Arab Saudi-China Tantang G7 soal Pemangkasan Harga Minyak Rusia
Berbagai pihak telah mengingatkan risiko pelarangan ekspor energi Rusia. Harga minyak dunia ditaksir bisa menembus 200 dollar AS per barel.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
RIYADH, SELASA — Arab Saudi dan para produsen minyak ”menantang” Amerika Serikat dan enam sekutunya di G7. Tantangan itu berbentuk pemangkasan produksi setelah G7 berencana membatasi harga minyak Rusia. China juga menentang rencana pembatasan harga itu.
Dilaporkan Saudi Press Agency dan Arab News pada Senin (5/9/2022) malam waktu Riyadh atau Selasa dini hari WIB, produksi minyak Oktober 2022 akan dipangkas 100.000 barel per hari. Pemangkasan setara dengan kenaikan yang ditawarkan OPEC+ pada awal Agustus 2022.
Pengumuman OPEC+ diungkap tidak sampai sepekan setelah G7 memastikan akan membatasi harga minyak Rusia. Rusia menjadi mitra utama OPEC, organisasi negara produsen minyak, meski belum menjadi anggota. Rusia bisa mendapat posisi itu karena memasok 10 persen kebutuhan minyak global. Karena kapasitas produksinya, Rusia selalu diajak OPEC membahas perkembangan pasar minyak global.
Menteri Energi Arab Saudi Abdulaziz bin Salman diketahui sebagai orang pertama yang mendorong pemangkasan produksi. Menurut dia, pasar minyak sudah gila dan tidak sesuai kenyataan. Uni Emirat Arab dan Sudan mendukung keinginan Arab Saudi memangkas produksi minyak.
Minyak penting untuk memastikan keamanan energi global. Kami berharap negara-negara memberikan upaya yang membangun, bukan malah melakukan hal sebaliknya.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning mengatakan, Beijing menentang keputusan G7. ”Minyak penting untuk memastikan keamanan energi global. Kami berharap negara-negara memberikan upaya yang membangun, bukan malah melakukan hal sebaliknya,” ujarnya.
Peneliti pada Bruegel Institute, Georg Zachmann, telah memperingatkan potensi sikap OPEC+ atas keputusan G7. OPEC tidak pernah suka pembatasan harga. Sejak dulu, produksi cenderung dikurangi saat harga terpangkas. ”OPEC akan menolak mekanisme itu karena khawatir bukan hanya Rusia yang akan disasar. Di lain kesempatan, bisa jadi produsen lain jadi sasaran pembatasan harga,” ujarnya.
Sikap Rusia
Sementara Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak menyangkal pemangkasan produksi bermotif politik. Keputusan itu dinyatakan pula tidak terkait upaya rekayasa harga seperti diusulkan G7. ”Persoalan ini murni pasokan ke pasar, intinya agar tidak ada kelebihan produksi dan kekurangan pasokan,” ujarnya.
Kondisi pasar memang relatif mendukung pernyataan itu. Dibandingkan Juni 2022, harga minyak pada September 2022 sudah terpangkas 20 persen. Di AS, yang bukan anggota dan mitra OPEC walau punya cadangan minyak dan produksi besar, harga bahan bakar minyak juga sudah terpangkas. Dari rata-rata di atas 5 dollar AS per galon pada Juli 2022 menjadi 3,76 dollar AS per galon pada pekan pertama September 2022.
Di sisi lain, Novak telah mengisyaratkan bahwa Moskwa akan bersikap keras pada upaya pengendalian harga minyak Rusia. Ia mengungkap keinginan Moskwa menghentikan ekspor minyak ke negara-negara yang membatasi harga minyak Rusia. Moskwa memastikan tidak akan bekerja sama dengan pihak-pihak yang mau membatasi harga minyak Rusia.
Sejak lama, berbagai pihak telah mengingatkan risiko tinggi pelarangan ekspor energi Rusia. Barclays, lembaga keuangan Inggris, menaksir harga minyak akan menembus 200 dollar AS per barel jika minyak Rusia dilarang masuk pasar. Taksiran serupa disampaikan lembaga kajian energi, Rystad Energy.
Gas
Bukan hanya minyak, ada pula upaya membatasi harga ekspor gas Rusia. Seperti Novak, mantan Presiden Rusia Dmitri Medvedev menekankan negaranya tidak akan mengirimkan gas ke negara lain yang berusaha mengatur harga tanpa mengikuti mekanisme pasar.
Uni Eropa mengusulkan penetapan batas itu karena harga gas UE pada Agustus 2022 setara empat kali harga Agustus 2021. Pekan lalu, Juru Bicara Kemlu China Zhao Lijian menyebut Beijing menyimak fakta harga gas di Eropa 10 kali lebih mahal dibandingkan harga di AS.
Direktur China Center for Energy Economics Research Lin Boqiang mengatakan, sayang sekali UE tidak punya pilihan selain membeli gas dari AS. Pada Januari-Juni 2022, AS telah mengapalkan 39 miliar kaki kubik gas alam cair (LNG). Padahal sepanjang 2021, AS hanya mengirimkan total 34 miliar kaki kubik LNG ke Eropa.
”Dulu, harga gas dari AS jauh lebih mahal dibandingkan gas Rusia. LNG AS harus dikapalkan, gas Rusia dikirimkan lewat pipa yang jauh lebih murah. Krisis di Ukraina membuat UE terpaksa membeli dari AS,” tutur Lin kepada Global Times.
Fakta itu menunjukkan AS menjadi peraih utama keuntungan dari krisis saat ini. ”Tiba-tiba AS mendapatkan pasar besar yang mau membeli dengan harga mahal karena tidak ada pilihan lain,” ujarnya.
Sayangnya, dengan pasokan gas dari AS pun UE tetap belum bisa menekan harga energinya dalam waktu dekat. Sebab, pasokan dari AS tidak mencukupi kebutuhan UE dalam waktu dekat. Pengiriman dengan kapal berarti membutuhkan banyak kapal dan terminal penerimaan. Butuh bertahun-tahun untuk membangun kapal dan terminal itu agar bisa memenuhi kebutuhan gas UE yang selama ini dipasok dengan pipa dari Rusia.
Paling tidak, UE akan merasakan kekurangan gas pada musim dingin kali ini. Hal itu berdasarkan waktu untuk pengiriman dan pembuatan terminal penerimaan.
Perdana Menteri Belgia Alexander de Croo memperingatkan, UE paling tidak akan menghadapi hingga 10 musim dingin yang menyakitkan. Ia memakai istilah itu untuk menggambarkan musim dingin yang harus dilalui tanpa ketersediaan pemanas memadai.
Komentar de Croo mengisyaratkan bahwa UE akan butuh sampai 10 tahun untuk mengganti sumber energinya. Sampai Januari 2022, 40 persen kebutuhan minyak dan gas UE dipasok Rusia. Keinginan menghukum Moskwa karena Rusia menyerbu Ukraina membuat Brussels membatasi impor energi dari Rusia.
UE harus membayarnya dengan lonjakan harga energi dan diikuti harga aneka kebutuhan lainnya. Akibat lonjakan harga aneka kebutuhan, gelombang unjuk rasa menyebar di berbagai anggota UE. (AFP/REUTERS)