pilihannya adalah mendukung dunia bebas dalam mencoba menghentikan penjahat perang yang berusaha menghapuskan sebuah negara atau mendukung penjahat itu. Kerajaan (Arab Saudi) itu sepertinya memilih mendukung penjahat semata demi kepentingan ekonomi,” lanjut Menendez.
Keputusan Arab Saudi dan para mitranya di OPEC+ memangkas produksi menghancurkan upaya AS menghukum Rusia. Selama berbulan-bulan, AS berusaha menghentikan Rusia memperoleh pendapatan dari ekspor migas.
Tanpa kenaikan produksi minyak dari Arab Saudi dan sejumlah negara, sulit memaksakan sanksi AS dan sekutunya pada industri migas Rusia. Sebab, dunia perlu pengganti jika hingga 11 persen kebutuhan migas global dari Rusia terhenti gara-gara sanksi AS.
Baca juga : Prospek Makin Gelap, IMF Revisi Lagi Pertumbuhan 2023
Sejumlah pejabat Arab Saudi mencoba meyakinkan Washington bahwa mereka siap untuk meningkatkan produksi secara signifikan pada bulan Desember saat Uni Eropa akan membatasi ekspor minyak mentah Rusia. Untuk menenangkan para pemimpin Amerika, Arab Saudi kemungkinan akan memilih menentang pencaplokan Rusia atas provinsi-provinsi Ukraina dalam pemungutan suara di Majelis Umum PBB pekan ini.
Kepentingan domestik
Selain terkait kepentingan di panggung internasional, terkait hubungan dengan Arab Saudi, Biden butuh tambahan pasokan minyak untuk kepentingan dalam negeri AS. Kini, harga BBM di AS sudah menembus Rp 33.000 per liter. Sebelum Rusia menyerang Ukraina, harga BBM di AS masih di bawah Rp 14.000 per liter.
Jika harga BBM di AS tidak kunjung turun, Demokrat akan kesulitan menghadapi pemilu sela pada November 2022. Para pemilih bisa menuding Biden dan pemerintahannya gagal menyediakan perekonomian lebih baik bagi warga.
Baca juga : Rusia-Ukraina Makin Panas, Inflasi Cenderung Terbang Tinggi
Selama beberapa bulan terakhir, Biden dan Partai Demokrat terus berupaya untuk meningkatkan kepercayaan calon pemilih terhadap partai, terutama karena prospek perekonomian yang tak menentu dan dukungan terhadap Biden yang menurun. Saat ini, Partai Republik mengincar setidaknya lima kursi DPR dan menjadikan isu ekonomi, khususnya inflasi dan kenaikan harga bahan bakar, sebagai senjata mereka untuk memengaruhi para pemilik suara.
Senator Demokrat Dick Durbin menyebut Arab Saudi sebagai pengkhianat. Ia berpandangan, AS harus mulai membuat dunia tanpa melibatkan Arab Saudi. Ia juga mendorong Kongres segera mengesahkan Undang-Undang Antikartel Ekspor dan Produksi Minyak (NOPEC). UU itu akan memberi Departemen Kehakiman AS kewenangan menggugat anggota OPEC ke pengadilan AS dengan tudingan persaingan usaha tidak sehat.
Adapun sejumlah anggota DPR AS dari Demokrat mengusulkan rancangan undang-undang yang memaksa penarikan seluruh tentara dan persenjataan AS dari Arab Saudi. ”Ini waktunya AS bertindak sebagai negara besar dalam hubungan dengan negara di Teluk,” kata Tom Malinowski, salah seorang pengusul RUU itu.
Senator Richard Blumenthal membenarkan pembahasan itu. Senat mendukung langkah DPR untuk menghentikan segera semua pengiriman senjata dan prajurit AS ke Arab Saudi. ”Selama bertahun-tahun, Kongres sudah berkali-kali membahas isu ini. Selalu gagal karena banyak pendukung Arab Saudi. Sekarang, situasinya berbeda,” katanya.
Ia juga mengatakan, AS bisa menanggapi keputusan Arab Saudi dengan segera menghentikan pengiriman semua jenis teknologi perminyakan dan persenjataan. ”AS harus berhenti memasok negara yang ternyata menjadi sekutu Vladimir Putin,” ujar Blumenthal.
Perlu hati-hati
Aaron David Miller, senior fellow pada lembaga Carnegie Endowment for International Peace, dalam ulasannya pada laman Foreign Policy, memahami rencana tindakan balasan yang akan diambil oleh Biden. Akan tetapi, pada saat yang sama, dia juga mengingatkan agar keputusan itu dipertimbangkan masak-masak karena akan memberikan dampak luar biasa, tidak hanya bagi hubungan kedua negara, tetapi juga kawasan lain, termasuk Eropa.
Miller mengatakan, setidaknya ada tiga elemen yang harus diperhatikan oleh pemerintahan Biden sebelum ”membalas” Arab Saudi. Pertama, apakah respons atau kebijakan yang akan diambil dirancang untuk mengubah perilaku Arab Saudi atau hanya sekadar untuk menghukum.
Baca juga : Dunia Berburu Dollar AS
Elemen kedua adalah apakah dalam sejarah hubungan bilateral atau multilateral ada contoh sanksi yang berhasil mengubah perilaku ”musuh”. ”Apalagi, ini akan diterapkan pada negara yang dianggap sebagai sekutu dekat,” tulis Miller.
Dan yang terakhir, Miller mengingatkan bahwa meski minyak adalah aspek penting yang melandasi hubungan kedua negara, sektor migas hanyalah satu dari banyak komponen yang melandasi hubungan AS-Arab Saudi. ”Kerja sama kontraterorisme dan Iran juga merupakan tujuan utama AS yang tidak boleh terancam,” tulisnya.
Miller menyatakan, upaya AS untuk membalas tindakan Arab Saudi juga harus dikomunikasikan dengan Eropa, terutama Perancis dan Inggris. Bagaimanapun, katanya, keputusan OPEC+ memberikan dampak yang lebih keras pada Inggris, Perancis, dan negara-negara Eropa lainnya ketimbang AS. ”Prospek gangguan pasokan lebih lanjut setelah sanksi minyak Eropa terhadap Rusia dimulai pada bulan Desember hanya akan membuat pasar minyak lebih genting,” katanya. (AP/AFP/REUTERS)