Dana Moneter Internasional memerkirakan tekanan inflasi akan signifikan di seluruh dunia pada tahun 2022. Jika inflasi tidak dapat dikendalikan, banyak pihak khawatir selanjutnya akan terjadinya resesi.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·5 menit baca
Sebelum perang melanda Yaman, Walid Al-Ahdal tidak khawatir tentang memberi makan anak-anaknya. Di kampung halamannya di dekat Laut Merah, keluarganya menanam jagung, beternak kambing, dan mengandalkan susu sapi mereka sendiri. Namun selama empat tahun terakhir, setelah pertempuran memaksa mereka mengungsi, mereka harus tinggal di sebuah kamp bersama 9.000 keluarga lain di luar ibu kota Sana’a.
Ahdal telah berupaya keras membeli makanan untuk keluarganya. Namun upahnya sebagai petugas kebersihan di sebuah rumah sakit semakin tidak mencukupi.
Saat Ahdal bingung, inflasi atau kenaikan harga barang dan jasa dalam waktu tertentu tiba- tiba mendominasi pembicaraan dan perdebatan tentang kebijakan ekonomi di banyak negara. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan tekanan inflasi akan signifikan di seluruh dunia sepanjang tahun 2022. Jika inflasi tak dapat dikendalikan, banyak pihak khawatir akan terjadi resesi secara berturut di dua triwulan.
IMF memproyeksikan tekanan inflasi di negara-negara berkembang akan lebih tinggi dibandingkan negara-negara maju. Proyeksinya, inflasi di negara-negara berkembang akan mencapai rata-rata 8,7 persen, sedangkan di negara-negara maju rata-rata diperkirakan di level 5,7 persen. Inflasi terbaru di negara-negara maju terpantau tinggi, di antaranya inflasi di Inggris dan Jepang hingga 7 persen, dan di Amerika Serikat lebih dari 8 persen. Inflasi tertinggi dalam beberapa dekade.
Pasca-invasi Rusia ke Ukraina, situasi kian buruk. Harga pangan pun naik sebagai dampak terganggunya ekspor gandum dan pupuk dari Rusia dan Ukraina. Di tengah kondisi itu, spekulasi keuangan juga bisa menjadi faktor penting. Lighthouse Reports mengidentifikasi derasnya arus masuk uang ke dalam pasar komoditas yang diinvestasikan pada gandum. Partai Sosialis Pekerja di Inggris menilai dunia tengah mengalami era baru inflasi secara global. Perang Rusia-Ukraina mencerminkan tren jangka panjang kedua menuju persaingan antar- imperialis.
Konfrontasi antara AS dan sekutunya dan Rusia telah mendorong harga energi naik lebih jauh. Pada saat yang sama kalangan produsen menolak meningkatkan produksi mereka sehingga mendorong inflasi. Dampak kenaikan harga dirasakan semua warga dunia.
Setelah invasi Rusia ke Ukraina, IMF merevisi proyeksi inflasi global sebesar 1,8 persen untuk negara-negara maju dan 2,8 persen untuk negara-negara berkembang. Ini menunjukkan, bahkan sebelum perang di Ukraina, proyeksi inflasi tinggi. Belum pulihnya rantai sebagai dampak pandemi Covid-19 menyebabkan lonjakan inflasi yang belum terjadi sebelumnya sejak krisis ekonomi di 2008.
Karena banyak negara berkembang mengalami pertumbuhan ekonomi, inflasi pada umumnya rata-rata lebih tinggi. Namun hal itu bukan berarti inflasi tidak dapat memukul negara-negara non-industri, apalagi jika kinerja ekonomi mereka tertekan.
Ekonomi dan konflik
Negara-negara yang didera konflik atau menghadapi masalah ekonomi diperkirakan mengalami inflasi jauh di atas rata-rata global, sekitar 7,4 persen. Mereka antara lain Venezuela, Sudan, Zimbabwe, Turki, Yaman, dan Argentina.
Turki, misalnya. Setelah krisis keuangan global tahun 2008, bank sentral di negara-negara ekonomi besar, seperti AS dan Uni Eropa, menurunkan suku bunga mendekati nol untuk memacu pertumbuhan. Ketika investor internasional mencari imbal hasil yang lebih baik, mereka menumpuk aset di pasar negara berkembang, sekalipun risikonya lebih tinggi. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan kala itu mendesak kroni-kroninya agar memanfaatkan pinjaman internasional guna membiayai proyek konstruksi besar yang membuat ekonomi negara itu tumbuh.
Namun, sejak 2017, para investor mulai khawatir karena tingkat dan besaran utang perusahaan-perusahaan di Turki memicu risiko gagal bayar. Para investor itu pun melepas lira, mata uang Turki. Tindakan itu membuat nilai lira turun sekitar tiga perempat pada akhir 2021.
Semua itu terjadi sebelum invasi Rusia dan bank sentral di berbagai belahan dunia menaikkan suku bunga acuan. Setelah invasi Rusia ke Ukraina dan kenaikan suku bunga pada April lalu, kurs lira pun jatuh. Turki pun mengalami inflasi terburuk dalam dua dekade terakhir. Inflasi Turki mencapai 70 persen secara tahunan.
Secara global, situasi yang tak menguntungkan itu berkelindan dengan harga energi yang sudah melonjak sejak musim dingin tahun lalu. Lonjakan itu merespons pengurangan ketergantungan banyak negara pada batubara. Dampaknya adalah permintaan gas meningkat.
Di Asia, China dan Korea Selatan mengimpor lebih banyak gas. Pada saat yang sama, OPEC+ yang dimotori Rusia dan Arab Saudi serta industri minyak dan gas serpih AS menolak menaikkan produksi mereka. Kenaikan harga pun tidak dapat dihindari.
Nasib berbeda
Untuk mengatasi tekanan inflasi, Presiden AS Joe Biden, yang menempatkan isu sebagai prioritas utama, Selasa (10/5) lalu merilis Rencana Aksi Pasokan Perumahan. Rencana besar itu diarahkan untuk meringankan beban biaya perumahan dengan meningkatkan pasokan perumahan berkualitas di komunitas.
Rencana itu mencakup langkah legislatif dan administratif yang akan membantu menutup kekurangan pasokan perumahan di AS dalam 5 tahun. Program itu akan dimulai dengan membangun dan memelihara ratusan ribu rumah terjangkau dalam tiga tahun ke depan.
Harga sewa ataupun jual-beli rumah diharapkan lebih terjangkau ketika program itu diselaraskan dengan kebijakan lain dengan tema senada.
Namun, AS bukanlah Yaman tempat Ahdal dan keluarganya tinggal. Konflik di Yaman, ditambah dengan perang lain yang berjarak lebih dari 3.000 kilometer jauhnya dari Yaman, mengubah hidup mereka menjadi kian buruk. Bukan hanya soal rumah, sejak Rusia menginvasi Ukraina, harga gandum naik lebih dari dua kali lipat dan susu naik dua pertiga.
Ahdal harus menelan pil pahit. Ia bersama empat anaknya yang berusia 2-6 tahun mulai kelaparan. Dia menghibur mereka dengan segelas teh dan menyuruh mereka tidur. ”Hati saya sakit setiap kali anak saya mencari makanan yang tidak ada,” kata Ahdal seperti dikutip The New York Times. ”Namun apa yang bisa saya lakukan?”
Kelaparan yang menggerogoti keluarga di negara-negara seperti Yaman merefleksikan krisis yang lebih luas yang dihadapi miliaran orang di dunia, terutama di negara-negara dengan situasi ekonomi yang tengah terpuruk.
Perang di Ukraina, pandemi, pengetatan kredit global, dan perlambatan di China membuat dunia ”seolah terpanggang”. ”Ini seperti kebakaran hutan (yang merambah) ke segala arah,” kata Jayati Ghosh, ekonom di University of Massachusetts Amherst.
Menurut dia, situasi saat ini jauh lebih besar daripada setelah krisis keuangan global.