Prospek Makin Gelap, IMF Revisi Lagi Pertumbuhan 2023
Prospek perekonomian global semakin gelap. Masih ada sisa kejutan akibat pandemi Covid-19, efek invasi Rusia ke Ukraina, serta efek bencana alam di semua benua.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·4 menit baca
Dana Moneter Internasional merevisi lagi pertumbuhan ekonomi global untuk 2023. Alasannya, prospek perekonomian dunia pada 2023 makin gelap. Ada gejolak yang rentan mementalkan aktivitas perekonomian. Salah satu penyebabnya adalah rentetan kenaikan suku bunga akibat tekanan inflasi. Kegentingan geopolitik turut menjadi kekhawatiran di balik revisi terbaru itu.
Demikian dikatakan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva di Washington, Kamis (6/10/2022). Ia mengatakan, kini sedang meningkat risiko resesi dan ketidakstabilan keuangan global. Prospek perekonomian global semakin gelap. Masih ada sisa kejutan akibat pandemi Covid-19, efek invasi Rusia ke Ukraina, serta efek bencana alam di semua benua. Semua itu membuat banyak hal memburuk.
”Kita menghadapi perubahan fundamental perekonomian global, dari yang dulunya bisa diprediksi menjadi dunia yang lebih rapuh, dengan ketidakpastian yang lebih besar, gejolak ekonomi lebih tinggi, konfrontasi geopolitik, serta bencana alam yang lebih sering dan bersifat merusak,” kata Georgieva saat berpidato di Georgetown University.
Georgieva mengatakan, tatanan lama dunia yang ditandai dengan sikap tunduk pada peraturan global, suku bunga rendah, inflasi rendah, telah membawa dunia ke dalam posisi di mana setiap negara bisa tergelincir dari jalur dengan mudah dan dengan frekuensi lebih tinggi.
Perekonomian terbesar dunia, yakni China, Eropa, dan Amerika Serikat, mengalami perlambatan pertumbuhan. Hal itu menurunkan ekspor dari negara berkembang dan negara yang sedang menggeliat, yang kini juga sedang terpukul kenaikan harga pangan dan energi.
Perubahan empat kali
Atas dasar itulah, IMF merevisi untuk keempat kalinya pertumbuhan ekonomi global. Pada 23 Januari, IMF memperkirakan pertumbuhan 2023 sebesar 3,8 persen. Sebagai efek invasi Rusia ke Ukraina, pada 19 April IMF merevisi lagi pertumbuhan global 2023 menjadi 3,6 persen. Tekanan inflasi yang meninggi dan rentetan kenaikan suku bunga global membuat IMF pada 16 Juli merevisi lagi pertumbuhan global 2023 menjadi 2,9 persen.
Pekan depan, IMF akan merevisi lagi pertumbuhan 2023, tetapi belum mengumumkan angkanya. Namun, untuk pertumbuhan ekonomi global 2022 IMF tetap mempertahankan angka 3,2 persen. Dalam pertemuan IMF dan Bank Dunia pekan depan, isu invasi ke Ukraina dan risiko ekonomi global akan menjadi tema. Pertemuan itu akan dihadiri para menteri keuangan dan gubernur bank sentral sejumlah negara.
IMF memperkirakan, pada 2023 sepertiga dari seluruh negara akan mengalami kontraksi kuartal demi kuartal. ”Dan, meski sebagian negara masih mencatatkan pertumbuhan positif, bakal tetap terasa seperti resesi karena akan terjadi penurunan pendapatan riil dan kenaikan harga-harga,” kata Georgieva.
Secara keseluruhan, IMF memperkirakan akan terjadi penurunan produksi domestik bruto (PDB) global sebesar 4 triliun dollar AS. Penurunan itu kurang lebih setara dengan besaran PDB Jerman sekarang ini.
Dunia terpecah
Selain efek inflasi, Georgieva mengatakan, dunia akan menghadapi keterbelahan. Ada kelompok yang mendukung Rusia, penentang Rusia, atau ada yang mengubah posisinya. Keterpecahan ini akan berdampak pada efisiensi produksi global, menghambat perdagangan global. Di balik semua itu, kelompok yang paling terpukul adalah warga termiskin dunia.
”Kita tidak bisa membiarkan dunia terbelah. Jika kita menyadari efek keterpecahan satu negara dari negara lain, warga miskin di negara maju dan di negara miskin yang paling banyak menerima akibatnya,” kata Georgieva. Kini jeritan warga kalangan terbawah juga muncul dari Eropa dan AS.
Di samping keterpecahan itu, ketidakpastian tinggi juga masih menggelayuti. Kejutan demi kejutan ekonomi masih dimungkinkan. Tingkat utang global yang tinggi dan seretnya likuiditas menjadi kekhawatiran. Hal itu akan berdampak pada gejolak pasar dan kekacauan sistem keuangan global, apalagi masih bakal terjadi lagi rentetan kenaikan suku bunga global.
Dengan kata lain, di saat kebijakan moneter sedang mencoba menekan inflasi, kebijakan fiskal tidak boleh memperburuk keadaan.
Georgieva menambahkan, inflasi masih bertahan tinggi. Sejumlah bank sentral harus melanjutkan kenaikan suku bunga walau hal itu membuat perekonomian melambat. Tidak boleh ada keterlambatan kenaikan suku bunga karena akan membuat inflasi bertahan tinggi.
Di tengah ancaman resesi dan kenaikan inflasi, langkah fiskal yang diambil harus terarah. ”Dengan kata lain, di saat kebijakan moneter sedang mencoba menekan inflasi, kebijakan fiskal tidak boleh memperburuk keadaan,” katanya.
Hal ini merujuk pada Inggris yang sempat berencana menurunkan pajak untuk orang kaya dan tidak peduli dengan distribusi pendapatan. Untungnya Inggris sudah membatalkan niat itu.
Di sisi lain, Georgieva mengatakan, kebijakan fiskal untuk membantu kaum paling terpukul di dunia dan subsidi energi harus ditargetkan dengan lebih akurat dan bersifat sementara.
Negara berkembang
Georgieva mendesak dukungan yang lebih besar untuk negara-negara berkembang. Kelompok ini akan terpukul keras akibat kenaikan suku bunga di negara maju. Akan ada potensi pelarian modal asing sebesar 40 persen dari negara-negara berkembang akibat kenaikan suku bunga di negara-negara maju. Ia meminta China dan kreditor swasta, pemegang surat utang terbesar negara-negara berkembang, agar bersedia mengatasi risiko letusan utang di negara-negara berkembang.
IMF sendiri harus mempersiapkan dana darurat sebesar 650 miliar dollar AS untuk menolong negara-negara anggota yang terpukul isu kesehatan, kenaikan harga energi, dan krisis akibat inflasi. Ini seiring dengan penyataan Bank Dunia pekan lalu bahwa sebanyak 600 juta warga dunia akan jatuh lagi ke dalam kemiskinan ekstrem. (AFP/REUTERS/AP)