Menteri Keuangan Inggris Kwasi Kwarteng mengaku salah atas rencana penurunan pajak di negaranya yang diumumkan pada 23 September 2022.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·5 menit baca
Pemerintah Inggris telah mengumumkan rencana penurunan pajak pada 23 September 2022. Rencana ini akan berlaku mulai April 2023 dengan potensi penurunan penerimaan pajak sebesar 45 miliar poundsterling atau sekitar Ro 778,9 triliun. Pengumuman itu menyebabkan Pemerintah Inggris jadi bulan-bulanan.
Kurs poundsterling anjlok menjadi 1,0327 poundsterling per dollar AS pada 24 September lalu atau terendah sepanjang sejarah. Indeks saham FTSE anjlok dari 7.083 pada 23 September menjadi 6.834 pada 3 Oktober. Investor melepas obligasi Pemerintah Inggris dengan volume yang tinggi. Pasar mengalami krisis kepercayaan pada kemampuan Perdana Menteri Liz Truss menangani perekonomian.
Dengan kebijakan tersebut, Inggris akan kerepotan membiayai subsidi energi sebesar 60 miliar poundsterling. Subsidi itu akan membuat Inggris menerbitkan surat utang tambahan. Pada Maret 2022, Office for Budget Responsibility (OBR) memperkirakan utang Inggris pada tahun anggaran 2022/2023 akan bertambah 99,1 miliar poundsterling dan pada tahun anggaran 2023/2024 bertambah 50,2 miliar poundsterling.
Paul Johnson dari Institute for Fiscal Studies mengatakan, “Dengan penurunan pajak 45 miliar poundsterling per tahun, dalam tiga tahun berikutnya Inggris harus menambah utang sebesar 120 miliar poundsterling.”
Penyataan Johnson dan OBR itu berseberangan dengan janji Menteri Keuangan Inggris Kwasi Kwarteng saat mengumumkan rencana tersebut. Kwarteng mengatakan bahwa lewat penurunan pajak dan deregulasi, perekonomian akan tumbuh dan pajak dengan sendirinya akan naik. Ia juga mengatakan, hal yang dibutuhkan Inggris adalah pertumbuhan, bukan distribusi kekayaan dengan pengenaan pajak tinggi.
Di antara kelompok G7, hanya Inggris yang mengalami penciutan produksi domestik bruto (PDB) akibat pandemi Covid-19. Pada kuartal kedua 2022, PDB Inggris 0,2 persen lebih kecil dari besaran PDB pada kuartal keempat 2019. PDB Kanada, AS, Jepang, Perancis, Italia, dan Jerman tumbuh dan lebih besar dari kuartal keempat 2019.
Hal itu mendorong pemerintahan Inggris berambisi meluncurkan kebijakan yang disebut sebagai blunder. Dana Moneter Internasional (IMF) mengecam keras Pemerintah Inggris atas rencana tersebut (The Guardian, 28 September 2022). Inggris, seperti ditulis The Guardian, tak ubahnya seperti negara berkembang. Dengan kritikan IMF tersebut, Pemerintah Inggris tampak dungu.
Menurut IMF, jika Inggris melanjutkan kebijakan tersebut, akan terjadi krisis keuangan besar dengan efek domino terhadap perekonomian global yang sedang rapuh. Utang Pemerintah Inggris sudah sebesar 2.365,4 miliar poundsterling pada kuartal pertama 2022 atau setara dengan 99,6 persen terhadap PDB. Batas maksimum utang yang dianggap relatif aman adalah 60 persen.
Tekanan inflasi
Ada dua kekhawatiran IMF jika rencana tersebut dilanjutkan. Penambahan utang akibat kenaikan defisit anggaran pemerintahan berseberangan dengan upaya Bang Sentral Inggris (Bank of England/BoE) menurunkan inflasi. Inflasi Inggris pada Agustus 2022 sudah turun menjadi 9,9 persen pada Agustus dari 10,1 persen pada Juli 2022.
Salah satu penyebab inflasi di negara itu adalah stimulus pemerintah pada era Covid-19 sebesar 190 miliar poundsterling. Hal lain adalah gangguan pasokan global dan kenaikan harga energi akibat invasi Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari 2022.
Akan tetapi, inflasi pada Agustus itu masih terlalu tinggi dari target inflasi 2 persen. Untuk itu, BoE telah menaikkan suku bunga menjadi 2,25 persen pada 22 September, dari 1,75 persen sebelumnya. Kenaikan suku bunga bertujuan menekan uang beredar. Bahkan, pasar memperkirakan BoE akan menaikkan suku bunga hingga 6 persen pada 2023 untuk menurunkan inflasi.
Meski demikian, Inggris tetap dikhawatirkan akan ketiban inflasi tinggi jika pemerintah saat bersamaaan menaikkan defisit anggaran yang juga berarti menambah uang beredar. “Mengingat tekanan inflasi yang terjadi di banyak negara, termasuk Inggris, IMF tidak merekomendasikan paket fiskal yang berseberangan degan misi kebijakan moneter,” demikian pernyataan IMF.
Inflasi tinggi dan kenaikan suku bunga telah mengancam para pengutang di Inggris. Kenaikan suku bunga bunga juga akan menambah beban utang Pemerintah Inggris yang besarannya dipastikan naik untuk mendukung program Kwarteng.
Kekhawatiran kedua IMF adalah penurunan pajak, di dalamnya termasuk penurunan pajak penghasilan dari 45 persen menjadi 40 persen. Langkah itu akan mengurangi anggaran untuk warga yang terpukul krisis ekonomi dan kenaikan harga energi. Hal ini akan menaikkan ketimpangan pendapatan yang sudah sangat timpang. IMF mengingatkan agar alat fiskal lebih tepat sasaran, bukan membuat warga terkaya mendapatkan keringanan pajak di tengah kesusahan rakyat.
Kecaman Konservatif
Berhari-hari sesama anggota Partai Konservatif mengecam PM Truss dan Kwarteng setelah pengumuman tersebut. Ben Houchen, seorang Konservatif, mengatakan bahwa naif menurunkan pajak di tengah kesulitan hidup warga. “Saya tidak akan melakukan itu,” kata Houchen.
Nadine Dorries, pendukung Truss, kini berubah dengan mengatakan bahwa pemilu harus segera dilaksanakan karena Truss tidak punya mandat untuk memerintah. Para Konservatif mengatakan, kerusakan citra telah dilakukan PM Truss dan Kwarteng.
Rachel Reeves, tokoh Partai Buruh, mengatakan bahwa Konservatif telah merusak dirinya lewat kebijakan ekonomi yang tidak kredibel.
Atas kritikan tersebut, Kwarteng mengaku salah atas rencana yang diumumkan pada 23 September lalu. Ia menyebut rencana itu ambisius. PM Truss tidak luput dari kecaman. Truss dianggap ingin meniru rencana Margareth Thatcher yang mereformasi perekonomian Inggris pada dekade 1980-an.
Langkah Truss diserupakan dengan “lompatan katak”. Akan tetapi, langkah Thatcher memiliki latar belakang yang berbeda dengan situasi yang dihadapi Truss. Ekonomi Inggris pada era Thatcher memerlukan deregulasi dan swastanisasi badan usaha milik negara untuk memperlancar perekonomian. Situasi Inggris di bawah PM Truss adalah tekanan inflasi dan penduduk menua serta timbunan utang.
Truss mengatakan, telah terjadi kesalahan dalam mengomunikasikan program ekonomi. Dan ia menyetujui pembatalan kebijakan tersebut.
Akan tetapi, meski rencana itu dibatalkan, lembaga pemeringkat S&P Global menegaskan bahwa hal itu tidak akan mengubah peringatan akan penurunan peringkat utang Inggris yang sekarang berlabel AA, yang artinya kemampuan pembayaran utang masih kuat. Jika diturunkan, itu menggambarkan ada keraguan akan kemampuan Inggris membayar utang.
Inggris dalam enam tahun terakhir melakukan kehebohan terkait kebijakan ekonomi. Brexit, julukan Inggris keluar dari Uni Eropa, juga telah menyebabkan perdagangan internasional Inggris anjlok. (REUTERS/AP/AFP)