OPEC+ Pangkas Produksi, Harga Minyak Bisa Tembus 100 Dollar AS Per Barel Lagi
Keputusan OPEC+ memangkas produksi minyak mulai November bakal menaikkan lagi harga minyak. Pengamat memperkirakan, harga minyak pada Desember nanti bisa menembus 100 dollar AS per barel.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD, KRIS MADA, SIMON P SARAGIH S
·5 menit baca
BRUSSELS, KAMIS – Kondisi perekonomian dunia semakin sulit, antara lain akibat bakal berkurangnya pasokan minyak dunia menyusul keputusan pemangkasan produksi minyak hingga 2 juta barel per hari oleh OPEC+. Muncul kekhawatiran, kenaikan harga minyak pascapemangkasan produksi dapat memperparah inflasi yang kini menggoyahkan ekonomi global.
Pada Rabu (5/10/2022), Arab Saudi dan Rusia serta negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC)+ bersepakat memangkas produksi minyak sebesar dua juta barel per hari. Besaran pemangkasan produksi itu setara 2 persen produksi minyak global saat ini dan menjadi pemangkasan terbesar sejak pandemi tahun 2020.
Pemangkasan tersebut akan diberlakukan mulai November 2022. Dalam konferensi pers seusai pertemuan OPEC+ di Vienna, Austria, Menteri Energi Arab Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman mengatakan, keputusan pemangkasan produksi minyak itu dipicu tanda-tanda penurunan ekonomi dunia yang bisa memperlemah permintaan dan jatuhnya harga minyak.
”Kami lebih memilih langkah pencegahan daripada nanti menyesal,” kata Abdulaziz, seperti dikutip The New York Times.
OPEC+ terdiri atas 13 negara anggota OPEC dan 11 negara produsen minyak non-OPEC yang dipimpin Rusia. Muncul kekhawatiran di kalangan negara-negara itu bahwa ekonomi global tengah menuju resesi menyusul tingginya harga energi, seperti minyak, gas alam, dan listrik. Situasi ini telah mengakibatkan inflasi dan menguras kemampuan belanja konsumen di berbagai dunia.
Negara-negara penghasil minyak tersebut cemas akan jatuhnya harga minyak secara tiba-tiba jika keterpurukan ekonomi global berlangsung lebih cepat dari perkiraan. Hal ini pernah terjadi saat dunia dilanda pandemi Covid-19 tahun 2020 dan pada saat krisis keuangan global 2008-2009.
Tudingan politisasi OPEC+
”Keputusan ini didasarkan pada kajian teknis. Kami tidak akan menggunakan (OPEC) sebagai organisasi politik,” ujar Suhail Al-Mazroui, Menteri Energi Uni Emirat Arab, menyangkal tudingan soal politisasi terhadap OPEC+.
Keputusan pemangkasan produksi minyak tersebut dibuat saat harga minyak turun dari 120 dollar AS per barel pada tiga bulan lalu menjadi sekitar 90 dollar AS per barel. Belum lama ini harga minyak sempat menembus hampir 140 dollar AS per barel atau harga tertinggi dalam 14 tahun terakhir, tidak lama setelah Rusia menginvasi Ukraina, 24 Februari 2022. Pangeran Abdulaziz menolak tudingan ada kolusi dengan Rusia di balik keputusan pemangkasan produksi minyak tersebut.
Uni Eropa dan Amerika Serikat berencana menetapkan pematokan harga minyak Rusia di bawah harga saat ini dalam upaya mengurangi pendapatan Moskwa dari penjualan minyaknya. Departemen Keuangan AS memperkirakan, hal itu akan memangkas pendapatan puluhan miliar dollar AS bagi Kremlin.
”Presiden Biden kecewa dengan keputusan (OPEC+) ini,” kata Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan selepas rapat OPEC+, Rabu (5/10). "Mengecewakan. Kami tengah mencari langkah-langkah alternatif apa yang kami miliki," ujar Biden, Kamis.
Saat keputusan pemangkasan produksi minyak OPEC+ diumumkan, harga minyak Brent yang menjadi patokan utama internasional naik sebesar 1,7 persen sebelum ditutup pada 93,37 dollar AS per barel. Indeks harga saham gabungan (IHSG) sejumlah bursa AS dan Eropa anjlok hingga 1,1 persen.
Mantan Kepala Departemen Analisis OPEC Hassan Balfakeih menyebutkan, pemangkasan produksi lebih dipicu faktor geopolitik dibandingkan kondisi pasar. ”Tekanan inflasi dan prakiraan penurunan kinerja ekonomi global dapat mengurangi permintaan minyak di masa mendatang,” katanya.
Sementara pakar investasi Arab Saudi Mohammed Al Suwayed mengatakan, keputusan itu bisa semakin menekan perekonomian global. ”Pemangkasan produksi berarti peningkatan harga minyak. Walakin, keputusan itu seperti tidak terkait kondisi pasar,” katanya.
Kenaikan harga minyak
Analis Swissquote, Ipek Ozkardeskaya, memperingatkan bahwa pemangkasan produksi itu bisa menjadi bumerang bagi negara-negara OPEC+ jika investor khawatir hal tersebut akan mendorong inflasi yang lebih tinggi dan berujung pada keputusan bank sentral menaikkan suku bunga. ”Semakin tinggi harga energi, semakin keras bank sentral harus mendorong harga-harga menjadi lebih rendah,” katanya.
Wakil Presiden Senior pada lembaga Rystad Energy, Jorge Leon, memperkirakan harga minyak mentah di Brent bisa mencapai 100 dollar AS per barel pada Desember mendatang. Harga itu melonjak dari perkiraan sebelumnya, yang menyebut prediksi harga pada Desember nanti adalah 89 dollar AS.
"Kenaikan harga minyak tidak akan terhindarkan, memperparah inflasi yang tengah ditangani oleh bank-bank sentral di dunia. Kenaikan harga minyak itu akan menjadi faktor yang diperhitungkan (oleh bank-bank sentral tersebut) untuk meningkatkan suku bunga dalam upaya mendinginkan ekonomi," demikian tulis Leon dalam catatan analisisnya.
Situasi tersebut juga akan memperburuk krisis energi di Eropa yang sudah terpukul oleh pemangkasan pasokan gas alam untuk memenuhi kebutuhan pemanas, listrik, dan pabrik-pabrik. Harga bahan bakar minyak di seluruh dunia bakal meningkat. Sementara hal itu memperparah inflasi, kemampuan warga memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya, seperti pangan dan sewa tempat tinggal, juga menurun.
Respons AS
Selepas pengumuman OPEC+, sejumlah pejabat Gedung Putih menyebut koordinasi dengan Kongres segera dilakukan. Tujuannya agar AS mempunyai lebih banyak alat untuk mengurangi kendali OPEC+ pada harga energi.
Pernyataan itu membuat sejumlah pihak menduga AS akan segera mengesahkan undang-undang AntiKartel Produksi dan Ekspor Minyak (NOPEC). Pada Mei 2022, Komisi Hukum Senat AS menyetujui rancangan terbaru NOPEC. Namun, belum diketahui berapa lama Gedung Putih memperoleh persetujuan Senat dan DPR AS untuk memberlakukan UU NOPEC.
Jika RUU NOPEC digolkan, AS bisa menerapkan undang-undang antimonopoli sekaligus mencabut kedaulatan negara-negara anggota OPEC+. Dengan NOPEC, AS bisa menghukum perusahaan minyak nasional milik OPEC+. Sebagai contoh, hukum AS akan bisa menuduh korporasi perminyakan dan negara Arab Saudi terlibat kartel bisnis minyak. Hal serupa berlaku untuk OPEC+.
Namun, muncul pertanyaan, bagaimana hukum AS bisa membatalkan kedaulatan negara-negara lain. AS pun bisa mendapatkan tuduhan manipulasi harga minyak dengan rencana pengucuran cadangan strategis minyaknya 165 juta barel per hari pada Mei-November 2022. Langkah ini juga termasuk rekayasa pengaturan harga, yang justru ingin dihindari dengan NOPEC.
Selain itu, dipastikan juga akan muncul perlawanan dari banyak negara terkait NOPEC. Perlawanan pernah membuat sejumlah negara, termasuk India, China, dan negara-negara berkembang lainnya, menggagalkan putaran pembicaraan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena didikte oleh AS.
NOPEC diperkirakan tidak akan mulus. Secara historis, perjalanan NOPEC selalu terpental. Dua dekade upaya AS mengegolkan NOPEC, yang sempat mengkhawatirkan Arab Saudi, telah menyebabkan Riyadh melobi keras untuk menggagalkannya. (AP/AFP/REUTERS)