Makin Dekat Ke Rusia, Arab Saudi Pimpin Pemangkasan Produksi Minyak
Washington terus menekan OPEC+ untuk tidak memangkas produksi global. Opsi-opsi Washington untuk menekan Riyadh malah berpotensi memukul balik AS.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
VIENNA, KAMIS - Arab Saudi dan mitranya mengabaikan tekanan Amerika Serikat soal minyak. Bersama mitranya di Organisasi Negara Eksportir Minyak, Arab Saudi memangkas 2 juta barel dari produksi November 2022. Opsi-opsi Washington untuk menekan Riyadh malah bisa memukul balik AS.
Dalam pertemuan di kantor pusat Organisasi Negara Eksportir Minyak (OPEC) di Vienna pada Rabu (5/10/2022), para menteri OPEC bersama Rusia setuju pemangkasan setara dua persen kebutuhan global itu. “Presiden Biden kecewa dengan keputusan ini,” kata Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan selepas rapat OPEC+.
Kini, organisasi eksportir minyak itu memang lebih dikenal sebagai OPEC+. Sebab, karena memasok rata-rata 12 persen kebutuhan migas global, Rusia yang bukan anggota OPEC selalu diajak membahas industri migas global. Memasok rata-rata 25 persen kebutuhan global, duet Arab Saudi-Rusia praktis jadi pengendali utama OPEC+.
Ada pun AS, yang produksi minyak mentahnya setara 18 persen kebutuhan global, tidak bergabung dengan OPEC. Bahkan, seperti dilaporkan Reuters dan Bloomberg, Washington terus menekan OPEC+ untuk tidak memangkas produksi global. Keputusan pada Rabu sore di Vienna menunjukkan AS gagal menekan OPEC+.
Sejak Maret 2022, Presiden AS Joe Biden telah mendorong Arab Saudi sebagai pemimpin faktual OPEC memacu produksi. Bahkan, Biden sampai menemui Pangeran Mohammed bin Salman di Jeddah. Padahal, di masa kampanye pemilihan Presiden AS, Biden pernah menyatakan Putra Mahkota Arab Saudi itu harus dikucilkan karena diduga kuat terlibat dalam pembunuhan Jamal Kashoggi. Biden juga menyetujui penjualan senjata ke Arab Saudi, meski ditolak sebagian pendukung Demokrat.
Dampak
Selepas pengumuman itu, harga acuan minyak naik lebih dari 1,5 persen. Ada pun indeks harga saham gabungan (IHSG) sejumlah bursa AS dan Eropa anjlok hingga 1,1 persen.
Nilai tukar mata uang sejumlah negara juga terus terpangkas. Euro tetap di bawah 1 dollar AS. Nilai tukar poundsterling terhadap dollar AS terpangkas 15 sen dollar AS menjadi 1,327 dollar AS.
Mantan Kepala Departemen Analisa OPEC Hassan Balfakeih menyebut, pemangkasan produksi lebih dipicu faktor geopolitik dibandingkan kondisi pasar. “Tekanan inflasi dan prakiraan penurunan kinerja ekonomi global dapat mengurangi permintaan minyak di masa mendatang,” kata dia.
Sementara pakar investasi Arab Saudi Mohammed Al Suwayed mengatakan, keputusan itu bisa semakin menekan perekonomian global. “Pemangkasan produksi berarti peningkatan harga minyak. Walakin, keputusan itu seperti tidak terkait kondisi pasar,” kata dia.
Menteri Energi Uni Emirat Arab Suhail Al-Mazroui menyangkal politisasi terhadap OPEC+. “Keputusan ini didasarkan pada kajian teknis. Kami tidak akan menggunakan (OPEC) sebagai organisasi politik,” kata dia.
Al Suwayed mengingatkan, sejumlah bank sentral bisa saja semakin menaikkan suku bunga acuan untuk menyikapi dampak kenaikan harga minyak. Karena itu, analis pada Swissquote Ipek Ozkardeskaya menyebut keputusan OPEC+ bisa memukul balik organisasi itu. “Semakin tinggi harga energi, semakin keras bank sentral harus menekan permintaan,” kata dia.
Pilihan AS
Selepas pengumuman OPEC+, sejumlah pejabat Gedung Putih menyebut koordinasi dengan Kongres akan segera dilakukan. Tujuannya agar AS punya lebih banyak alat untuk mengurangi kendali OPEC+ pada harga energi.
Pernyataan itu membuat sejumlah pihak menduga AS akan segera mengesahkan undang-undang AntiKartel Produksi dan Ekspor Minyak (NOPEC). Pada Mei 2022, Komisi Hukum Senat AS telah menyetujui rancangan terbaru NOPEC. Jika disahkan, Jaksa Agung AS bisa menggugat anggota OPEC+ di pengadilan AS.
Sampai akhir September 2022, Gedung Putih tidak setuju pengesahan NOPEC. American Petroleum Institute (API) sudah 20 tahun menentang NOPEC. “Peraturan itu malah semakin memperburuk pasar dan memicu ketidakstabilan. Peraturan itu tidak akan membantu pasar sekarang atau di masa depan,” kata Presiden API Mike Sommers.
API dan sejumlah pihak penentang NOPEC mengingatkan potensi pembalasan OPEC+. Industri perminyakan AS pernah merasakan dampak buruk perang minyak Arab Saudi-Rusia pada 2014. Kala itu, harga minyak anjlok. Akibatnya, banyak perusahaan migas AS bangkrut. “Mereka (anggota OPEC) bisa memproduksi minyak (dengan biaya) jauh lebih murah dari AS. Kalau mereka mau, pasar bisa dibanjiri pasokan dan pelaku industri akan terpaksa bangkrut karena tidak mampu bersaing,” kata Sommers.
Dampak penurunan harga minyak pada industri minyak AS antara lain terlihat pada 2016 dan 2020. Pada 2016, puluhan perusahaan minyak AS mengajukan kebangkrutan karena tidak sanggup menanggung kewajiban pada hampir 1 miliar dollar AS.
Pada 2020, 108 perusahaan minyak AS dengan nilai kewajiban 102 miliar dollar AS juga mengajukan kebangkrutan. API mengingatkan, kebangkrutan berarti banyak utang tidak bisa ditagih dan itu merugikan industri keuangan serta investor.
Penolakan atas sanksi Washington pada Riyadh, sebagai pemimpin faktual OPEC, juga disuarakan industri senjata AS. Pada 2016-2020, menurut Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI), 24 persen ekspor persenjataan AS ditujukan ke Arab Saudi. Tidak ada pelanggan industri senjata AS yang bisa mengalahkan Arab Saudi.
Meski sulit, karena 76 persen persenjataannya dipasok Washington, Arab Saudi dikhawatirkan mengurangi belanja senjata dari AS jika Riyadh terus ditekan. Dalam sejumlah kesempatan, Arab Saudi telah melontarkan kemungkinkan menyeimbangkan pemasok persenjataannya. Sekutu AS seperti Jerman, Perancis, dan Inggris dilaporkan terus mendekati Arab Saudi agar bisa menjual lebih banyak.
Riyadh juga berulang mengungkap potensi penggunaan valas selain dollar AS sebagai alat pembayaran transaksi migas. Ancaman itu bisa berdampak serius pada status dollar AS sebagai mata uang utama. Sebab, minyak salah satu komoditas utama global.
Pada harga 80 dollar AS per barel, pasar minyak global bernilai 2,9 triliun dollar AS per tahun. Nilai tahunan pasar emas global tidak sampai 200 miliar dollar AS per tahun. (AFP/REUTERS)