Redam Gejolak Sosial, Negara-negara UE Rogoh Ratusan Triliun Rupiah untuk Subsidi Warga
Negara-negara di Eropa merogoh kas hingga ratusan triliun rupiah untuk subsidi warga di tengah gejolak sosial akibat kenaikan harga. Pasca-melonjaknya harga energi, sejumlah negara Eropa mulai dilanda unjuk rasa warga.
BERLIN, SENIN — Sejumlah negara anggota Uni Eropa mengucurkan subsidi miliaran euro untuk meredam dampak kenaikan harga-harga di tengah lonjakan kenaikan harga energi. Di sejumlah negara Eropa, kenaikan harga meningkatan risiko kerusuhan dan dan aksi protes.
Kanselir Jerman Olaf Scholz, Minggu (4/9/2022), mengumumkan insentif tambahan bagi warga di negaranya. Paket itu bernilai 65 miliar euro atau sekitar Rp 961,3 triliun.
”Jerman bersatu padu pada masa yang sulit. Sebagai sebuah negara, kita akan mampu melewati masa yang sulit ini,” kata Scholz dalam konferensi pers bersama pemimpin partai koalisinya, Partai Hijau, dan FDP yang pro-bisnis.
Dua partai itu bersama Partai Sosial Demokrat yang berhaluan kiri tengah saat ini menjalankan roda pemerintahan di Jerman. Scholz menambahkan, dirinya ”sadar betul” bahwa banyak warga Jerman kesulitan menghadapi kenaikan harga-harga barang.
Pemerintah, kata Scholz, siap membantu. ”Kami memperhatikan masalah ini dengan sangat-sangat serius,” ujarnya. ”You’ll never walk only (Kalian tidak akan berjalan sendirian),” kata Scholz, mengubah pemaparannya dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris, menyitir slogan terkenal pendukung klub Liverpool.
Baca juga: Eropa Bersiap Hadapi Cekikan Total Rusia dalam Pasokan Energi
Scholz juga mengatakan, pembatasan harga energi sedang dipertimbangkan untuk diberlakukan lebih luas. Sampai Agustus 2022, kebijakan itu hanya berlaku bagi pekerja berpenghasilan rendah. Pembatasan harga energi tersebut merupakan bagian dari dua insentif untuk warga di tengah lonjakan harga saat ini.
Sebelumnya, Jerman memotong harga bahan bakar minyak dan menyediakan tiket transportasi bulanan senilai 9 euro. Subsidi transportasi ini berlaku untuk tiga bulan secara nasional sejak diumumkan pada Juni 2022. Dengan subsidi ini, warga bisa bepergian tanpa batas dengan sarana transportasi lokal dan regional.
Ke depan, Jerman akan mengembangkan subsidi transportasi tersebut. Meski belum diumumkan secara resmi besaran subsidi baru untuk transportasi, kesepakatan yang dijalin tiga partai koalisi pemerintah mengisyaratkan subsidi 49 euro atau 69 euro untuk transportasi warga.
Total paket kebijakan pemotongan harga BBM dan subsidi transportasi tersebut bernilai 30 miliar euro. Jerman juga memangkas pajak pertambahan nilai dalam unsur harga energi dari 19 persen menjadi 9 persen.
Pengucuran BLT
Sebelumnya, Pemerintah Jerman juga mengumumkan pembayaran uang bantuan langsung tunai (BLT) sebesar 300 euro (sekitar Rp 4,4 juta) bagi pekerja. Saat ini Berlin memperluas cakupan kelompok yang akan menerima BLT. Para pensiunan, misalnya, juga akan menerima BLT sebesar 300 euro, sementara para siswa memperoleh suntikan BLT 200 euro (sekitar Rp 2,9 juta).
Langkah subsidi lain yang telah direncanakan Jerman bagi warganya adalah subsidi lebih besar bagi keluarga yang memiliki anak, pembaruan subsidi perumahan, dan pembayaran BLT lebih besar bagi warga berpenghasilan rendah meski telah menerima bantuan pemerintah.
Inflasi di Jerman pada Agustus lalu melonjak lagi menjadi 7,9 persen setelah sebelumnya sempat turun menjadi 2 persen selama dua bulan beruntun berkat langkah-langkah pemberian subsidi pemerintah.
Baca juga: Inflasi Zona Euro "Terbang ke Bulan"
Meski demikian, Scholz mencatat, tidak semua pihak menderita akibat kenaikan harga-harga konsumen. Ia merujuk pada sejumlah perusahaan energi, yang diperkirakan tidak menggunakan gas untuk kebutuhan listriknya. Perusahaan-perusahaan energi ini, menurut Scholz, ”hanya memanfaatkan fakta bahwa kenaikan harga gas ikut menentukan tarif listrik dan, karena itu, meraup banyak uang”.
”Kami sudah bertekad kuat untuk mengubah pengelolaan pasar sehingga keuntungan tiba-tiba seperti ini terus berlangsung,” lanjut Scholz. Dalam laporan kebijakan pemerintah, pemangkasan keuntungan bagi perusahaan-perusahaan energi tersebut akan menghasilkan ”kelegaan finansial yang harus digunakan secara spesifik untuk meringankan beban para konsumen di Eropa”.
Kebijakan di negara lain
Italia juga memberikan paket insentif senilai total 52 miliar euro atau sekitar Rp 769 triliun. Paket terbaru, Agustus 2022, bernilai 17 miliar euro. Roma tengah mengkaji kemungkinan menaikkan pajak perusahaan-perusahaan energi yang mendapat keuntungan dari kenaikan harga.
Italia memperpanjang kebijakan pemberian paket subsidi dengan, antara lain, memangkas tarif listrik dan gas bagi keluarga-keluarga berpenghasilan rendah hingga kuartal keempat tahun ini.
Baca juga: Pemandangan Kontras Eropa dan Rusia di Tengah Cekikan Krisis Energi
Adapun Spanyol memangkas pajak di komponen harga energi. Pajak listrik turun dari 7 persen menjadi 5 persen. Pajak pertambahan nilai dalam harga gas dipangkas dari 21 persen menjadi 5 persen.
Sementara Belanda memotong pajak energi bagi 8 juta rumah tangga. Norwegia memberikan subsidi pembayaran listrik sejak Desember 2021. Untuk tarif-tarif tertentu, Oslo menanggung hingga 80 persen porsi pembayaran biaya energi. Persentase pembayaran yang ditanggung akan meningkat menjadi 90 persen pada September ini dan akan berlaku setidaknya hingga Maret 2023.
Polandia mengumumkan pemangkasan pajak energi, bahan bakar, dan barang-barang kebutuhan pokok, serta BLT bagi rumah tangga. Warsawa pada Juli 2022 telah menyepakati pembayaran BLT sebesar 3.000 zloti atau sekitar Rp 9,3 juta bagi rumah tangga untuk meringankan mereka akibat dampak kenaikan energi.
Perdana Menteri Polandia Mateusz Morawiecki mengungkapkan, total subsidi pemerintah yang dikeluarkan untuk mengatasi dampak kenaikan energi mencapai sekitar 50 miliar zloti atau sekitar Rp 156,2 triliun.
Bukan akar masalah
Kebijakan Scholz dikecam oleh tokoh oposisi Jerman karena tidak menyelesaikan akar masalah. Ketua Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) Alice Weidel menyebut, paket-paket itu hanya akan menunda masalah.
”Hentikan perang ekonomi dengan Rusia, hidupkan (jaringan pipa) NordStream2, pastikan keberlanjutan operasi pembangkit listrik tenaga nuklir, dan paksa Bank Sentral Eropa menghentikan kebijakan moneter tidak bertanggung jawab,” ujar Weidel.
Weidel menambahkan, akar persoalan Jerman adalah jelas lonjakan harga energi. Dalam setahun terakhir, Jerman menanggung kenaikan empat kali lipat. Kenaikan terjadi karena 40 persen energi Jerman dipasok Rusia dan Berlin memilih menjatuhkan sanksi terhadap Moskwa gara-gara perang di Ukraina.
Berlin setuju mematikan jalur suplai gas, NordStream2, sebelum jaringan itu mulai beroperasi sebagai respons atas invasi Rusia ke Ukraina, 24 Februari 2022. Dalam beberapa bulan terakhir, NordStream1 sudah bolak-balik berhenti beroperasi sehingga Jerman tidak mendapat pasokan gas dari Rusia.
Menurut Wakil Ketua Fraksi Partai Kristen Demokratik Jerman Jens Spahn, paket yang diumumkan Scholz tidak spesifik dan konkret dalam menyelesaikan masalah. Dampaknya juga akan butuh waktu lama untuk dirasakan warga. ”Masalah terbesar, yakni kenaikan harga gas, tidak disentuh sama sekali,” katanya.
Baca juga: Ukraina Ribut dengan Jerman Lagi
Ketua CDU Friedrich Merz juga mengatakan, inti persoalan tidak kunjung diselesaikan Scholz. Berlin perlu terus mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir untuk mencegah harga listrik semakin melonjak.
Ketua Partai Kiri Jerman Amira Mohamed Ali menyebut, Scholz lebih memprioritaskan belanja pertahanan dibandingkan membantu warga. Nilai total paket insentif untuk warga lebih sedikit 100 miliar euro dibandingkan total belanja pertahanan.
Dalam jajak pendapat ARD Deutschlandtrend pada 29-31 Agustus 2022 ditemukan, mayoritas warga berharap subsidi diberikan kepada kelas menengah bawah. Mereka tidak mau subsidi hanya diberikan kepada kelas bawah saja. Sebab, kelas menengah juga ikut menanggung kenaikan harga.
Gejolak
Kajian Verisk Maplecroft, lembaga Inggris yang menilai risiko global, menunjukkan bahwa Jerman termasuk negara yang berisiko mengalami gejolak karena kenaikan harga. Ada kenaikan risiko unjuk rasa hingga 50 persen di 200 negara gara-gara kenaikan harga. Terakhir kali fenomena itu terjadi pada 2016.
”Tidak akan mengejutkan jika unjuk rasa akan meluas sepanjang musim dingin,” demikian tercantum di dalam laporan itu.
Di beberapa negara Eropa, unjuk rasa terkait kenaikan harga memang terus terjadi. Pada Sabtu lalu, 70.000 orang berunjuk rasa di Praha, Ceko. Mereka mendesak pemerintahan Petr Fiala mengendalikan harga energi, menunjukkan netralitas, dan tetap mengimpor gas dari Rusia.
Isu terakhir menjadi pokok perhatian karena Ceko menjadi anggota UE yang harus membayar lebih mahal dibandingkan negara lain di Eropa. Bahkan, Ceko membayar harga energi lebih tinggi dibandingkan Inggris, Perancis, apalagi Jerman. Padahal, perekonomian Praha di bawah Berlin, London, Paris. (AFP/REUTERS/AP)