Rusia-Ukraina Makin Panas, Inflasi Cenderung Terbang Tinggi
Babak baru eskalasi perang Rusia-Ukraina menyebabkan gangguan rantai pasok akan semakin intens. Dalam jangka pendek, dampaknya adalah kenaikan harga pangan dan energi, termasuk di Indonesia.
Oleh
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Perang Rusia-Ukraina memasuki babak baru yang makin eskalatif. Gangguan rantai pasok global yang sudah berlangsung selama ini akan makin intens. Akibatnya, harga energi dan pangan diperkirakan akan kembali meroket. Ujung-ujungnya inflasi cenderung terbang tinggi.
”Eskalasi perang Rusia-Ukraina ini sama sekali bukan kejutan. Banyak pakar memprediksi perang akan terus bereskalasi dan ini belum yang puncak,” kata ekonom Agustinus Prasetyantoko yang juga Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta di Jakarta, Selasa (11/10/2022).
Perang Rusia-Ukraina yang pecah sejak 24 Februari 2022 telah memasuki bulan kedelapan. Sejak Rusia mengklaim empat provinsi di Ukraina timur sebagai wilayahnya melalui referendum pada akhir September, perang memasuki babak baru yang makin eskalatif.
Dalam jangka pendek, kondisi ini terutama akan menyebabkan kenaikan harga energi dan pangan.
Menyusul langkah Moskwa tersebut, terjadi ledakan di jembatan di Crimea, Sabtu (8/10), yang diduga dilakukan pihak Kyiv. Selang tiga hari kemudian, militer Rusia membombardir kota-kota di Ukraina dan menjadi serangan Rusia termasif sejauh ini.
Perkembangan situasi terbaru dalam perang Rusia-Ukraina tersebut, menurut Prasetyantoko, berdampak langsung pada gangguan rantai pasok global. Dalam jangka pendek, kondisi ini terutama akan menyebabkan kenaikan harga energi dan pangan.
”Kalaupun pasokannya tidak berkurang, harga akan naik karena gangguan pada rantai distribusinya,” ujarnya.
Makin rumit
Dampak lainnya, kata Prasetyantoko, eskalasi perang Rusia-Ukraina memperumit persoalan global yang sudah rumit. Dengan demikian, resesi global yang sudah hampir pasti terjadi akan makin terakselerasi realisasinya.
Ini khususnya akan terjadi di Eropa dan negara-negara yang memiliki hubungan ekonomi yang erat, baik dengan Rusia maupun Ukraina. Indonesia diperkirakan tidak akan jatuh pada resesi, melainkan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
”Dampak jangka panjangnya akan lebih permanen. Kalau perang terus bereskalasi, kayaknya dunia akan berbeda setelah ini, dari sisi perdagangan, investasi, logistik, dan rantai pasok. Ini memperkuat hipotesis bahwa dunia akan berubah setelah ini semua,” kata Prasetyantoko.
Yang jelas, inflasi akan cenderung tinggi sehingga menimbulkan gejolak pasar. Ini akan direspons dengan suku bunga tinggi. Nilai tukar rupiah akan tertekan.
Dia juga memprediksi terjadinya kenaikan harga komoditas sebagai salah satu dampak terhadap perekonomian domestik. Sebagai eksportir dan importir komoditas, Indonesia akan mengalami efek positif sekaligus negatif.
”Harus lihat net-nya. Yang jelas, inflasi akan cenderung tinggi sehingga menimbulkan gejolak pasar. Ini akan direspons dengan suku bunga tinggi. Nilai tukar rupiah akan tertekan,” kata Prasetyantoko.
Secara terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia Adhi S Lukman menyatakan, komplikasi perang Rusia-Ukraina terhadap dunia usaha di dalam negeri sudah terasa selama ini. Salah satu yang paling mencolok adalah pelaku usaha dipaksa menumpuk stok bahan baku lebih banyak akibat gangguan rantai pasok.
Harga-harga bahan baku yang diimpor, kata Adhi, juga sudah naik. Puncaknya saat harga bahan baku naik berkisar 30-35 persen. Saat ini kenaikannya 10-15 persen dibandingkan dengan harga tahun lalu.
Pada awal 2022, menurut Adhi, dunia usaha telah menaikkan harga. Namun, kenaikan harga jual produk tidak setinggi kenaikan harga bahan baku.
Biaya logistik juga melonjak. Puncaknya saat biaya logistik mencapai 5-6 kali lipat dari kondisi sebelum perang. Saat ini kenaikannya berkisar 2-2,5 kali posisi sebelum perang.
Pada awal 2022, menurut Adhi, dunia usaha telah menaikkan harga. Namun, kenaikan harga jual produk tidak setinggi kenaikan harga bahan baku. Daya beli masyarakat dan sensitivitas harga pangan menjadi pertimbangannya.
Banyak perusahaan berpikir jangka panjang sehingga mereka lebih mengutamakan merek (brand) dan keberlanjutan usaha dalam jangka panjang sehingga turunnya profit menjadi kompensasi yang menjadi pilihan.
Langkah ini bisa dilakukan perusahaan berskala besar. Namun, untuk industri kecil dan menengah, masih menurut Adhi, kapasitasnya jauh lebih kecil. Kemampuan untuk menambah stok bahan baku, misalnya, sangat terbatas dalam hitungan mingguan atau bahkan cuma harian. Tak pelak perusahaan skala kecil dan menengah lebih rentan.
Pada akhir tahun ini atau awal tahun depan, lanjut Adhi, perusahaan-perusahaan akan menghitung kenaikan biaya-biaya produksi. Ini mencakup, misalnya, kenaikan harga energi, bahan baku, upah tenaga kerja, dan faktor inflasi. Perusahaan juga akan bernegosiasi dengan peritel dan distributor.
Info dari beberapa perusahaan, mereka pada akhir tahun atau awal tahun akan mempertimbangkan kenaikan harga. Di sektor makanan dan minuman, biasanya kenaikannya berkisar 5-7 persen.
”Jadi, info dari beberapa perusahaan, mereka pada akhir tahun atau awal tahun akan mempertimbangkan kenaikan harga. Di sektor makanan dan minuman, biasanya kenaikannya berkisar 5-7 persen,” kata Adhi.
Pemerintah menargetkan inflasi tahun ini sebesar 3 persen. Realisasi inflasi Januari-September telah mencapai 4,84 persen. Sementara untuk 2023, target inflasi 3,6 persen. Tingginya inflasi akan menggerus pertumbuhan ekonomi yang tahun ini ditargetkan 5,2 persen dan tahun depan 5,3 persen. (LAS)