Tumbangnya Penjaga Konservatisme Partai Republik, Alarm Kebangkitan Trump
Alarm kebangkitan lagi mantan Presiden Donald Trump di panggung politik AS berdentang semakin kencang dengan kekalahan politisi Republikan anti-Trump, Liz Cheney, dalam pemilihan pendahuluan Partai Republik, pekan ini.
Sepanjang pekan ini, pembicaraan politik di Amerika Serikat terfokus pada kekalahan anggota DPR AS, Liz Cheney, putri mantan Wakil Presiden AS Dick Cheney, dalam pemilihan pendahuluan Partai Republik di Negara Bagian Wyoming. Selasa (16/8/2022), ia kalah dari Harriet Hageman, calon yang didukung mantan Presiden Donald Trump. Cheney gagal melaju ke arena pertarungan pemilu sela, November mendatang, dan bakal kehilangan jabatan sebagai anggota DPR dari Partai Republik.
Ia penentang keras Trump. Kegeraman pada Trump, yang menghasut massa pendukungnya dalam insiden serbuan dan amuk di Gedung Capitol, 6 Januari 2021, menyuntikkan misi seumur hidup pada Cheney: menghadang Trump—apa pun caranya—agar tidak berkuasa lagi di Gedung Putih. Bagi Cheney, penolakan Trump pada hasil pemilu presiden 2020 telah menodai dan menginjak-injak demokrasi.
Ditambah insiden Capitol, di mata Cheney, Trump tak termaafkan. ”Sudah saya katakan sejak 6 Januari itu bahwa saya akan melakukan apa saja untuk memastikan Donald Trump tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di dekat Kantor Oval. Saya serius (dengan tekad) ini,” ujar Cheney (56).
Baca juga : Nama Trump Kian Tersudut sebagai Dalang Kerusuhan di Capitol
Ia dengan tegas menyebut Trump dan klaim-klaim kebohongannya soal tuduhan rekayasa hasil pemilu sebagai pemicu kerusuhan massa di Capitol, sekitar 1,5 tahun lalu. Bagi Cheney, itu pengkhianatan seorang presiden AS yang tak termaafkan dan pelanggaran atas sumpah jabatannya.
”Tidak pernah ada sebelumnya pengkhianatan yang lebih besar (daripada kasus Trump) oleh seorang presiden Amerika Serikat terhadap jabatan dan sumpahnya pada Konstitusi,” ujar Cheney.
Maka, tanpa ragu sedikit pun Cheney dan beberapa gelintir politisi Republik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS mendukung pemakzulan Trump untuk kedua kalinya. Ia dan sembilan kolega Republikan di DPR plus tujuh senator Republik berada di barisan pemakzul Trump. Pemakzulan kedua Trump, seperti pada pemakzulan pertama terkait kasus penyalahgunaan kekuasaan, memang pada akhirnya gagal lagi.
Baca juga : Terancam Penjara Puluhan Tahun, Trump Tetap Bisa ”Nyapres”
Meski demikian, dengan keteguhan Cheney seperti itu, Ketua DPR asal Demokrat Nancy Pelosi pun memercayakan jabatan Wakil Ketua Komisi 6 Januari (Komisi 6/1) padanya. Komisi ini tengah menyelidiki keterlibatan dan peran Trump dalam amuk massa di Capitol tahun lalu.
"Darah biru" Republik
Cheney adalah salah satu dari beberapa sosok ”darah biru” politik di lingkungan Partai Republik. Selama 50 tahun terakhir, keluarga Cheney menorehkan pengaruh penting di Washington. Kiprah politik trah Cheney diawali sang ayah, Dick Cheney, kala pertama kali ia mencalonkan diri menjadi anggota Kongres hingga berpuncak dengan menjabat wakil presiden AS (2001-2009) pada masa pemerintahan Presiden George W Bush.
Perjalanan politik keluarga Cheney dilanjutkan putri sulungnya, Liz Cheney. Ia terpilih menjadi anggota DPR tahun 2016 bersamaan dengan kemenangan Trump menduduki Gedung Putih. Sebelum 6 Januari 2021, Liz Cheney selalu mendapat tempat terhormat di lingkungan Partai Republik. Para kolega Republikan di DPR memberinya posisi sama yang diperoleh Cheney Senior, yakni sebagai orang nomor 3 Republikan di DPR.
Dikenal sebagai sayap pembela sejati nilai-nilai konservatisme Republik, keluarga Cheney bersama dua Presiden Bush menjadi representasi fondasi ”Grand Old Party (GOP)”—sebutan Partai Republik—pada era pasca-Perang Dunia II. Pada era ini, Republik menonjol dengan ciri partai pemerintahan kecil dengan kebijakan pajak rendah dan kebijakan luar negeri yang agresif.
Liz Cheney sudah tiga periode menduduki jabatan anggota DPR. Tahun ini ia berupaya memperpanjang jabatannya untuk periode keempat. Pada awal pekan ini, dalam pemilihan pendahuluan di Negara Bagian Wyoming untuk menentukan calon Partai Republik dalam pemilu sela, November mendatang, ia berhadapan dengan Harriet Hageman.
Hageman, perempuan pengacara, semula termasuk pengkritik Trump. Namun, ia melihat adanya tren perubahan politik di kalangan elite maupun akar rumput Republik. Era perubahan ini ditandai dengan mulai ditanggalkannya nilai-nilai konservatif, beralih pada politik ketokohan atau kultus personal pada sosok Trump.
Baca juga : Polarisasi Politik Amerika Serikat
Hageman pun memanfaatkan situasi dengan bergabung di barisan Trump. Ia ikut menebar propaganda kebohongan pemilu yang hingga saat ini terus-menerus disuarakan Trump. Ia mengkritik Cheney yang dianggap terlalu terobsesi ingin menghambat langkah politik Trump dan tidak memberi banyak perhatian pada isu-isu persoalan di Wyoming.
”Ia masih fokus pada obsesi tentang Presiden Trump, dan warga Wyoming, para pemilih Wyoming, mengirim pesan yang sangat keras padanya malam ini,” ujar Hageman di televisi Fox News pada malam kemenangannya.
Cheney Vs Trump
Melihat konteks yang ada, pemilihan pendahuluan di Wyoming pun tak ubahnya adalah pertarungan Cheney versus Trump. Meski belum mengumumkan secara resmi, Trump telah menunjukkan tanda-tanda keinginan untuk mencalonkan diri lagi dalam pemilu presiden 2024. Beberapa tokoh Republikan lainnya yang disebut-sebut berpotensi menjadi kandidat dari Republik adalah Gubernur Florida Ron DeSantis dan mantan Wakil Presiden Mike Pence.
Hal pertama yang dilakukan Trump untuk mewujudkan ambisinya adalah membersihkan duri-duri penghambat langkahnya menuju pertarungan ke Gedung Putih. Ia, antara lain, memereteli para politisi Republikan pendukung pemakzulan dirinya, termasuk Cheney. Siapa pun yang berani menentangnya akan disikat dulu oleh Trump. Bagi Trump, langkah ini penting agar para politisi yang pro-dirinya mengisi kursi-kursi di Kongres demi tergelarnya karpet merah bagi dirinya ke Gedung Putih.
Baca juga : Trump Diperiksa di New York, Rumahnya di Florida Digeledah FBI, Suhu Politik AS Memanas
Dari 10 politisi Republikan di DPR pendukung pemakzulan Trump, tinggal dua orang yang ”masih hidup” dalam persaingan merebut tiket pemilu sela, November mendatang. Empat orang tidak mencalonkan diri, empat orang lainnya—termasuk Cheney—telah tumbang di Wyoming, Washington, Michigan, dan South Carolina.
Andai Republik mampu menguasai DPR dan Senat dalam pemilu sela nanti, niscaya tak sulit mengubah citra Trump yang ternoda akibat insiden di Capitol, 6 Januari 2021. Begitu menguasai kembali DPR, para politisi Republikan diperkirakan akan membubarkan Komite 6/1 yang saat ini menyelidiki peran Trump dalam amuk massa di Capitol.
Bagi Trump, kekalahan Cheney adalah kemenangan besar dan signifikan. Ia menyebut hasil pemilihan pendahuluan di Wyoming sebagai ”penolakan sempurna” terhadap Komite 6/1.
”Liz Cheney seharusnya malu pada dirinya sendiri, malu pada caranya bertindak selama ini dan atas sifat dendamnya, kata-kata dan tindakan munafiknya terhadap orang lain,” tulis Trump di media sosial yang dibuatnya sendiri. ”Kini dia akhirnya rontok di kedalaman ketidaksadaran politik yang, saya yakin, dia akan jauh lebih berbahagia daripada yang dia alami saat ini. Terima kasih, WYOMING!”
Melalui media Fox News, penulis berhaluan konservatif Charlie Kirk menyebut hasil pemilihan pendahuluan Partai Republik, Selasa (16/8/2022), sebagai ”penyangkalan massal” terhadap era Bush-Cheney-McCain. Kekalahan Cheney mengikuti kekalahan George Prescott Bush (cucu Presiden George HW Bush) dalam pemilihan pendahuluan Partai Republik untuk posisi Jaksa Agung Texas, Mei lalu. Ia juga kalah dari calon yang didukung Trump, Ken Paxton.
Lanskap yang berubah
Kekalahan Cheney mencerminkan adanya pergeseran secara dramatis di tubuh Partai Republik. Partai ini telah berayun dari arus utama konservatisme menuju politik ketokohan atau kultus personal. Didirikan pada pertengahan abad ke-19, Partai Republik menganut dan berupaya mempertahankan nilai-nilai utama konservatif.
Para presiden dari Republik era modern, sejak Ronald Reagan hingga George W Bush, biasa menghadapi kritik dari dalam tubuh partai sendiri. Akan tetapi, isu personalitas dan masalah kepribadian secara umum menempati posisi sekunder dibandingkan isu-isu tentang prinsip kehati-hatian fiskal, pajak rendah, perdagangan bebas, kekuasaan federal terbatas, dan militer yang kuat.
Lalu, datanglah Trump. Di internal Republik yang kritis padanya, Trump semula dijuluki ”RINOS”, singkatan dari ”Republicans in name only”. Maklum, ia punya rekam jejak politik ”kutu loncat”. Trump pernah menjadi penyumbang dana Demokrat. Ia menjadi seorang Republikan pada akhir 1980-an, lalu berpindah jalur ke Partai Independen, kemudian meloncat ke Demokrat, dan kembali ke pangkuan Republik lagi.
Baca juga : Pendukung Trump Ancam Hakim
Kini sudah tidak penting lagi ide-ide dan gagasan di Partai Republik. Perbandingan pelaksanaan konvensi dalam rentang 40 tahun bisa menjelaskan, betapa lanskap politik di Republik saat ini telah berubah total.
Pada 1980, dalam konvensi Partai Republik, kubu Ronald Reagan merilis pernyataan hingga 35.000 kata, berisi rincian kebijakan-kebijakan yang akan dilakukannya jika ia terpilih menjadi presiden. Isinya berupa rincian spesifik tentang kebijakan pajak, kesejahteraan, transportasi, imigrasi, hak-hak perempuan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.
Pemandangan kontras terjadi pada konvensi Republik tahun 2020. Partai Republik tak lagi mementingkan pemaparan platform kebijakan. Mereka memilih model dukungan membabi-buta terhadap ketokohan. ”Terlihat tragis. Prinsip-prinsip Republikan telah musnah,” kata Sean O’Keefe, Sekretaris Angkatan Laut AS pada masa pemerintahan Presiden George HW Bush, dalam tulisan editorial kala itu.
”(Partai Republik telah berubah menjadi) partai yang memeluk Donald Trump, menganut kultus personal,” ujar Cheney kepada NBC, Rabu (17/8/2022). ”Banyak hal tentang semua ini menekankan kenyataan bahwa begitu banyak kehidupan politik kita saat ini tidak lagi tentang kebijakan, melainkan soal Trump dan di mana posisi Anda terkait dia,” kata Matthew Continetti, peneliti senior pada lembaga berhaluan konservatif, American Enterprise Institute.
Baca juga : FBI Cari Dokumen Terkait Senjata Nuklir di Rumah Trump
Mantan Senator Alan Simpson dari Wyoming mengaku, dirinya saat ini tidak lagi mengenali Partai Republik yang dulu dilihatnya saat pertama kali bergabung. Ia mengenal Liz Cheney sejak putri Dick Cheney itu masih kecil. Ia pertama kali memberikan suara saat Dwight Eisenhower terpilih menjadi presiden pada 1953 hingga 1961.
”Apa yang terjadi pada partai kami saat ini adalah ketakutan terhadap Donald J Trump,” sentil Simpson tajam.
Jika era baru ini dipicu oleh kemunculan Trump, adakah cara menghentikannya dari kembali ke Gedung Putih? Editorial majalah The Economist, 18 Agustus 2022, memaparkan catatan menarik. Seperti diperlihatkan dalam sebuah jajak pendapat yang dikutip majalah itu, Trump mencatat dukungan solid, yakni sekitar 50 persen di kalangan pemilih Republik, untuk maju lagi sebagai kandidat presiden tahun 2024.
Dari tiga hal yang disebut bisa menjadi kerikil sandungan Trump, yakni pengusutan perkara hukum, pelibatan pengaruh korporasi, dan pencalonan Cheney, tak satu pun benar-benar meyakinkan bakal mampu menghentikannya. ”Lebih baik berharap pada akal sehat rakyat Amerika,” tulis majalah tersebut.
Dalam empat tahun kepresidenan Trump, Republik kalah di DPR ataupun Senat. ”Banyak pemilih paham bahwa dia berbahaya serta tidak demokratis, dan kebanyakan dari mereka tak ingin dia kembali menjabat,” tulis The Economist. ”Alasan mengapa Trump berkampanye begitu kerasnya dalam melawan kepercayaan terhadap kotak suara adalah karena dia tahu bahwa kotak suara bisa mengalahkannya.” (AP/AFP/REUTERS)