AS Berpeluang Kembali Ekspor Persenjataan ke Arab Saudi
Amerika Serikat tengah meninjau peluang untuk mengekspor kembali persenjataan ofensif ke Arab Saudi. Ini bagian dari upaya menggeser hubungan Arab Saudi-China.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
WASHINGTON, SENIN — Pemerintah Amerika Serikat dikabarkan tengah membahas kemungkinan pencabutan larangan penjualan senjata ofensif kepada Pemerintah Arab Saudi. Ini bagian dari skenario Presiden AS Joe Biden untuk mengonsolidasikan ulang hubungannya dengan Arab Saudi sekaligus mengatur hubungan Riyadh dengan China.
Menurut dua sumber dan seorang pejabat Amerika Serikat yang memahami isu ini kepada Reuters, Minggu (10/7/2022), pembicaraan mengenai dibukanya kembali keran jual beli senjata antara AS dan Arab Saudi telah berlangsung dan baru bersifat informal pada tahap awal. Belum ada keputusan pasti kapan kerja sama itu dimulai. Mereka juga menyatakan sejauh ini belum ada diskusi tentang penjualan senjata ofensif di antara pejabat kedua negara.
Menurut beberapa pejabat Pemerintah AS, permintaan Arab Saudi agar Gedung Putih menyingkirkan pelarangan penjualan pada mereka disampaikan dalam beberapa kali pertemuan. Salah satunya ketika Wakil Menteri Pertahanan Arab Saudi Khalid bin Salman berkunjung ke Washington pada Mei.
Namun, menurut sumber tersebut, Gedung Putih belum membuat keputusan. Keputusan apa pun, kata mereka, sangat tergantung keputusan Riyadh untuk menemukan solusi politik jangka panjang atas konflik di Yaman.
Perubahan sikap Biden terhadap Arab Saudi terjadi setelah Rusia menyerang Ukraina, yang berdampak besar pada perekonomian dunia serta ketersediaan energi di pasar. Harga-harga kebutuhan pokok meroket, didorong kenaikan harga energi. Negara-negara dengan perekonomian kuat turut merasakan dampaknya.
Tak hanya itu, Biden menginginkan agar Arab Saudi memikirkan kembali pembangunan kekuatan militernya dengan menggunakan peralatan dan perlengkapan militer dari China, terutama rudal balistik. Dalam tulisannya di The Washington Post, Sabtu (9/7/2022), Biden mengatakan, dia memahami kunjungannya ke Arab Saudi menjadi kontroversi. Namun, dia memiliki alasan tersendiri.
”Saya tahu banyak yang tidak setuju dengan keputusan saya untuk berkunjung ke Arab Saudi. Pandangan saya tentang hak asasi manusia jelas dan sudah berlangsung lama, dan kebebasan mendasar selalu menjadi agenda ketika saya bepergian ke luar negeri, seperti yang akan terjadi selama perjalanan ini,” tulis Biden.
Namun, sebagai presiden, kata Biden, ia memiliki tugas untuk menjaga AS tetap kuat dan aman di tengah persaingan dengan Rusia dan China. ”Kita harus melawan agresi Rusia, menempatkan diri kita pada posisi terbaik untuk mengalahkan China, dan bekerja untuk stabilitas yang lebih besar di wilayah dunia yang berpengaruh. Untuk melakukan hal-hal ini, kita harus terlibat langsung dengan negara-negara yang dapat memengaruhi hasil tersebut. Arab Saudi salah satunya,” katanya,
Dia menyatakan, pertemuannya dengan para pemimpin Arab Saudi adalah untuk memperkuat kemitraan strategis kedua negara.
Penjualan senjata
Dikutip dari tulisan Dore Feith, mantan staf khusus pada lembaga USAID, dan Ben Noon, penulis yang fokus pada persaingan AS-China, di Foreign Policy, penjualan senjata dan perlengkapan militer China ke Arab Saudi mengalami peningkatan cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Menurut mereka, penjualan senjata China ke Arab Saudi naik hingga 386 persen pada periode 2016-2020 dibandingkan periode 2011-2015.
Pertumbuhan penjualan itu terutama didorong penjualan pesawat nirawak (drone) tempur China, Wing Loong II, sejak 2017. Kedua negara juga telah menandatangani kesepakatan untuk membuat sebuah usaha patungan untuk rancang bangun drone di Arab Saudi, Maret lalu.
Meskipun Arab Saudi masih mengandalkan sebagian besar pada pesawat berawak yang disediakan AS dan Eropa, rencana memproduksi hingga 300 drone Wing Loong membuat kebutuhan mereka terhadap perlengkapan militer ini semakin besar di masa yang akan datang. Feith dan Noon menyebut, kemajuan signifikan dalam pembuatan drone tersebut dapat secara permanen menutup pintu penjualan drone AS ke Arab Saudi, mengingat kesamaan antara Wing Loong dan MQ-9 Reaper buatan AS.
Tidak hanya itu, sejak beberapa tahun terakhir Arab Saudi juga diketahui membeli rudal balistik jarak jauh dari China.
Sementara, dalam diskusi antara pejabat Pemerintah Arab Saudi dan AS, salah satu sistem persenjataan yang diinginkan adalah amunisi berpemandu presisi (PGM) yang pernah disetujui penjualannya pada masa pemerintahan mantan Presiden Donald Trump. Namun, penjualan itu ditolak anggota Kongres.
Feith dan Noon mengatakan, untuk ”memperbaiki hubungan” dengan Arab Saudi, Biden bisa menawarkan jenis persenjataan dan perlengkapan militer tertentu yang bisa menggantikan peran persenjataan dan perlengkapan militer asal China. Bahkan, Biden juga bisa mengondisikan dukungannya atas sistem pertahanan udara dan rudal yang terintegrasi dengan persenjataan AS yang telah dimiliki Arab Saudi. Sebaliknya, AS juga bisa meminta Arab Saudi membekukan pengembangan rudal balistik dalam negeri yang didukung oleh China.
Untuk menghadapi penolakan di Kongres atau publik dalam negeri, menurut mereka, kabinet Biden harus mampu meyakinkan publik tentang pentingnya keberadaan Arab Saudi bagi AS saat ini. ”Tidak hanya karena membutuhkan minyaknya, tetapi juga perundingan nuklir Iran yang tidak berjalan seperti yang diharapkan serta adanya prospek normalisasi hubungan Israel-Arab Saudi yang akan sangat menguntungkan AS,” tulis keduanya. (AP/AFP/REUTERS)