AS-Iran terlibat perundingan tidak langsung untuk menghidupkan ulang JCPOA. Israel dan sejumlah pihak di AS menolak upaya itu.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
WASHINGTON, KAMIS -Pembunuhan perwira Iran dan penolakan Amerika Serikat mencabut sanksi membuat revitalisasi Kesepakatan Nuklir Iran semakin sulit terjadi. Padahal, Uni Eropa dan sejumlah negara Timur Tengah berusaha menghidupkan lagi kesepakatan itu demi keamanan kawasan.
Utusan Khusus AS untuk Iran, Robert Malley, mengakui peluang menghidupkan lagi kesepakatan itu amat lemah. “Saat saya berbicara kepada anda sekarang, tidak ada kesepakatan dan peluang untuk mencapainya amat lemah,” ujarnya kepada Senat AS, Rabu (25/5/2022), di Washington DC.
Pernyataan itu disampaikan setelah Kolonel Hassan Sayyad Khodaei tewas ditembak di Teheran, Iran pada Minggu sore (22/5/2022). Juru bicara militer Iran, Brigadir Jenderal Abolfazl Shekarchi, menuding AS dan Israel terlibat pembunuhan perwira di Brigade Al Quds itu.
“Ini bukan pembunuhan pertama di Iran, ada sejumlah pembunuhan lain di masa lalu. Hampir di semua insiden itu diduga melibatkan AS dan Israel,” kata peneliti senior Centre for Middle East Strategic Studies, Abbas Aslani, kepada Al Jazeera.
Pada Januari 2020, AS membunuh Komandon Brigade Al Quds Mayor Jenderal Qasem Soleimani di Baghdad, Irak. Presiden AS Donald Trump mengakui mengesahkan serangan udara yang menewaskan Soleimani dan sejumlah tokoh milisi Irak itu.
Pada November 2020, Israel diduga terlibat pembunuhan peneliti nuklir Iran Mohsen Fakhrizadeh di Teheran. Sejak 2010 sampai 2020, setidaknya enam ilmuwan nuklir Iran tewas.
Wakil Kajian Timur Tengah pada Chatham House, Sanam Vakil, menyebut bahwa pembunuhan Khodaei akan semakin menyulitkan upaya menghidupkan lagi Joint Comprehensive Action on Plan (JCPOA) atau lebih dikenal sebagai Kesepakatan Nuklir Iran. Sebelum pembunuhan perwira yang lama bertugas di Suriah itu, upaya revitalisasi JCPOA sudah sulit. Bahkan, perundingannya buntu sejak akhir Februari 2022.
Revitalisasi
Sejak tahun lalu, AS-Iran terlibat perundingan tidak langsung untuk menghidupkan ulang JCPOA. Israel dan sejumlah pihak di AS menolak upaya itu. Israel secara terbuka menyatakan akan melakukan apa pun untuk mencegah kesepakatan itu dihidupkan lagi. Israel memandang, JCPOA membuka jalan Iran memiliki senjata nuklir. Selain Israel, kini tidak ada negara Timur Tengah mempunyai senjata nuklir.
Disetujui AS bersama sejumlah negara dengan Iran pada 2015, JCPOA praktis mati suri sejak Mei 2018. Penyebabnya, AS di bawah Donald Trump keluar dari kesepakatan itu lalu menerapkan serangkaian sanksi baru untuk Iran. Bahkan, Washington memasukkan Garda Revolusi Iran (IRGC) dalam daftar kelompok teror dan karenanya IRGC dikenakan aneka sanksi maksimum.
Padahal, JCPOA mengatur pembatasan program nuklir Iran. Teheran diwajibkan melucuti berbagai fasilitas nuklirnya. Fasilitas itu hanya boleh beroperasi sesuai ketentuan yang disepakati dengan AS dan sejumlah negara. Pengoperasiannya harus dipantau pengawas internasional. Sebagai imbalan, AS dan berbagai negara mencabut aneka sanksi untuk Iran.
Sebelum semua kewajiban dipenuhi, AS malah keluar. Tidak hanya kepada Iran, AS juga mengancam menjatuhkan sanksi kepada siapa pun yang berbisnis dengan Iran. Akibatnya, praktis tidak ada hubungan dagang dengan Iran. Teheran membalas kondisi itu dengan meninggalkan tanggung jawab yang disepakati dalam JCPOA.
Perundingan di Vienna, Austria sejak 2021 dijadikan kesempatan untuk menghidupkan lagi kesepakatan itu. Iran meminta semua sanksi AS, termasuk penetapan IRGC sebagai kelompok teror, dicabut.
Sejumlah diplomat Eropa dan Timur Tengah mencoba mencari jalan tengah atas kondisi. Salah satunya dengan menggantikan IRGC dengan Brigade Al Quds, unit IRGC untuk operasi dan intelijen luar negeri, dalam daftar kelompok teror AS
Al Quds antara lain mengatur operasi ribuan milisi penyokong pemerintah Suriah. Israel berkali-kali menyerang markas milisi itu dan pos operasi Al Quds di Suriah.
Malley berkeras, penghapusan IRGC dari daftar teror AS di luar cakupan JCPOA. Karena itu, Washington tidak bisa melayani tuntutan itu. AS bisa melayani jika Iran mau memberikan konsesi lain. “Kami sudah menegaskan ke Iran bahwa jika mereka meminta konsesi yang tidak terkait JCPOA, maka kami membutuhkan hal serupa,” kata dia.
Seorang pejabat AS yang menolak identitas diungkap juga menyampaikan hal senada. Meski demikian, ia menyebut penghapusan IRGC dari daftar teror AS amat sulit. “Kecemasan di Kongres (AS) dan penolakan Iran membahas permintaan AS soal keamanan kawasan berarti pemerintahan Biden akan sulit mencabut IRGC dari daftar,” kata dia.
Direktur Kebijakan pada National Iranian American Council, Ryan Costello, menilai pernyataan Malley menunjukkan perbedaan sikap AS. Pada April 2022, AS mengindikasikan sama sekali tidak akan membahas pencabutan IRGC dari daftar kelompok teror. Sementara dalam pernyataan di Senat, Malley mengindikasikan pencabutan itu bisa saja dilakukan jika permintaan AS dipenuhi. (AFP/REUTERS)