Di tengah inflasi tinggi dan merupakan pajak tak langsung terhadap rakyat, Perdana Menteri Boris Johnson yang segera berakhir masa jabatannya malah sedang berlibur di Yunani.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·4 menit baca
Inflasi yang sangat tinggi sedang melanda Inggris dan Turki. Inggris mencatatkan inflasi 10,1 persen pada Juli 2022. Tingkat inflasi melebihi 10 persen itu sangat jarang terjadi dalam 70 tahun terakhir di Inggris. Inflasi tersebut juga sudah jauh melebihi 2 persen target inflasi yang dicanangkan Bank Sentral Inggris. Turki menghadapi inflasi super spiral dengan inflasi sebesar 79,6 persen pada Juli 2022.
Inflasi yang sebenarnya di Turki diyakini berada di atas 176,04 persen. Warga Turki dan pengamat tidak mempercayai angka inflasi resmi pemerintah. ENAG, lembaga independen di Turki yang menganalisa inflasi, selalu membantah data resmi TUIK (biro statistik Turki) seperti diberitakan Reuters, 3 Agustus 2022.
Pimpinan ENAG, Veysel Ulusoy, seorang profesor di Yeditepe University (Istanbul) sedang dalam proses kehilangan posisinya karena terus mendebat data TUIK. Sebagaimana dikutip The Economist, 31 Juli 2022, Ulusoy mengatakan data TUIK tumpang tindih dan tidak memasukkan komponen alkohol, jasa pendidikan dan kesehatan sehingga tidak menggambarkan sentimen pasar dan konsumen.
Erdogan memecati pejabat
Sebagaimana diberitakan situs Aljazeera, 29 Januari 2022, Presiden Recep Tayyib Erdogan telah memecat Sait Erdal Dincer, Ketua TUIK, setelah TUIK mengumumkan angka inflasi 36,1 persen pada 2021. “Tidak masalah siapapun yang menggantikan saya. Namun bisakah Anda membayangkan ratusan kolega saya harus berdiam diri dengan mengumumkan angka inflasi yang berbeda dari kenyataan? Saya memiliki tanggung jawab terhadap 84 juta penduduk,” kata Dincer, yang digantikan Erhan Cetinkaya.
Untuk meredam inflasi, Bank Sentral Turki pernah mencoba menaikkan suku bunga inti hingga mencapai 19 persen, yang dilakukan Gubernur Bank Sentral Turki, Naci Agbal (Reuters, 20 Maret 2022). Akan tetapi Presiden Erdogan memiliki pandangan bertentangan dengan para ekonom dan Bank Sentral. Erdogan beranggapan kenaikan inflasi terjadi karena suku bunga tinggi. Padahal suku bunga tinggi sangat berguna untuk meredam inflasi.
Untuk memuluskan niatnya, walau pendapatanya sangat bertentangan dengan teori ekonomi moneter, Erdogan telah memecat tiga gubernur Bank Sentral Turki sejak 2019. Sahap Kavcioglu, mantan anggota parlemen dari Partai AKP, menggantikan Agbal pada 2022.
Seperti kehendak Erdogan, Kavgioglu pada 18 Agustus mengumumkan penurunkan suku bunga inti bank sentral menjadi 13 persen di tengah inflasi yang terus meroket.
Hilangnya independensi Bank Sentral Turki telah menyebabkan sektor moneter Turki mengalami kekacauan. Kurs lira mengalami depresiasi 50 persen sejak 2018 dan kini bertengger di angka 18,1185 lira per satu dollar AS. “Jika Anda mengabaikan pengetatan kebijakan moneter sejak awal, pengalaman empiris menunjukkan inflasi akan meningkat,” kata Agbal pada Februari 2022 kepada Reuters.
Kekhawatiran terjadi
Meski tidak separah Turki, Inggris juga mengalami peningkatan inflasi menjadi 10,1 persen pada Juli. Seperti dikutip harian Inggris The Guardian, 20 Juni 2022, para pejabat Bank Sentral Inggris (Bank of England/BoE) dan Departemen Keuangan Inggris sudah mengkhawatirkan lingkaran kenaikan inflasi hingga melampaui 10 persen.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson tahun lalu mengatakan kekhawatiran akan kenaikan inflasi tidak berdasar (The Mirror, 18 Agustus. Ada sikap kurang lebih serupa dengan AS, saat Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell dan Menkeu Janet Yellen lengah tentang ancaman inflasi dan keduanya telah mengakui hal tersebut.
Bank Sentral Inggris juga dianggap terlalu lambat menaikkan suku bunga inti yang kini bertengger hanya pada level 1,75 persen. Debapratim De, ekonom senior dari Deloitte, mengatakan dengan inflasi di atas 10 persen, suku bunga 1,75 persen terlalu rendah. Kepada BBC Radio 4, mantan anggota parlemen Andrew Sentance mengatakan sudah seharusnya BoE menaikkan suku bunga hingga berkisar antara 3-4 persen.
Perdana Menteri berlibur
Inggris memang memiliki pemerintahan yang lengah dan abai. Di tengah inflasi tinggi dan merupakan pajak tak langsung terhadap rakyat, Perdana Menteri Boris Johnson yang segera berakhir masa jabatannya malah sedang berlibur di Yunani.
Anggota House of Lords (Majelis Tinggi Parlemen Inggris) Stuart Rose meminta pemerintah memikirkan program untuk melindungi warga yang paling terpukul inflasi. Ia mengatakan sejauh ini tidak ada aksi pemerintah. Ia mengatakan hal itu tergolong mengerikan apalagi dengan melihat PM Johson berlibur. “Tidak ada yang memimpin sekarang,” kata Rose.